Menjadi Tangan Sandaran Mereka

Tuesday, February 21, 2006


By Sam (21022006.05.34)
Secarik Langkah



Hari masihlah berembun. Bayang bayang pun masih dalam rabaan. Pagi itu beberapa bulan yang lalu aku telah berada di jalan tol menuju Cikarang, kantuk masih bersamaku. Hanya ada aku , sopir dan partner mengajarku di dalam mobil, namun muatan cukup sarat karena ditambah beberapa materi pelatihan, laptop, LCD dan beberapa presentation tools yang akan kami gunakan untuk mengajar dua harian ini. Seharusnya aku gembira karena dengan adanya proyek pelatihan seperti ini memberikan pertanda bahwa kinerja Consultant & Training Provoder-ku yang berada di bawah bendera: SSA Consulting dalam kondisi liquid. Selain itu mengajar adalah duniaku, hidupku sehingga sesungguhnya tak ada alasan untuk tidak menampakkan kegembiraan. Namun tidak seperti itu yang terjadi.

Mengikuti kebijakan global, perusahaan multinational yang merupakan klien-ku ini harus mengalihkan kepemilikan salah satu pabrik kimianya kepada pihak lain. Sebelum pengalihan, kinerja perusahaan di perbaiki salah satunya dengan perampingan karyawan karena akan digantikan dengan teknologi yang lebih tepat. Sebagai wujud tanggungjawab moral perusahaan memberikan konpensasi berupa pesangon serta satu pelatihan kewirausahaan untuk bekal mereka begitu tidak aktif lagi. Bisa dibayangkan ... ini bukanlah kondisi yang konduksif bagi seseorang untuk mengikuti pelatihan. Benar adanya, 35-an orang yang ada di kelasku hari itu semua tak ada yang menyala semangatnya. Yang ada hanya nyala kemarahan dan keputus asaannya!

Ini bisa dimaklumi. Tak banyak didikan yang kita peroleh dalam budaya kita untuk bisa mandiri dan menjadikan wirausaha sebagai profesi kita. Tidak juga dengan kurikulum di sekolah kita. Semua mengajarkan bagaimana untuk pintar dan menjadi seorang karyawan. Bukan seseorang yang mempunyai karyawan! Kesempatan kerja yang makin sulit dan sedikit pada akhirnya tidak menyadarkan kita untuk membuka lapangan kerja sendiri namun sebaliknya berupaya mencari celah mendapatkan posisi dengan konpensasi yang sebenernya merupakan jumlah yang cukup sebagai modal kerja berwirausaha. Tak bisa kita salahkan. Memang begitulah pola hidup yang kita anut dan itu merupakan zona yang aman bagi kita. Bekerja sebagai karyawan, gaji tetap tiap bulan, dan resiko kerja kecil! Mau apa lagi.

Itulah pikiran yang mewakili 35 orang yang ada di kelasku. Disaat zona nyaman itu berubah. Tersadarlah mereka bahwa telah terlambat untuk menyadari. Menyadari bahwa dimanapun kita bekerja ada resiko terlebih akhir-akhir ini. Berbagai macam isue perubahan menuntut kita untuk fleksible dan mempunyai pemikiran yang kreatif bahwa tak selamanya pekerjaan itu akan selalu ada di tangan kita. Bahwa sebenernya menjadi karyawan bukanlah salah satu solusi untuk hidup dalam kesejahteraan. Jangan lupakan bahwa ada pekerjaan-pekerjaan lain yang lebih bisa mengexplore kemampuan dan kreatifitas kita lebih maksimal lagi, salah satunya menjadi WIRAUSAHA.

Tak urung Sesi pelatihan selama 2 hari di Cikarang ini aku ubah metodenya. Beberapa sesi kami padatkan dan untuk mendapatkan waktu lebih guna memberikan motivasi dan pencerahan bagi mereka. Membuka mata mereka bahwa pemutusan hubungan kerja bukanlah akhir dari segalanya. Membuka hati mereka dengan memberikan contoh-contoh aplikatif dan praktis akan dunia kewirausahaan serta sharing pengalaman usaha. Sedikit banyak beberapa mata mulai terbelalak meski keraguan dan ketakutan masih jadi beban berat untuk menentukan langkah.

