Duka di Langit Jogja

Monday, May 29, 2006

By Sam (29052006.10.40)
Langkahku


“Weruh sak durunge winarah” (Mengetahui sebelum terjadi) itulah kata yang setidaknya kami sebagian masyarakat Jogja percayai atas segala yang berlaku di Bumi Kesultanan Jawa ini. Sehingga wajar bila apapun keadaannya kami selalu percaya bahwa Jogja akan selalu aman, selalu terlindung. Ini bukan kata yang muluk karena bukti fisik jelas terlihat dan nampak secara kasat seperti geliat Gunung Merapi belakangan ini yang “bisa’ dikendalikan, topan tornado tahun lalu yang membelok di laut Selatan tanpa bisa mencapai Jogja seperti prediksi dan kejadian lain diluar nalar pada umumnya. Semua bisa diketahui semua bisa diprediksikan oleh kalangan kraton maupun Sultan sendiri sehingga rakyat bisa bersiap sedari dini untuk antisipasi. Tapi tidak dengan gempa Sabtu 27 Mei 2006 beberapa hari lalu. Gusti punya rencana lain. Rencana maha dahsyat yang meninggalkan duka dan air mata dalam catatan hidup kami.

Tak ada yang beda dengan kepulanganku bersama kakak-kakakku tiap kali libur panjang di Jogja. Menengok ibu, berkumpul dengan saudara di rumah ibu, bercanda dengan keponakan dan menyusuri kota budaya saat teman memerlukan pendamping wisata adalah kerutinan acara kepulangan kami yang telah berada di Jogja sejak Kamis, 25 Mei lalu. Hari Jum’at tanggal 26 Mei 2006 pun aku masih meladeni keponakan-keponakan untuk renang, bahkan Ibu masih sempat menyiapkan nasi kuning untuk ulang tahunku meski telah terlewat dan kamipun seperti biasa masih menghabiskan malam dengan berkumpul dan berkelakar. Di ujung malam aku dan keluarga kakakku meninggalkan rumah ibu di Jogja kota untuk menginap di rumah mereka yang berjarak 15 kilo ke arah timur. Tepatnya di Piyungan Bantul. Semua berjalan wajar dan tanpa firasat. Anpa pernah menduga bahwa kerutinan ini ada jedanya.

“Keluar … keluar! Allahu Akbar!”
Teriakku berulang kali tanpa sadar sembari meloncat dari ranjang dari lelapku. Dan berlari sekencangnya meninggalkan kamar di lantai dua. Saat itu suara gemuruh keras terdengar disekeliling rumah dibarengi dengan bergetarnya dinding dan lantai. Tak itu saja plafon-plafon menjatuhkan serpihan. Meski suara begitu menakutkan namun tak ada teriakan lain di dalam rumah kecuali suaraku yang makin parau menuruni tangga. Dalam panikku aku tak bisa berfikir lain untuk tahu apa yang terjadi kecuali memperingatkan yang lain dan berusaha mencapai tanah lapang di depan rumah. Suara gemuruh makin keras dan rumah seakan di kocok sehebat-hebatnya. Kudapati kakak dan adikku telah dahulu mencapai depan pintu rumah dengan pucat dan pandangan kosong menyusul kakak iparku dalam wajah ketakutan di belakang. Kami tak bisa mencapai lapangan karena terkunci dalam pagar. Beruntung goncangan hebat itu mereda setelah 57 detik dan perlahan menghilang. Kami tak bisa berkata apa-apa selain saling memandang dalam ketegunan, kecemasan dan perasaan yang bercampur aduk.

Saat kami bisa keluar pagar kami dapati para tetangga sudah berkumpul di lapangan dengan ketakutan yang sama. Perumahan Griya Taman Sari Piyungan ini memang belum banyak dihuni warga wajar bila hanya terlihat beberapa keluarga yang saling berkelompok. Kami sam-sama tak berani masuk rumah. Takut terjadi gempa susulan. Terlihat beberapa rumah retak dan beberapa roboh, bersyukur rumah kami masih utuh meski beberapa barang dirumah pecah dan genting berjatuhan. Kami sadari ini gempa besar. Namun kami tak bisa apa-apa listrik dan telepon seluler mati. Kami terisolir. Aku tak tahu bagaimana keadaan ibu dan kakak-kakakku di kota. Kami hanya bisa berkumpul dan mencari berita di radio mobil kami yang bagian atasnya telah peyok kejatuhan genting. Sesekali kami rasakan gempa susulan yang membuat kami kembali berhamburan.

