"Kebebasan"

Wednesday, June 27, 2007

By Sam (27062007.12.08)

Waktuku telah terlambat minggu kemarin. Setengah tiga mestinya aku telah berangkat dari rumah ke Club Rasuna tempat aku main tenis dengan team MHI-tennisku. Setidaknya bila setengah empatan aku telah berada disana akan lebih leluasa untuk Azhar-an dulu. Terlebih minggu ini adalah minggu terakhir kami menutup latihan Quarter ke 2 hingga akan ada pembicaraan dan persiapan untuk kelanjutan sewa lapangan dan pendaftaran untuk quarter selanjutnya.

Tergesa aku asal dapat, kuhentikan satu taksi yang aku lupa taksi apa itu. Tarip lama, pelayanan standart dan ac dingin plus mobil tidak bau itu cukup menyamankanku. Taksipun berjalan kencang. Aku cuman ingin menikmati perjalanan setengah jam ke depan. Daripada terganggu sengaja tak kubuka percakapan dengan supir taksi. Dari balik kaca jendela pintu belakang kulihat deretan gudang-gudang pedagang barang bekas, kayu bangunan dan persewaan peratatan bangunan. Setahun lalu tak sebanyak ini. Dan kurasa ini bukanlah tanah yang legal untuk ditempati. Tapi betapa menakjubkannya karena tiap gudang tak kurang dari 500 M2 luasnya. Pertumbuhannyapun tak terkendali. Padahal jelas-jelas kawasan ini akan jadi kanal untuk proyek Banjir Kanal Timur yang tentunya mereka akan digusur.

Setitik tapi aku bisa tersadar bahwa sebenarnya begitu indahnya hidup di negri ini. ”kebebasan” benar-benar tiada batasnya. Orang bisa dengan seenak dan sebebasnya mengkapling tanah untuk usaha, rumah bahkan jualan. Saat ditertibkan perlawanan yang diajukan. Berdalih untuk makan semua dihalalkan. Yang terbalik-balik bahkan untuk tanah-yang bersertifikatpun satu perusahaan mampu untuk menggugat pemiliknya hingga mampu menang di tingkat peradilan. Luar biasa.

Jangan persempit jendela pandang bahwa yang mampu mempunyai ”kebebasan” itu adalah mereka yang punya uang dan kuasa saja. Kaum marjinalpun seakan unjuk gigi untuk berebut mempermainkan ”kekebasan” Ini. Tengoklah jalanan. Trafic light hanyalah hiasan semata, angkutanpun mangkal di jalan dengan leluasanya. Dengan bebasnya mereka menciderai suatu peraturan untuk sekedar berunjuk gigi lupa dampak tak langsung dari perbuatannya. Menarik sekaligus menunjukkan kebodohan kita.

”Cieetttt!” Taksi di rem mendadak.
”$#%$#^&*@ !” Umpat sopir taksi tak berkesudahan.
Kesadaranku seakan dipentalkan. Sebuah sepeda motor menikung memotong jalan dengan bebasnya menghantam spion dan hampir tertabrak taksi. Sepeda motor berlalu dengan satu ejekan tak bertanggung jawab. Tak menunjukkan kesalahan apalagi sikap penyesalan.

Satu lagi ”kebebasan” berlalu dimataku. Satu keindahan? Mungkin bagi yang menikmatinya sesaat. Bagi yang mau berfikir dalam? "Kebodohan" mungkin!

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 6/27/2007 01:26:00 PM - 3 comments

Pasar Kaget

Wednesday, June 20, 2007

By Sam (20062007.13.49)
Renungku


Kecilku begitu suka bila di ajak ke Pasar kaget di kampung. Meski waktu dan tempatnya tak menentu pasar itu selalu mengagetkanku. Bentuk mainan baru selalu ada dan memanggil keingintahuanku. Demikian juga teriakan dan demo pedagang yang dikelilingi ibu-ibu tak luput dari sorak riangku. Aku suka!

Jauh dari bayanganku ternyata di Jakarta pasar kaget pun ada dan mampu lebih mengagetkanku. Waktunya tidak hanya diwaktu tertentu malah hampir setiap hari ada. Hebatnya dimanapun hampir bisa aku temui pasar kaget ini. Tidak saja di tanah-tanah kosong seperti dikampung. Di emperan toko, halte bahkan jembatan penyeberanganpun ada. Aku tak suka!