...............

“Bagaimana Bapak menyakinkan saya bahwa sebenernya modal utama menjadi wirausaha adalah keberanian?” Sebuah pertanyaan pesimis muncul dari seorang bapak yang sedari tadi tenggelam dalam hand out yang kami bagikan.

Sejenak aku memandangnya dan meminta pendapat yang lain. Tapi tak satu jawaban aku peroleh!”

“Bapak,” Kataku melanjutkan,” Kita tidak pernah tahu pasti apa yang terjadi sebulan nanti, seminggu nanti, sehari nanti bahkan satu jam nanti. Tapi yang pasti kita tak akan mendapatkan apa-apa bila tanpa berbuat sesuatu dan menunggu. Dengan berani mengambil keputusan yang telah terukur resiko dan kesempatannya kita telah berani untuk membuka peluang mendapatkan hasil yang kita inginkan, yang kita tuju. Dan inilah modal utama kita untuk memulai satu usaha.”

“Kalau boleh saya tanya pak,” Seorang ibu yang sejak tadi mendengarkan dengan antusias ikut bicara, “Apa sih enaknya jadi wirausaha?”

“Kali bisa bangun siang dan gak perlu pakai seragam kalo ke kantor ya pak?” Sahut yang lain seketika.

Riuhlah kelas sejenak, rupanya sedikit banyak ketakutan dan keputusasaan mereka mulai mencair tergantikan dengan impian-impian yang mulai rekah.

“Ya itu salah satu diantaranya kan … hahahaha,” Aku ikut menimpali,” Ya adanya fleksibilitas waktu dan financial yang tentunya bisa kita atur sendiri merupakan keuntungan dalam menjalankan usaha sendiri. Bener tidak?”

Beberapa diantaranya mengangguk.

“Ngomong-ngomong serius nih pak, bagi Bapak sendiri apa yang membuat Bapak bertahan menjalankan usaha yang bapak jalankan?” Tanya Seorang bapak dengan keingin tahuannya.

Aku cuma tersenyum,

Karena untungnya gedhe ya pak,” Kembali ada suara yang menimpali.

“Hahaha … bukan, saya hanya berfikir sederhana pak. Saya termotivasi oleh karyawan-karyawan saya,” Lanjutku, “Mereka menggantungkan hidupnya pada usaha saya, bukan dia saja melainkan istri juga anak-anak serta keluarga mereka. Suatu perasaan yang luar biasa saya alami saat saya bisa memenuhi kewajiban saya untuk memberikan gaji pada mereka tiap akhir bulan dengan tepat waktu. Perasaan yang tak bisa saya katakan melihat kepercayaan mereka guna menyandarkan nasibnya pada usaha saya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, guna mempercayakan tangan saya sebagai sumber hidup mereka. Seperti amanah, saya terdorong untuk menjadikan usaha ini besar. Agar bisa menyuapi mulut dan batin mereka lebih kenyang dan bermanfaat seperti juga yang saya suapkan di mulut dan batin saya!”

………….

Sejenak aku ingin segera kembali ke kantor. Segera memberikan gaji karyawan-karyawanku yang sedari kemarin aku siapkan di tasku. Berterima kasih dan merasakan perasaan itu, merasakan kenyataan bahwa usaha ini bukanlah milikku semata, tapi juga keringat mereka!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 2/21/2006 05:50:00 PM - 12 comments

Panggil Namaku Ikhsan

Friday, February 17, 2006


By Sam (17022006.10.40)
Secarik Cerita



Aku buta atau mungkin memang tak pernah tahu nama yang ibu suarakan untukku. Karena orang selalu memanggilku dengan HARAM. Satu kata menyakitkan yang dipatri kuat di dahiku. Meski telah berkarat orang masih bisa membaca bahwa aku adalah anak yang lahir tanpa diingini. Lahir dari keterpaksaan dan terbuang di lorong penuh kegelapan. Aku dibesarkan di kolong jembatan oleh tangan tangan kasar, dibelai oleh kemerincing musik pengamen dan dihangati oleh terik dan debu jalanan. Beruntung aku masih punya tangan untuk kuulurkan demi mendapat sisa rejeki orang, untuk bisa membuatku terus berjalan dan menutup telingaku akan semua hinaan.