Dari radio Sonora Jogja kami dapati berita bahwa kejadian ini adalah gempa yang berpusat di laut selatan dengan kedalaman 33 km di dasar laut terjadi pukul 05.54 di 5,9 SR. . Ini adalah gempa tektonik bukan karena aktifitas merapi. Beberapa penelepon di radio mengabarkan kerusakan dan kepanikan yang tiada putusnya. Pukul 08.07 kembali gempa susulan 5.2 SR kami rasakan. Kami panik terlebih informasi mengenai kondisi ibu dan saudara kami belum kami dapatkan. Sekejab telkomselku mendapatkan sinyal aku sempat menelpon Yeni yang bepergian ke Ambon namun tak terangkat. Akhirnya aku bisa sms Mamat di Jakarta untuk meminta di update informasi karena kami terisolir dari berita. Setelah itu Seluler seakan mati hanya bisa terima SMS namun tak bisa untuk mereplay apalagi menelpon. Sebelum pukul sepuluh aku, adik, kakak serta istrinya meninggalkan Piyungan untuk menengok keadaan ibu di jogja. Tak terpikir bagaimana keadaan kami yang penting kebutuhan vital bisa kami bawa.

Astagfirullah! Rasanya kakiku lemas dan kecemasanku begitu memuncak beraduk dengan ketakutan yang sangat. Saat kami keluar dari perumahan melewati rumah-rumah penduduk di desa Petir untuk mencapai jalan utama. Kondisi begitu mengenaskan karena tak ada rumah yang berdiri kokoh, semua rata tanah. Orang-orang tumpah ke jalan dan beberapa terluka bahkan ada yang meninggal. Jembatanpun bergeser dari tempat semula. Aku tak bisa lagi mengangkat kamera untuk sekedar memotret mereka. Aku tak tega dan lumpuh. Pikiranku terfokus pada kondisi keluargaku yang belum pasti. Tak bisa kubayangkan bahwa diluar perumahan ini kondisinya begitu parah. Tanda Tanya makin besar apakah rumah ibu akan sedemikian parahnya. Ya Allah tolonglah. Ini bukan sekedar gempa tapi bencana!

Kami kembali ke jogja melewati jalan Piyungan-Wonosari, tak terlihat lagi kondisi normal di sepanjang jalan hampir semua rata tanah dan hanya menyisakan puing, orang-orang yang meninggal, terluka dan panik. Belum sampai seratus meter kami ke barat menuju Jogja tampak di depan suasana sedemikian kacau. Debu dari bangunan-bangunan yang runtuh beterbangan dimana mana hingga lampu-lampu mobil dan motor menyala acak, belum lagi arus balik makin riuh dengan teriakan air dan tsunami. Orang-orang berhamburan tak tentu arah. Kami berempat didalam mobil makin ketakutan dan shock. Terlebih aku yang sempat melihat bagaimana dahsyatnya tsunami di Aceh saat berkunjung kesana. Adekku yang menyetir aku teriaki untuk memutar balik mobil dan mengambil jalan ke utara ke arah Prambanan. Kami tak mau ke timur menuju puncak Gunung Kidul meski tempat itu tinggi tapi kondisi keluarga di jogja yang belum jelas jadi pertimbangan kami bila kembali. Kekacauan ini mengaduk emosi kami. Doa dan ampunan serta air mata rasanya mengalir begitu saja. Semua serba gelap di mata kami. Kami bingung. Kami putus asa. Terlebih premium di mobil telah berada di garis merah!