Di depan komplek kantorku misalnya. Jembatan penyeberangan, halte Busway Benhil hingga halte Atmajaya dan halte Benhil jadi satu titik sentral keramaian. Pasar kagetpun muncul mengikutinya. Di sisi bawah berkumpul pedagang makanan mulai jajan pasar, rujak buah, bakso, kue, roti plus minumannya. Di ram jembatan halte busway dihuni pedagang buku, VCD peminta-minta dan pedagang pakaian. Dan diatas jembatannya ramai berkumpul pedagang jepit rambut, sarung handphone, kura-kura, majalah bahkan pencopet dan anteknya. Bisa dikata lebih ramai dari pasar kaget dikampungku.

Saat waktu berkala ada trantib yang menertipkan mereka dan melarang berjualan bahkan mencopoti tali-tali yang mereka gunakan untuk menggantungkan beragam dagangan mereka. Tapi itu tak lama. Saat mobil petugas berlalu pasar ini kembali membuat kagetan. Kagetan karena aktifitas mereka tidak saja menimbulkan kemacetan tapi juga kesemrawutan, ketidaknyamanan, ketidak amanan bahkan polusi karena sampah dan bekas cucian dengan sembarang dibuang. Aku Sungguh tidak suka!


Rekan-rekankupun mengeluhkan hal serupa. Tidak saja jadi gunaman saat makan siang dan waktu luang tapi juga jadi kekesalan makian bahkan dijadikan wacana-wacana di milist, surat pembaca dan topik keluhan di koran-koran. Semuanya minta di benahi, direlokasi bahkan extremnya diberantas. Tangan-tangan merekapun tak saja menunjuk pedagang sebagai biang keladinya. Pemerintah daerah, pusat, dinas tata kotapun jadi terseret karena dianggap tak tegas dan tak becus menata secuil kota. Kemarahan mengalir dan hanya mengalir karena sejauh ini tak ada langkah pembenahan.

Semestinya kita bisa benahi hal itu sendiri. Aku yakini itu. Coba kita potong lingkaran kekusutan pola pikir sebab akibat. Kita ulur beberapa bagian saja. Begini: Sebab adanya keramaian membuat pedagang datang. Pedagang makin banyak dan bertahan karena ada pangsa pasar. Adanya perilaku kita yang membeli dagangan mereka memberi support mereka untuk menganggp tempat ini sebagai potensial market. Wajarlah bila keberadaan mereka susah dibenahi.

Coba untuk mengubah perilaku kita untuk tidak membeli barang mereka dengan berusaha membeli barang ditempat yang tepat, tempat yang seharusnya mereka ada untuk berjualan. Pasar misalkan. Perilaku ini akan secara langsung akan membuat pedagang dipasar kaget yang tak semestinya ini berfikir bahwa tempat ini bukanlah lagi potensial market yang mereka harapkan. Karena barang mereka tak laku disini. Dengan sendirinya mereka akan pindah dan menuju tempat-tempat biasa kita dengan perilaku baru kita membeli barang. Perilaku ini tak cukup berlaku untuk satu atau dua orang tapi semua orang. Ibarat kata bila kita ingin membuat orang lain konsisten dengan perilaku dan habitnya kitapun harus memberikan conton prilaku yang sama. Bukan mulut menyuruh tapi tangan dan kaki kita tidak sejalan.

Kemarin aku bertemu dengan rekanku yang sedang memilih jepit diantara beberapa tumpukan barang kelontong diatas jembatan itu. Dan hari ini aku masih mendengar betapa gerahnya dia melewati jembatan itu karena kesemrawutannya. Beberapa hari lalupun aku mendengar rekanku yang lain menghujat para pedagang di pasar kaget ini yang susah dibenahi. Dan sore ini aku menemuinya dia sedang makan bakso berdua dengan kekasihnya di depan halte itu. Minggu lalu ... akh terlalu banyak menemukan cerita tentang anomali-anomali seperti ini. Dan ini bukan perkara aku suka atau tidak suka. Aku hanya bingung ... tak mengerti akan ketidak konsistenan ini!