Aku tak mau mengeluh dan menyesali keberadaanku pada ibu,
Kuyakin 9 bulan dirahimnya kasih dan doa adalah suapannya. Kerena bila tidak, mungkin aku adalah salah satu bayi yang ditemukan dalam kantong plastik yang menjadi rebutan anjing geladak. Kuyakin bila dia masih di sampingku tangannya akan selalu menutup telingaku dan selalu membisikkan bahwa hidup adalah untuk esok bukan untuk kemarin. Sayang kehadiranku di tukar dengan kepergiannya. Kini 14 tahun aku seorang diri yang harus menutup telingaku dan menyakini bahwa hidupku hanyalah untuk esok.

Aku juga tidak mau menghujat Tuhan …
Meski kata orang semua bayi yang terlahir adalah suci namun tidak demikianlah dengan aku. Aku dianggap kotor dan najis karena tak adanya satu ikatan yang di syahkan di depan Tuhan. Walaupun ini bukan inginku untuk terlahir dari wanita yang ternoda nasibnya, namun adakah kesempatanku untuk memilih? Aku hanya bisa memahami bahwa aku diciptakan untuk menjadi beda, meski aku harus terseret menjalaninya.

…………..

Matahari telah terik, halaman pasar Cikini bagai terbakar. Gelisah aku memandang setiap mobil yang masuk parkiran. Kuinginkan dia datang seperti minggu-minggu sebelumnya. Aku akan rela untuk membawakan belanjaannya untuk sekedar melihat senyumnya. Senyum seorang ibu yang tulus yang di oleskan dengan hangat di hatiku. Kusadar dia jauh dari jangkauan untuk membelaiku layaknya seorang ibu pada anaknya. Ku hanya ingin mendapat senyum teduhnya, senyum yang membuatku merasa lebih layak untuk dihargai. Dan akupun juga sadari kadang keinginan sederhana bagi orang sepertiku seringkali muskil untuk terjadi, tapi aku tak ingin berkecil hati. Senyum teduh itu, kuingin lihat lagi.

“Haram….. !”
Suara halus menyapaku penuh keraguan membangunkan ku dari lamunan.
“Ibu………...!” Jawabku dalam keterperanjatan. Ibu dengan senyum teduh itu ada di hadapku. Senyumnya masih mempesonaku. Disodorkannya kardus belanjaan itu. Akupun mengekornya menuju mobil.
“Namamu Haram,nak?”
“Bukan!”
“Anak-anak dipasar bilang kalau namamu Haram saat ibu mencarimu tadi,”
“Ikhsan … panggil saya Ikhsan,”
“Kenapa?”
“PANGGILAN adalah DOA, dengan menyebut nama saya Ikhsan, mulut dan hati ibu memberikan sebuah doa bagi saya agar menjadi orang yang ikhsan,” Jawabku datar berhati-hati, ”Saya tak ingin ibu memberikan doa yang tidak tepat bagi saya melalui panggilan itu,”
“Ibu akan memanggilmu ikhsan!” Senyum itu kembali mengembang dan meneduhkan.
Tertegun aku dalam anggukan kecil. Kubiarkan mata ini berkaca.

Ada doa dan belaian kecil di rambut kumalku hari ini. Sungguh indah bagi orang yang terpinggirkan sepertiku mendapatkan sedikit kelayakan meski hanya dari panggilan nama, meski dari seucap doa. Meski Haram adalah masa laluku, dia akan selalu menjadi bayangku. Aku tak melupakannya walau langkahku tak kan lagi menoleh padanya.

“Haram!” Sebuah tepukan di pundak datang dari teman kecilku, Iman yang biasa dipanggil Dodol.
“Panggil namaku Ihksan!”
“Ikhsan? Kenapa?”
“Karena aku akan memanggil namamu … Imam!”

posted by kinanthi sophia ambalika @ 2/17/2006 03:04:00 PM - 7 comments

Hati Kardus Bunga Ranjang

Saturday, February 11, 2006


By Sam (11022006.21.53)
Secarik Cerita


Aku bertanya apakah hatiku terbuat dari seonggok kardus. Lembab dan hanyut begitu hujan membasah. Kering dan terbakar saat api memercik. Tak ada ketegaran kecuali kerapuhan. Mungkin benar hatiku dari kardus, kardus yang membungkus ketidak dayaku.