Beruntung di ujung lokasi Candi Prambanan terdapat SPBU. Setelah mengisi kami cepat-cepat ke Jogja melewati jalan Jogja-Solo. Tapi sekali lagi kami tak bisa masuk kota. Serta merta dari arah Jogja arus lalu lintas seperti tumpah. Semua meneriakkan isyu air dan Tsunami. Kami pasrah dan mau tak mau mesti putar balik. Meskipun logika kami mengatakan tak mungkin tapi keberingasan pengungsi membuat kami ciut nyali. Siaran Sonora jadi pedoman kami yang panik. Perlahan kami tahu tak ada tsunami dan kalaupun ada tak mungkin mencapai Jogja. Kami keluar dari arus. Menunggu di sisi komplek Candi Prambanan yang terlihat telah mengalami kerusakan berat. Ada pos polisi disana. Merekapun kehilangan informasi dan kontak. Satu-satunya siaran radio dari mobil kami mereka jadikan acuan untuk menenangkan massa. Kami menunggu dalam ketidak pastian. Sementara data korban makin meningkat dari puluhan, ratusan hingga ribuan. Ini mengecilkan hati kami. Meski sulit kamipun akhirnya memperoleh kabar keluarga di jogja selamat. Ya allah kami dalam syukur. Hari ini kami lalui dengan begitu beratnya dan waktu yang berjalan demikian panjang.

Tengah hari saat lalu lintas telah normal kami berusaha lagi mencapai jogja, mengumpulkan makanan dan persediaan lain yang kami pikir akan sulit diperoleh nantinya. Perjalanan ini mengantarkan kami pada pemandangan yang beda. Hampir sebagian besar fasilitas umum Jogja hancur, retak dan rusak. Hotel, pertokoan, mall, bahkan peninggalan budaya dan sekolah-sekolah serta universitas. Syukurnya gempa di dalam kota tak sehebat di Kabupaten Bantul. Tak banyak rumah yang rusak di kota Jogja termasuk di pemukiman kami di daerah Klitren. Kami dapati keluarga kami dalam selamat. Namun trauma gempa ini demikian dalam hingga kami tak berani kembali ke rumah terlebih gempa susulan berulang kami kami rasakan. Di tengah hari kamipun beramai-ramai mencari tanah lapang di sekitar komplek pramuka Pengok untuk mengungsi. Tak ada tenda yang tersedia hingga banyak diantara kami yang berteduh di bawah-bawah pohon. Ini satu hal yang tak pernah aku bayangkan selama hidupku. Kami tak ada pilihan. Kami berada pada penantian panjang yang tak pasti. Sementara kami seakan terpisah dari berita ataupun informasi yang menenangkan dan jelas mengenai apa yang telah terjadi. Aparat, pemerintah … entah kemana.

Kami menjadi pengungsi. Itu realitanya. Tak ada listrik dan tak ada perbekalan lain kecuali pakaian yang melekat dan beberapa barang yang kami pandang berharga. Kami tinggalkan rumah dan menggelar tikar bersama keluarga yang lain. Kami syukuri. Keadaan kami jauh lebih baik daripada keluarga-keluarga lain yang ternyata banyak yang lebih tragis lagi. Utamanya mereka yang di Bantul dan Klaten. Bukan hanya harta benda yang rata tanah tapi juga banyak jiwa yang tak bisa terselamatkan. Secara geografis Bantul berada 6 km dari pusat gempa wajar jika mengalami kedahsyatan terparah. Sementara klaten yang terpisah 75 km, namun berada di jalur sekunder gempa hingga keadaannya tak jauh beda. Tak terhitung lagi mereka yang menyesaki rumah sakit dan belum tertolong serta mereka-mereka yang masih tertimbun dan belum terevakuasi. Jogja benar-benar berduka. Belum usai masalah merapi kini gempa mendatangi.

Larut malam kami tidur mengumpul ditanah lapang dengan atap terpal seadanya. Hawa dingin menusuk dan terlihat di langit awan perlahan mulai gelap sesekali kilat menerangi. Ya Allah cukupkan cobaan ini. Jangan beri hujan! Namun Allah kembali menguji kami. Tengah malam buta kami harus pindah tempat lagi karena hujan deras mengguyur. Kami ramai-ramai pindah ke Pendopo Balai Pramuka. Meski keadaan disini tak lebih aman daripada kami berada di luar tapi hujan begini kami tak ada pilihan. Berulang kami ditengah tidur kami berhamburan keluar pendopo karena gempa kembali kami rasakan. Melelahkan baik fisik maupun mental. Kami bergiliran jaga pada akhirnya. Hingga di ujung subuh kami tak kuat lagi menahan dingin dan bekunya suasana. Beberapa dari kami kembali ke rumah meski kami membatasi aktifitas di teras dan ruang depan. Was-was dan kengerian masih menyelimuti.