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 6/20/2007 03:57:00 PM - 8 comments

Kewajiban Yang Bias

Friday, June 15, 2007

By Sam (14062007.13.23)
Renungku


Membayangkan Ayam taliwang pikirku sudah melayang pada plecing kangkungnya yang segar. Ketergodaanku makin besar karena sejak pagi aku terlalu sibuk untuk sarapan ditambah waktu makanku yang telah lewat, hingga tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke rumah makan taliwang yang tak jauh dari kantorku sekitar kawasan Benhill itu. Sepi!. Ah … Mungkin karena waktu sudah menunjukkan pukul 2 batinku. Sisi baiknya aku tak perlu menunggu lama. Benar … sepuluh menit kemudian pesananku telah muncul dan aromanya pun mulai merangsang nafsu makanku.

Deg …. Aku menelan ludah karena tak terkira pedasnya. Tidak saja sambal, plecing bahkan ayamnyapun membuat mulutku terasa terbakar. Aku bukanlah penggemar masakan pedas. Kalaupun dimasakan ada cabenya itu tak lebih hanya cabai hijau besar yang memang suka aku santap. Tapi entahlah untuk ayam taliwang sikap tak doyan pedas itu sama sekali tak berlaku. Bahkan sewaktu kunjungan ke Cakranegara Lombok Hunnyku terheran-heran karena aku mampu menghabiskan 2 piring plecing kangkung plus ayamnya sementara dia yang gemar pedas telah menyerah. Kali inipun sikap tak doyan pedaspun kembali terpatahkan.

“Bila surga dan neraka tak pernah ada …. Akankah kau bersujud padanya ...”

Sekejap aku dengar potongan lirik lagu yang dinyanyikan Dewa. Keras dan berulang. Berulang dan keras hingga bisa menendangku di sudut ruang hampa yang hanya berteman pertanyaan. Satu pertanyaan sederhana yang menusuk. Untuk apa aku bersujud?. Untuk menghindari nerakakah atau sebaliknya untuk melahap surga? Namun yang lebih mendasar apakah sujudku hanya sebatas demi satu imbalan atau permintaan? Pikir dan pemahamanku amatlah dangkal untuk menelaah masalah religi. Hingga aku harus menyeret logikaku untuk dipertemukan dengan nuraniku.

Dan kembali aku menemukan sebuah pertanyaan gamang. Kenapa sujudku tidak berlandaskan atas kewajiban yang memang terbebankan pada hidupku? Seperti air sungai yang mengalir ke muara. Mengalir karena takdir dan jalan hidup bukan karena ingin menghindari hutan dan bukan pula keinginan untuk berkumpul dengan lautan. Hitunganku mengingatkanku akan banyaknya sujudku karena satu keinginan bukan karena satu kewajiban. Kewajiban akan kodratku dan jalan hidup yang kupilih. Bahkan ritual makanku kinipun bukanlah karena aku makan untuk hidup melainkan sebaliknya. Ternyata banyak perjalanan waktu memutar balikkan fakta dan kenyataan akan dua kutub yang beda. Dan konyolnya itu makin bias karena aku hanya mampu untuk melihat dengat mata bukan hatiku.


“Bila surga dan neraka tak pernah ada …. Akankah kau bersujud padanya ...”

Lagu itu masih berulang dan mengerang. Aku meninggalkan rumah makan itu dan kembali melihat tulisan besar dibawah nama rumah makan tadi. ”Pedasnya bikin nangis”. Aku memang menangis tapi bukan mataku melainkan sudut remang hatiku.

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 6/15/2007 11:13:00 AM - 7 comments

Insiden Anjing & Blink-Blik

Tuesday, June 05, 2007

Sam (05062007.09.04)
Langkahku


“Ini pasti kerjaan kamu ya Oom!” Kata Maya keponakanku yang langsung menghambur ke arahku sepulang sekolah. Aku yang sedang mensortir photo di ruang tamu jadi sasaran gelitikan dia.
“Woe … apaan she?” Aku menghindar-hindar kegelian. “Kerjaan apaan?”
“Hayo ini apa!”
Aku lihat Maya mengeluarkan sesuatu hari tas sekolah barbienya yang terlihat berat dan amat penuh sesak.
“Huahahahaha,” Tawaku tak putus melihat apa yang dikeluarkannya dari sana.
Sebuah Boneka Anjing pudel putih ukuran besar
Sebuah boneka yang lumayan berat … yang semalam aku selipkan ditas sekolahnya!
Maya kembali manyun.