Ketidak dayaan yang sejak mula jadi pahatan kasar di jalan nasibku. Dimana aku tak bisa menentukannya kecuali mengikutinya. Patuh dan tunduk!. Belumlah mekar kelopakku saat ku dipetik dari rantingku. Diambil dari daun yang mestinya menaungiku untuk dijadikan penghias ranjang-ranjang malam. Hiasan yang tidak di hargai dengan pujian serta belaian namun sekedar hasrat sesaat untuk membuang hajat. Dipajang, dinikmati dan tak ingin diingat lagi.

………….

“Dar, kamu tahu cinta itu apa?” Tanyaku seketika.

Darmi sepertinya tuli. Ucapanku seperti tak terdengar. Matanya masih menatap kaca memulaskan bedak tebal disela kerut halusnya yang mulai nampak. Sesekali badannya bergoyang mengikuti rentak dangdut yang sedari tadi berbunyi riang memanggil pelanggan. Hanya Darmi yang dekat denganku. Sama sepertiku diapun diambil saat umurnya belum genap 13 tahun. Kami tak jauh beda kecuali hati kami. Darmi mungkin diberi hati dari besi. Keras dan selalu berpijar penuh amarah bila terbakar bara.

“Dar, cinta itu apa?” Tanyaku lagi.

Sesaat Darmi menggeleng, meletakkan gincu merahnya … menghampiriku. “Dengar Sri, tak ada istilah cinta bagi lonte macam kita. Cinta bagi kita adalah uang dan bagi mereka adalah kepuasan. Disini kita jualan. Orang jualan tak tahu apa itu cinta. Kita tahunya untung dan rugi. Itu saja. Ngerti!”

Aku mengangguk tanpa paham.

“Sudah kubur pertanyaan itu, cepat dandan!”

…………..

Malam kemarin, malam ini juga malam-malam nanti aku tetaplah bunga ranjang. Yang di taruh di kamar kamar sempit seadanya di salah satu dari sekian puluhan rumah remang di daerah Dadap ini. Meski terletak terpencil di tepi pantai yang kumuh dan kotor namun molek bunga kami banyak menggoda lelaki untuk datang. Mereka memang bukanlah kumbang tapi sekumpulan lalat. Mereka tidak menyerbukkan sari kami tapi mematuknya lalu menyelipkan lembar rupiah di kutang-kutang kami. Seperti yang Darmi bilang mungkin mereka juga tak tahu apa itu cinta. Mereka hanya membeli. Mengambil lebih dari apa yang semestinya tak kami beri … KEHORMATAN kami!

Kembali kusadari hatiku hanyalah seonggok kardus … robek dan terkoyak tak mampu membungkus kehormatan ku.



posted by kinanthi sophia ambalika @ 2/11/2006 11:47:00 PM - 6 comments

Sejenak Aku Menoleh

Friday, February 03, 2006


By Sam (03022006.11.25)
Secarik Perenungan



Logis, praktis dan realistis, mungkin itulah sedikit banyak yang dibaca rekan-rekanku di benak kepalaku. Mereka tahu beberapa pemikiran dan pandanganku termasuk juga hidupku yang menatap kedepan bukan berkaca kebelakang. Tapi entahlah pergantian tahun yang baru tergenapi satu bulan ini membawa aura yang jelas berbeda. Seketika aku ingin diam sejenak menoleh kebelakang. Menoleh pada blogku!

Belakangan ini keseriusanku terfokus pada file-file back up semua tulisan di blogku. Sejak mulai online tahun lalu semua tulisan aku kumpulkan berdasarkan file perbulan yang tidak saja kusimpan di komputer kantor ataupun laptop tapi juga PDA. Hal ini memudahkanku untuk kembali menulis atau mereviewnya kapanpun aku inginkan. File dalam bentuk MS Words ini tak lain adalah draft awal semua tulisanku di blog. Wajar bila tanpa picture atau hal lainnya. Plain dan sederhana. Sejauh ini telah ada 14 file bulanan dengan beberapa tulisan di dalamnya.