Minggu kemarin gempa besar tak lagi kami rasa hanya beberapa gempa kecil yang terus menurun skalanya namun tetap saja ini menakutkan bagi kami. Dari BMG tercatat 600-an kali gempa susulan menggetar hingga minggu malam. Namun hanya beberapa getaran yang mencapai 3 SR. Perlahan kami mulai membereskan rumah dan mulai keluar untuk melihat keadaan sekitar. Jogja mati. Tak ada aktifitas dan denyut nadinya. Aku sendiri belum pasti kapan akan kembali ke Jakarta mengingat pelabuhan udara juga mengalami kerusakan hebat. Di depan TV terus tertayang berita Jogja Duka dalam gambar yang mengenaskan. Gambar Jogja yang tak lagi utuh dan gambar fenomena Jogja yang ditanggapi dengan beribu pendapat dan pandangan yang berbeda. Namun apapun itu realitasnya hanya bermuara pada satu kondisi …. Saudara-saudara kita mambutuhkan pertolongan! Juga Allah telah menggariskan rencananya tanpa bisa kami pahami dahulu.

Kepulanganku ke Jogja disaat bencana dan mengalami ini semua tak aku sesali. Sama sekali!. Aku bersyukur dikumpulkan dengan keluargaku untuk melalui cobaan besar ini. Aku bersyukur kami masih diberi kesempatan dan waktu untuk lebih menunjukkan kewajiban dan tanggung jawab kami pada Dia. Untuk lebih baik dan baik lagi. Terima kasih buat sahabat-sahabatku yang peduli dengan sapa, kabar dan bantuannya. Sungguh ini mengharukanku. Ini sangat berarti bagi kami, bagi diriku. Sangat mensupport aku dan kesadaranku bahwa diriku tidak sendiri di sini. Terima kasih.


Mohon diulurkan dan digandengkan tangan dengan erat untuk sejenak menaikkan doa tulus bagi kami di Jogja. Semoga cobaan ini segera berakhir. Semoga tak ada cobaan menanti dari Gunung Merapi atau ujian lain lagi. Dan yang lebih penting lagi semoga kesadaran kami dipulihkan untuk segera bangkit, tidak saja untuk mampu memperbaiki kehidupan kami tapi juga memperbaiki jiwa-jiwa kami yang terlupa. Jiwa kita bersama. Amien!



Ps:
Saat kuposting berita ini aku masih di Jogja. Di kamar atas dengan was-was. Mungkin besok baru kembali ke Jakarta.

posted by kinanthi sophia ambalika @ 5/29/2006 01:51:00 PM - 18 comments

Mengolah Photo Bisa Jadi Peluang

Wednesday, May 24, 2006

By Sam (24052005.11.15)
Kewirausahaan


“Sam …. !” Suara seorang rekan nyaring memanggil di ujung Hp. “Dimana?”
“Baru balik nih, baru masuk rumah!”
“Semalam ini?”
“Biasa aja lage, yang penting khan bukan pulang subuh,”
“Bisa aja kamu!”
“Ada apa nih?”
“Tolong dong Sam, Bantu beresin photo gue dong!”
“Gimana cara?”
“Kasih langkah-langkahnya deh. Kan aku di depan computer. Hehehe”

Walah! Ada pasien baru.

Belum ada hitungan bulan beberapa photo yang aku share di SAMLENS banyak mengundang tanya rekan-rekan baik dari soal photo secara umum ataupun teknis. Tidak saja mengenai obyek, kamera ataupun prosessing namun juga permintaan untuk jadi model. Nah ini yang berat! Seperti kejadian semalam, tak jarang akupun membantu mempercantik photo secara online tutorial.

Kita paham sekali era digital telah memberikan lompatan yang luar biasa dalam keseharian kita termasuk dalam urusan photo. Kamera dengan film yang biasanya cukup memakan waktu dalam proses develop-nya makin tergeser dengan adanya kamera digital. Selain berbagai alasan seperti mudah dan praktis, kamera digitalpun kerap dipadu dengan berbagai equipment lain semacam, handphone, PDA, handycam dan sebagainya. Wajar bila kini seakan tak ada moment terlewat tanpa satu jepretan.

