Dolly

Monday, November 19, 2007


By Be Samyono (019112007.23.04)

Nama indah melekat di kata sandangku. Meski teramat sulit diucapkan namun artinya sungguh megah dan tak terjamah. Wanita sempurna pembawa sejahtera yang luar biasa begitulah makna nama panjangku. Kecilku aku begitu bangga dengan arti namaku yang selalu ibu ceritakan padaku dan ayah senandungkan saat memanggilku. Mereka selalu bilang nama adalah hadiah pertama dari orang tua. Mahkota yang aku junjung dikepalaku yang diukir dengan doa dan harapan.

Mahkota indah itu kini aku simpan. Rapat tanpa bisa di baui terlebih untuk disentuh. Rasa maluku telah membungkusnya lebih rapat dan jauh dari jangkauan pendengaranku. Di usia mekarku kini aku bukanlah wanita yang sempurna, meski aku masihlah pembawa sejahtera yang luar biasa. Aku hanyalah sebuah boneka pajang yang ditaruh di etalase untuk memamerkan sintal lekuk tubuhku guna memberikan sejahtera lahir bagi germoku dan sejahtera batin bagi penikmat tubuhku. Taklah layak lagi nama indah itu aku sandang karena akan menjadi bahan tertawaan.


Orang bilang namaku keberatan hingga nasibku taklah sepadan dengan panggilanku. Aku menolak celaan itu. Aku lebih menyela ibu dan ayahku yang hanya pandai memahkotaiku. Hanya bisa memberiku doa tanpa mau berusaha untuk menjadikan diriku bagai doa dan harapannya. Menjadikan diriku hanya bagai jimat yang dikiranya akan selalu memberikan tuah disetiap masalah dan kesulitan hidup tanpa diajar untuk bersikap bijak menghadapinya. Jadilah diriku asap yang diharap selalu membubung namun menyeruak tiada pegangan. Aku terkapar.

Pelarianku membawa diri ini pada dunia gemerlap fana yang remang kedamaian. Sekedar mencari jatidiri dan pengakuan dari orang-orang yang telah menghilangkan pegangan kasihnya padaku. Sekedar menutup luka yang selalu tersayat saat menatap ibu dan ayahku yang punya kehidupan dimana tak pernah ada aku didalamnya. Aku tak tahu bagaimana melihat kedepan, aku hanya tahu bagaimana berpoles, dan menunggu namaku disebut.


-------------




“Dolly! …”

Satu lagi sorot wajah berhasrat memanggilku begitu membaca nama baruku yang tertempel didadaku. Nama yang lebih tepat kini aku sandang!

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/19/2007 12:07:00 AM - 5 comments

Debat Kusir

Sunday, November 04, 2007

By Be Samyono (04112007.23.06)

Tanah menerima terik tengah hari dengan lapangnya. Tak ada gerutu namun kegembiraan dengan hamburan debu untuk menghiasi jalanan. Perjalananku menepi di sebuah masjid seperempat jadi dengan konsep megah yang tergambar di papaan besar di depan jalan masuk. Seakan kenjadi kesialauan yang kontras bila masjid ini selesai dibangun karena pasti akan menjadi bangunan termegah yang berdiri ditengah himpunan rumah-rumah sederhana yang lebih tepat disebut gubuk.

Keriuhan yang kudengar di depan masjid bukanlah keriuhan kegiatan keagamaan yang sedang berlangsung. Melainkan kerasnya suara loudspeaker yang mendendangkan ayat suci terselingi himbauan untuk memberikan derma bagi pembangunan masjid ini. Seorang Bapak tiada henti menyerukan kebajikan yang berujung pada kesadaran untuk mengisi jaring jaring kain kasa yang memang khusus diperuntukkan untuk menangkap derma dari setiapmobil yang lewat kampong tandus ini. Terlihat ada 3 oarang yang mengacung-acungkan tongkat berjaring itu minus bapak yang melantangkan suara tadi.

Usai hadapku pada sang Khalik aku sempatkan diri untuk menghampiri kegiatan di depan masjid itu.

“Assalamualaikum!”
“Walaikum salam, ingin menyumbang pak?”

Kuletakkan uang lima ribuan yang tersisa di keranjang, ucapan terima kasihpun meluncur dari bibir bapak pembawa tongkat jaring itu. Senyumnya mengembang.

“Kurang berapa banyak lagi pak?” Tanyaku membuka percakapan.
“Ah masih kurang banyak sekali pak.” Logat sundanya kental terdengar. “sampai uangnya cukup untuk merampungkan masjid ini.”
“Bila masjid ini jadi dengan megahnya tentu akan memerlukan biaya perawatan yang besar ya pak. Kiranya nanti akan didapat dari mana pak?”
“Yah dari mana lagi kalau tidak dari kegiatan seperti ini juga,”
“Apa tidak terpikir untuk membuat masjid yang sederhana saja yang penting bisa membangun dengan biaya sendiri sekaligus nanti untuk biaya perawatannya. Tidak perlu meminta-minta seperti ini ?”
“ Loh bapak bagaimana, siapa yang bilang kita minta-minta. Tidakkah bapak lihat apa yang kami kerjakan disini juga termasuk bekerja. Kami pun bahkan sudah mengorbankan waktu dan tenaga kami untuk mendapatkan uang sumbangan itu.” Timpal bapak itu berapi-api. “Jadi satu hal yang salah bila bapak bilang kami meminta-minta, karena disinikamipun bekerja!”

Aku tak tahu lagi apakah harus meneruskan perdebatan atau cukup mundur dengan pemakluman. Mengingat kesalahan sudah dicarikan jalan pembenarannya. Yang kutahu aku bukanlah sesama kusir kuda yang siap diajak berdebat untuk mencari pembenaran. Karena aku yakin ada logika dan hati nurani yang jelas patokan salah-benarnya tanpa perlu didebatkan! Dan akupun yakin bukan rumah seperti ini yang Tuhan ingini!.

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/04/2007 11:51:00 PM - 6 comments