Pekan lalu tiba-tiba sebersit keinginan terlintas untuk mempunyai copy file maupun hard copy semua tulisanku selama ini dalam bentuk final. Dalam arti telah ada picture sisipan beserta comment persis seperti yang tampil di blogku. Bagiku ini sesuatu yang beda antara bentuk draft tulisan dan bentuk finalnya. Lihat saja, dalam bentuk final telah terdapat interaksi dan komunikasi dengan blogger lain disana. Ada cerita lebih dari sekedar tulisan. Bahkan saat membacanya kembali seakan mengulurkan benang-benang merah dengan masa lalu, dengan tulisan-tulisan yang tak hanya berceloteh tentang satu cerita tapi juga pemikiran dan pandangan yang di timpa dengan komentar majemuk rekan-rekan blog. Ini bener-bener unik dan luar biasa.

Bisa jadi aku akan sangat kerepotan karena yang aku inginkan tercover hanyalah body tulisannya saja. Sehingga beberapa langkah harus sabar aku ambil untuk mendapat file yang siap untuk dibuat arsip hard copynya. Mengingat telah ada 120 tulisan disana selama 14 bulanan ini. Jadi bila bicara mengenai statistiknya akan ada rata rata 7-9 tulisan perbulannya … tak sangka! Bagi aku ini sangat mencengangkan karena konsep awal masuk blog hanyalah sekedar menemukan rasa hasrat menulisku yang sempat hangus. Bahkan lebih mencengangkan karena dengan blog inilah kutemui orang-orang yang sedemikian hebat yang menjadi irisan dalam hidupku. Orang-orang yang aku panggil sebagai sahabat juga saudara … sungguh tak terbayangkan sebelumnya.

Sesaat aku baca kembali tulisan laluku ada banyak hal bertutur disana. Tentang diriku dan keseharianku, diri mereka yang didekatku bahkan pandangan dan pemikiranku. Semuanya tertulis untuk menjadikan satu inspirasi bagi yang lain. Inspirasi bahwa ada pandangan dan pemikiran yang mungkin justru beda, menggelitik bahkan bisa jadi bertentangan. Tak masalah karena inilah dunia kecil yang sama-sama saling kita ciptakan.

Kedengarannya akan sungguh rumit bila aku kata bahwa satu blog itu perlu satu konsep. Konsep akan tujuan yang ingin dicapai, konsep akan tulisan yang konsisten dan berbagai konsep yang kita anut dan tentukan hingga satu blog akan mencerminkan satu IDENTITAS tersendiri yang membedakan dengan blog lainnya. Dan hal itulah yang selalu aku upayakan ada dalam blogku sehingga wajar selalu ada beberapa kesamaan basic disetiap tulisan dan layout didalamnya ... ada sepenggal inspirasi yang hadir disana. Dan bagiku sendiri menulis bukanlah sesuatu seni yang tergantung mood tapi lebih dari itu menulis adalah SENI dalam KEDISPLINAN. Tulisan harus hadir karena kedisplinan bukan karena mood semata! Tujuan akhirnya konsistenitas tulisan menjadi sangat terjaga.

Blog adalah satu bentuk kerja keras dan kedisplinan hingga ku inginkan ada sesuatu yang bisa di manfaatkan dan diingat akan keberadaannya. Sungguh sayang bila dia hadir sekedar lalu tanpa bekas dan arah. Hanyalah bagai debu di dedaunan yang keesokan harinya akan terhapuskan oleh tetes embun pagi.

Tidak sekedar datang dan kembali menguap!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 2/03/2006 04:32:00 PM - 7 comments

Mencari Kecocokan Hati

Wednesday, February 01, 2006



By Sam (01022006.15.50)
Secarik Perenungan



“Tumben nelpon, lagi kesepian ya!”
“Tahu aja … suamiku ke luar kota nih, seminggu lage,”
“Ceritanya minta ditemani nih?” Godaku tak kalah seru.
“Kalau kamu tak ada kerja sih …. mau dong,” Rajuk manja terngiang di ujung sana, “Mumpung genting rumah pada bocor neh!”