Bagi pemula dan penggemar photo “asal jepret” seringkali kualitas bukanlah hal yang dikejar. Namun bagi yang menginginkan mutu tak jarang banyak hal yang harus dipenuhi, semisal kualitas kamera, resolusi, dan yang terpenting skill dalam menjepret. Masalah yang seringkali muncul adalah buruknya hasil jepretan meski kita telah menggunakan kamera Standard. Bisa jadi ini disebabkan karena teknik pengambilan ataupun settingan kamera yang salah. Haruskah dibuang? Tunggu dulu. Banyak cara menyelamatkannya.

Dengan bantuan software Photoshop CS dari Adobe tidak hanya photo bagus saja yang bisa dipercantik namun juga photo rejectpun bisa tampil penuh makna. Ambil contoh photo “Lelap dalam Dekap Papa” dibawah. Semula photo yang ada adalah photo yang diambil biasa di statu acara pesta yang ramai. Photo tampak pucat, agak buram dan tidak menarik. Jauh dari kesan artistik meski pesan yang ingin ditampilkan begitu dekat. Dengan bantuan Photoshop, photo diubah menjadi hitam putih, menambah sedikit noise, menghilangkan obyek bagian belakang dan menonjolkan obyeknya sehingga photo lebih memberikan pesan dan ekslusif layaknya dibuat di sebuah studio.

Photobucket - Video and Image Hosting Photobucket - Video and Image Hosting

Cukup mudah untuk mengolah photo seperti ini. Selain bisa dicoba-coba langsung di programnya, buku-buku tutorialpun banyak di jual di pasaran bahkan beberapa telah dilengkapi CD untuk praktek langsung. Mudah dan cepat tak perlu investasi besar untuk khursus. Dengan selalu mencoba dan mencoba kita akan dengan mudah mengolah photo-photo lebih cepat dan efisien mengingat begitu banyak teknik untuk menjadikan photo kita tampil tidak biasa. Hasilnya kita tidak saja makin handal memotret tetapi juga bisa mengolahnya sehingga hasil photo itu bisa dipresentasikan dalam bingkai dengan kebanggaan.

Pernahkah terlintas untuk menjadikan hoby kita suatu pekerjaan, sesuatu yang bisa menghasilkan dan bukan sekedar karya yang hanya tersimpan dan terbuang. Apalagi pangsa pasar usaha ini cukup terbuka dan besar. Sangat prospektif. Sudah pasti pekerjaan yang dimulai dari suatu hoby akan sungguh menyenangkan. Selain dengan riang kita mengerjakannya, uangpun bisa mudah kita pegang. Bahkan dengan gampang bisa berkata seperti apa yang selalu saya lakukan dan bilang “It’s not my job, It’s my life!”

Salam KEWIRAUSAHAAN!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 5/24/2006 01:54:00 PM - 4 comments

Jodoh & Perempuan Itu

Tuesday, May 23, 2006

By Sam (23052005.13.58)
Ceritaku


Dunia Perempuan itu runtuh. Tak ada warna pastel ataupun lembayung yang tergurat di depan langkahnya. Keindahan miliknya perlahan telah memudar dan hanya tersisa gelap semata. Sia-sia dia tutupi kepekatan ini, perlahan aku tahu dia dan Laki-laki itu tak lagi selangkah. Tak lagi bisa lebih lama saling bertopang dalam kebersamaan.

“Kami akan cerai!”

Aku terdiam. Kabar burung telah lama hinggap di telingaku. Tapi mulutku cukup kelu untuk sekedar menanyakan kebenaran keretakan ini. Perempuan itu bukanlah sekedar teman sejak perkenalan kami Tapi selama berjalannya waktu telah aku guratkan garis panjang untuk memisahkan pertemanan dan privasi semenjak Laki-laki itu memetiknya dari tangkainya. Semenjak tanganku terluka karena aku hanya bisa meraih perdu berdurinya bukan kelopak indahnya.

“Kami akan cerai!,” Lirih Perempuan itu mengulang katanya.

Aku terdiam. Kesesakan dua tahun lalu masih hinggap di nafasku. Kesesakan yang harus aku telan dengan penerimaan bahwa dia bukanlah untukku. Dia untuk Laki-laki itu. Bahkan saat itu mulutnya menekankan bahwa aku bukanlah jodohnya!. Satu kata alasan yang tak bisa kuubah meski bisa kuteriakkan aku lebih mampu memberikan cintaku daripada Laki-laki itu.