Gak mudah untuk menanamkan satu kedisplinan kepada seorang anak. Tak dipungkiri bahwa kebiasaan dan cara didik amat sangat berpengaruh, terlebih contoh yang diberikan oleh orang-orang sekitarnya. Tak terkecuali bagi Maya. Keponakan perempuanku yang baru 9 tahun Agustus nanti. Pagi hari adalah hari yang melelahkan bagi seisi rumah untuk mempersiapkannya ke sekolah. Yang mulai susah bangun, susah mandi hingga susah untuk mengecek buku-bukunya yang akan dibawa hari itu. Hingga sering-sering ada “nyanyian pagi” darinya atau alasan-alasan klasik agar terhindar untuk masuk sekolah.

Kepulanganku ke jogja seringkali aku manfaatin untuk maksimal dekat dengan Maya dan Bagus kakaknya. Dengan cara ini kadang dapat temuan-temuan akan masalah-masalah mereka yang sebelumnya tak tampak. Jumat malam kemarin aku gunakan untuk mengecek seberapa daya serap maya dalam English. Beberapa buku kami keluarkan dari tas Maya. Dan setengah jam kedepan kami belajar bersama. Giliran membereskan buku Maya mulai ogah-ogahan. Seribu satu jurus alasannya keluar. Hingga aku yang dengan berat hati mengerjakannya sembari cari cara mengubah kebiasaannya ini. Dan Boneka anjing itulah hasilnya.

“Gimana, apa masih gak perlu buat periksa tas sebelum berangkat?”
Maya kembali tersenyum getir. Sepertinya dia tak ingin kesialan hari ini terulang!

*******

Sabtu malam kami kakak-kakakku mengajak jalan ke Galeria mall. Tak kecuali Maya yang kembali membuntutiku. Sementara Mamanya dan kakakku yang lain mengitari outlet-outlet konsumtif, aku ajak Maya memisahkan diri. Sengaja aku ajak dia melihat bazzar buku. Hasilnya dia tertarik dengan buku mengenai prakarya. Buku cara membuat berbagai aksesoris untuk putri dan peri berbahan dasar kertas dan manik-manik. Meski ”bukan gue banget” aku pikir satu hal positif bisa menumbuhkan minatnya untuk kreatif. Dua bukupun akhirnya berpindah ke tangannya. Dan tak lepas hingga sampai rumah.

”Oom besok jam berapa?”
”Besok, ada apa?”
”Kita khan akan buat prakarya ini?”
”Hah ... kita?”

Minggu pagi Maya sudah siap, bahkan tak ada ”nyanyian pagi” seperti hari-hari sekolah. Ditunggunya aku hingga aku siap mengantarnya beli beberapa bahan prakarya ini. Tak ingin mematahkan minatnya yang mulai nyala kamipun berangkat berbelanja. Beberapa plastik belanjaan akhirnya kami dapat dengan isi kertas asturo berbagai warna, glitter, lem fox, berbagai macam pita dan manik-manik, kuas, selotip dan beberapa pernik kecil lainnya. Kami gelar semua itu di meja. Ritme anak memang tak bisa ditebak saat semuanya sudah siap dan dia tinggal mengerjakan tiba-tiba minatnya hilang. Tak mau sia-sia akhirnya aku mulai dorong dia dengan berbagai contoh dan keyakinan bahwa apa yang dikerjakannya sudah benar dan bagus. Sepertinya aku yang mulai tak sabar karena harus melakukan pekerjaan tangan yang penuh dengan blink-blink dan serba pink ini. Kakak dan ibukupun mulai geli dengan tingkahku. Mau apa lagi. Kadang contoh real lebih bisa diserap anak-anak daripada sekedar perintah atau petunjuk.


Saat malam setengah contoh sudah kami selesaikan. Maya UUB keesokan harinya sementara akupun akan balik jakarta.
”May ... gimana nih, siapa yang beresin?”
”Biarin aja Oom, entar aku beresin!”
”Hah ... !” Mimpi apa bocah ini. Apa takut terjadi insiden anjing kemarin.
”Yakin kamu.”
”Iya ... udah biarin aja.”

Aku masuk kamar dan tak lama kemudian aku lihat maya dengan tekun memisagkan manik-manik dalam kantong berbeda demikian juga dengan lem dan segala pernik lainnya. Kertas digulung dan terakhir disapunya lantai hingga bersih kembali. Aku cuma tersenyum. Mungkin benar mendidik anak kadang tak perlu banyak bicara karena anak lebih membutuhkan contoh dari kita. Termasuk kekonsistenan dan tekat kita untuk menumbuhkan minat dan semangat dia!

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 6/05/2007 02:25:00 PM - 10 comments