Meledaklah tawa kami sejadi-jadi.

Akrab, dan asal. Kali itulah gambaran kami sebagai sahabat. Tak ada perbincangan tanpa saling menguatkan, menasehati bahkan juga sebaliknya saling mencela dan mentertawai. Tapi itulah bentuk persahabatan yang kami punya. Unik dan menakjubkan. Meski Dia telah mengikatkan diri dengan yang lain dan melantakkan mimpiku tapi ternyata persahabatan yang kami punya taklah turut hangus dan meng-abu! Justru sebaliknya kedekatan sebagai saudara menguatkan benang persahabatan itu menjadi satu rantai tak terputuskan.

“Ceria amat, celaan apa lage neh yang bakal nyasar ke aku?”
“Duh … tahu aja kalo mau di kerjain!”
“Emangnya aku gak hapal ama modus operandi kamu kalo lagi seneng gitu?”
“Hahahaha …. gaklah aku hanya mo tanyain ada berapa banyak prospek kamu sekarang?”
“Mmmmm…… 4 kali, atau mungkin 7?”
“Banyak amat?”
“Ya …. kan gak bakalan dipilih semua!”
“Coba tempo hari kamu pilih aku, gak bakalan deh kesusahan seperti sekarang, hahaha!”
“Sialan!”

………….

Percakapan ini tak urung membuatku pikiranku menari-nari beberapa saat. Prospek! Istilah yang saling kami gunakan untuk merujuk pada seseorang yang tengah dekat dengan kami atau tepatnya aku. Tak ada hubungannya dengan masalah sales apalagi MLM, karena ini lebih berhubungan dengan perkara Jodoh. Dia tahu sekali aku bukanlah orang yang mudah jatuh cinta, perlu waktu bagiku untuk merasa nyaman dan bisa jadi diri sendiri dalam suatu relationship. Untuk itu Dia selalu menyarankanku untuk menghimpun rekan sebanyak mungkin sebagai teman hingga bila waktunya tiba aku bisa memilih salah satu diantaranya sebagai sebelah jiwaku. “Prospek” begitu dia mengistilahkan dengan gaulnya. Kuamini dan kujalani saran ini karena aku tak melihat ada hati yang dilukai, selain itu dengan cara ini akan bisa kujumpai pribadi-pribadi yang sesungguhnya, yang tanpa topeng ataupun kepalsuan! Ini tak akan mengejutkan lagi bila memang relationship itu akan menuju level yang lebih serius.

Prospek bukanlah perkara angka tapi perkara mutu. Perkara qualitas dari satu relationship. Tak ada yang dibanggai dengan banyaknya angka itu karena hal tersebut juga tidak menunjukkan probabilitas. Jodoh memang unik sekaligus membingungkan. Dia bukanlah sesuatu yang bisa di prediksi dengan logika. Ada kalanya sampan tak mampu berlabuh karena dermaga tak mengingini. Namun tak jarang pula justru sampan yang tak mau menghampiri. Dilema, karena cinta datang kadang tanpa kita inginkan dan berlalupun tanpa kita bisa kita halang. Tapi bagaimanapun sampan harus tetap melaju, karena tak pernah kita tahu di dermaga mana kita akan berlabuh. Meski itu butuh keberanian. Meski itu adakalanya menorehkan keprihatinan. Mungkin inilah jalan kita dimana kita harus bertemu dengan orang-orang yang baik sebelum menemukan dia yang terbaik bagi kita.

………….

“Kamu hanya akan memilih satu tentunya, bisa kamu bayangkan bagaimana dengan yang lain?”
“Kupikir mereka akan seperti kita, …. Akan memiliki persahabatan denganku, seperti yang kita punya!”
“Kau yakin?”
“Tentu, relationship ini bukanlah kompetisi, ……. tapi mencari kecocokan hati!”

posted by kinanthi sophia ambalika @ 2/01/2006 11:15:00 PM - 13 comments