“Kenapa?” Jawabku akhirnya. “Tak berjodoh?”
“Ya”
“Lalu kenapa kalian menikah dulu?”
“Saat itu kami berjodoh!”
“Lalu siapa jodohmu sekarang?”
“Tak tahu … yang pasti bukan Laki-laki itu. Bisa siapa saja. Mungkin juga kamu.”
“Aku?”
“Siapa tahu”
“Andai kini kita berjodoh dan menikah, dua tahun kemudian kita bercerai. Berarti kita tak lagi berjodoh?”
“Tentunya!”
“Bagimu jodoh sepertinya harus ditemukan dengan coba-coba”
“Ya, supaya kita bisa menemukan jodoh kita yang sebenarnya!”
“………………………..”
“Kau mau menikah denganku bila kita berjodoh?”
“…………..Tidak!”
“Kenapa?”
“Aku bukan kelinci percobaan”

Perempuan itu tersenyum getir. Menganggap ucapanku lucu. Dia tahu pasti tak ada kata penolakan keluar di mulutku selama ada pinta di ucapnya.

“Kenapa kamu tak berangan aku adalah jodohmu,”
“Karena Laki-laki itulah jodohmu.”
“Bila jodoh kenapa kami tak bisa sejalan?”
“Karena kalian … lupa”
“Hanya karena lupa?”
“Kalian lupa menyadari … jodoh adalah ikatan suci yang Dia berikan. Saat kita diberkati dengan di ikat olehNya, ada satu kewajiban kita untuk menjaga ikatan itu, memeliharanya agar tetap kuat memaku cinta kita. Kalaupun kini kalian tak lagi terikat itu, bukan karena kalian tak lagi berjodoh. Kalian hanya terlupa untuk memelihara ikatan suci yang ditalikan pada cinta kalian, hingga lepas dan terburai. Jodoh bukanlah sekedar pemberian namun juga ada tetes keringat dan airmata untuk senantiasa mengukuhkannya agar selalu utuh,”

Perempuan itu menyeka airmatanya, berpaling dan menatap awan yang menggantung.

“Kau tak lagi mencintaiku?”
“Aku mencintaimu detik ini hingga detik-detaik nanti yang menjemputku”
“Tapi kau tidak mau menikah denganku”

Aku berlalu tanpa berkata, tanpa satu jawab.

Dua tahun lalu Perempuan itu pernah kutanya hal serupa. Dan kini kutak perlu mengulang jawabnya. Karena jelas “kami tidak berjodoh” seperti ucapnya!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 5/23/2006 04:49:00 PM - 7 comments

Menaikkan Spoonge Bob Di Monas

Monday, May 15, 2006

By Sam (15052005.12.32)
Langkahku


“Ke Monas, kagak salah? … Udik banget sih?”

Nada sumbang mempertanyakan. Itulah selalu terngiang. Jawaban yang bisa ditebak bila dilontarkan ajakan pada kebanyakan warga ibukota ini untuk pergi Monas. Tak hanya itu, mungkin antipati untuk ke sanapun makin terasa. Monas telah jatuh dipandang dengan sebelah mata, jatuh di bandrol sebagai taman hiburan rakyat yang tidak se-elit atau se-asyik Ancol atau plaza-plaza yang tercecer di Jakarta. Wajar bila Monas kebanyakan hanya dinikmati oleh kalangan bawah, siswa-siswa diluar jakarta atau pasangan-pasangan yang membutuhkan ruang publik dengan “privacy” fulgar. Meski Monas telah dipagar tinggi, dan ditata rapi bahkan banyak peninggalan sejarah tak ternilai yang tersimpan di sana, tapi semua itu masih kurang untuk menempatkan monas sebagai daya tarik. Termasuk juga menarik minatku. Lima tahun tinggal di kota ini tapi belum sekalipun aku naik Monas. Satu-satunya kesempatanku ke Monas saat mengantar teman dari udik yang memaksa ditemani ke sana. Itupun jauh diluar pagar!


Photobucket - Video and Image Hosting


# # # # # #


“Naikin-naikin!”

Layang-layang bergambar Sponge Bob yang ngotot aku pilih dengan menukar uang 2 lembar ribuan itu meluncur ringan, terbang terikat benang jahit yang makin panjang aku ulurkan. Aku tergirang! Selama hidup baru sekali ini aku bisa menaikkan layang-layang. Berjingkrak, berlari dan kuputar-putar benangnya dengan senang. Iye yang tergelak dengan tingkahku mulai ikutan mempermainkan layang-layang itu sesekali ditarik kencang dan dilepaskan dengan tiba-tiba. Hebatnya layang-layang kecil itu tetap stabil karena angin cukup kuat menghembus. Sementara Mamat masih sibuk meng-otak-atik kameraku untuk mengambil obyek yang sekiranya menarik dimatanya. Tak sangka semua ini kami lakukan di dalam kawasan Monas!

Ide seketika saja, saat tiba-tiba aku merencanakan pergi ke Monas selepas kehebohan belajar masak dimsum, soup shabu-shabu dan nugget tahu di rumahku Sabtu sore lalu. Berbekal kameraku kami bertiga tiba di gerbang dekat stasiun Gambir denga niat mengambil photo-photo indah. Aroma kotoran kuda langsung menyambut kedatangan kami demikian pula berpuluh pasangan mesra yang mengambil tempat-tempat strategis di bawah pohon langsung membuat semangat kami turun terlebih saat aku lihat awan putih terpendar rata yang sama sekali tak menarik untuk mendapatkan photo bagus. Akhirnya kamera lebih banyak aku serahkan ke Mamat. Selebihnya kami mencoba mengeksplore Monas! Memasuki sudut-sudutnya! Siapa tahu ada hal menarik yang bisa memikat hati kami.

Luar Biasa! Benar kata orang. Tak kenal maka tak sayang. Ternyata Monas banyak menyimpan hal-hal unik yang selama ini tak pernah kita tahu. Meski kami hanya menyelusuri taman sebelah selatan dan barat, jauh dari podium Monas karena ramainya pengunjung yang antri masuk tapi kami cukup puas dengan banyak hal menarik disana. Disini kami bisa mendapati taman refleksi dimana jalur-jalur kecil berbatu dibuat untuk terapi pijat kaki berkelok memutari taman, tempat penangkaran rusa yang didatangkan dari Ragunan dan Istana Bogor, berbagai pohon-pohon langka dari berbagai propinsi di Indonesia di bagian selatan tepat mengarah ke Kantor Gubernur, patung-patung dengan bangku-bangku bertebaran, taman bermain bahkan juga kandang-kandang merpati di sisi barat dan yang terbaru adalah air mancur menari.

Air mancur ini memang tidak sebesar yang ada di pulau Sentosa-Singapore demikian juga dengan podiumnya namun letaknya yang tepat di sebelah barat Monas menghadap Musium Gajah terasa bersih, indah dan terawat. Beberapa Loudspeaker diletakkan bertebaran mengitari kolam di box-box berbentuk silinder sebagai pengiring lagu. Podium penonton di letakkan di kanan kiri kolam dipayungi pohon-pohon beringin yang berjajar di kedua sisinya. Terlihat sepasang calon pengantin mengadakan photo session prewedding disana. Ah! Tak sangka Monas sebenarnya indah! Gratis lagi masuknya!.

Sayang sekali kami tak bisa lama. Magrib segera datang. Sementara untuk menunggu, jadwal pertunjukan Air Mancur Menari baru akan mulai jam 07.00 pm nanti. Kami segera berkemas sambil menandai tempat-tempat yang menarik untuk photo session nantinya bila kembali. Kami tinggalkan Monas yang masih berkutat dengan image lamanya, yang masih harus banyak berbenah untuk menunjukkan jati dirinya. Sepertinya tak ada upaya lain yang harus dilakukan kecuali berupaya menaikkan Monas seperti layang-Layang spoonge Bobku. Menaikan setinggi dia capai untuk mengangkat image Monas lebih dari sekedar tempat hiburan rakyat. Mengangkat dan mengembalikan Monas sebagai Landmark Ibukota sebuah negara. Lambang identitas yang dibanggai bukan yang dihindari. Terlebih dicibiri karena lebih identik dengan tempat demonstrasi dan kemesuman muda-mudi!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 5/15/2006 02:22:00 PM - 11 comments

Kata & Mataku Dalam Samwords & Samlens

Monday, May 08, 2006

By Sam (08052005.16.04)
Langkahku


[Bila di cermati ada yang baru di menu Samwords Mulai tanggal 8 Mei ini. Terlihat Samwords tidak lagi sendiri namun ada Samlens yang saling bersinergi]

samwords samlens


Hampir 1,5 tahun Samwords online dengan KATA-KATA yang diposisikan untuk memberikan setetes inspirasi kecil melalui sudut pandangku yang berbeda, sudut pandang yang amat sederhana. Bersamanya ada celoteh perenungan tentang cinta dan Tuhan. Bersamanya juga ada banyak kehangatan dengan keluarga, rekan dan perjalanan kecil yang sayang untuk dilewatkan. Seperti catatan kecil Samwords sarat dengan KATA.

Semenjak ada Canon A80 camera digital-ku yang pertama kecintaaanku dengan photografi mengalir begitu saja. Tercatat counter di Compact Disk ku telah menunjukkan angka lebih dari 11.000 pict yang terpotret dan tersimpan rapi di CD koleksiku. Beragam cerita, peristiwa dan suasana bersama keluarga, rekan, alam dan bangunan terbingkai dalam file photo digital. Seakan ada kata sayang bila photo-photo itu hanya terimpan tanpa dibagikan.

Saat 2 mei lalu, saat aku kembali lebih tua satu tahun terbersit ide untuk mempublikasikan photo-photo itu. Namun sekali lagi kepraktisan memenuhi kepalaku. Aku tidak mau ribet. Aku tak mau buang waktu untuk kembali mendevelop blog tersendiri. Dengan bantuan Yna dan Mamat, aku konsep blog baru yang akan link dengan blog lamaku. Idenya cukup sederhana. Blog baru ini hanya berisi photo-photo yang kubidik dengan pengelihatan MATA-ku, hanya photo lain tidak!. Blog baru yang aku namai SAMLENS hanyalah meneruskan desain SAMWORDS yang dibuat Akbar. Skin Samlens hanyalah KEBALIKAN dari Skin Samwords. Baik warna background maupun peletakan layoutnya. Konsep ini sengaja dibuat demikian untuk memberikan penekanan akan dua hal yang berbeda yang ingin ditampilkan pada masing-masing blog dengan cara yang simple dan minimalis. SAMWORDS dengan KATA- KATAnya dan SAMLENS dengan MATAnya.

Tak ada keinginan berlebih kecuali sekedar membagikan inspirasi sederhana melalui KATA dan MATA-ku …. Membagikan sesuatu walau hanya sekedar SAMWORDS dan SAMLENS! Just my some inspiration WORDS and LENS!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 5/08/2006 05:10:00 PM - 9 comments

“The Prayer” At My Double 3

Tuesday, May 02, 2006


By Sam (02052006.00.00)
My B’Day Moment



The Prayer

I pray you'll be our eyes, And watch us where we go
And help us to be wise, In times when we don't know
Let this be our prayer, As we go our way
Lead us to a place, Guide us with your Grace
To a place where we'll be safe

La luce che to dai, I pray we'll find your light
Nel cuore restero, And hold it in our hearts
A ricordarchi che, When stars go out each night
L'eterna stella sei

Nella mia preghiera, Let this be our prayer
Quanta fede c'e, When shadows fill our day
Lead us to a place, Guide us with your grace
Give us faith so we'll be safe.


Sognamo un mondo senza piu violenza
Un mondo di giustizia e di speranza
Ognuno dia la mano al suo vicino
Simbolo di pace e di fraternita


La forza che ci dai, We ask that life be kind
E'il desiderio che, And watch us from above
Ognuno trovi amore, We hope each soul will find
Intorno e dentro a se, Another soul to love

Let this be our prayer, Let this be our prayer
Just like every child, Just like every child
Needs to find a place, Guide us with your grace
Give us faith so we'll be safe

E la fede che, Hai acceso in noi
Sento che ci salvera


(Josh Groban featuring: Angie Stone)

Photobucket - Video and Image Hosting

[Gusti syukurku atas tiap hembus nafas dan geliat jiwaku,
Atas hadirnya diriku diantara kasih dalam keluargaku,
Atas di genapkannya sayapku dengan sebelah hatiku,
Atas sahabat dan persahabatan yang kau talikan,
Dan atas segala yang selalu terlupa aku syukuri]


Kuletakkan semua dalam dekapmu ……. Diantara harap dan pujiku. Amien!


posted by kinanthi sophia ambalika @ 5/02/2006 09:34:00 AM - 17 comments