Premanisme Di Sarang Pengayom

Wednesday, August 15, 2007

By Sam (15082007-16.24)
Ceritaku


Aku enggan. Sangat enggan untuk berhubungan dengan masalah birokrasi dan segala tetek bengek administrasinya. Bukanlah karena alasan malas. Namun sebenarnya aku menghindarkan diri untuk “MENGUMPAT DAN MENGUTUK!”.



Tulisan “Mengabdi, melindungi dan mengayomi” terletak mencolok di beberapa PC monitor di ruang loket 3 tempat persinggahan terakhir semua berkas perpanjangan SIMKu diproses. Di ruang inilah semua berkas dari loket-loket sebelumnya akan diperiksa dan bila lolos akan langsung dipanggil untuk photo dan menerima SIM. Sudah 2 jam aku disini menunggu antrian yang berjubel dan kalkulasiku aku telah mengeluarkan uang Rp 450.000,- ribuan untuk SIM A dan C ku yang telah terlambat perpanjangan 3 bulan. Dua ratusan untuk tariff resmi yang tertera disetiap loket dan selebihnya untuk tariff yang tak aku tahu standarnya karena langsung ditembak diloket terakhir tanpa bisa aku elak. Pasrah!

Tulisan “Mengabdi, melindungi dan mengayomi” itu masih tampak jelas dari tempat aku duduk. Tempat dimana orang disebelahku mengabarkan bahwa dengan bantuan “orang dalam” dia mendapatkan tariff yang jauh lebih murah dan waktu yang lebih cepat. Tempat dimana aku melihat para pengayom itu tanpa malu dan jengah mendahulukan orang-orangnya dengan sisipan lembaran uang disaku kanannya. Seakan mengabarkan inilah prosedur yang tepat dan benar!. Tempat dimana seorang bapak tua yang tak tahu prosedur harus mengeluarkan uang Rp 500 ribuan untuk sekedar memperpanjang SIM C nya yang kedaluarsa sebulan. Tempat yang menurutku bagai sirkus dimana logika dijungkir balikkan dan nurani diperdagangkan. Aku bergidik dan mulai MENGUMPAT.

Tulisan “Mengabdi, melindungi dan mengayomi” itu juga aku lihat terpahat besar di gerbang masuk Polsek Jogjakarta dimana kewarganegaraanku tercatat disana. Dengan niat sebagai warga yang baik aku berela hati mengurus administrasi kenegaraan ini tanpa bantuan calo untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa prosedur inilah yang benar dan gampang dilaksanakan. Namun nyatanya belum lepas gerbang aku masukin telah banyak “orang dalam” yang berbaik hati menawarkan bantuan, pun ini terjadi di setiap loketnya. Manisnya mereka menciptakan suasana yang menyulitkan bila masalah administrasi ini diurus sendiri hingga perlu bantuan mereka tanpa malu!. Sejauh ini aku cukup berbangga bisa mengikuti prosedur yang benar. Namun begitu aku duduk di loket terakhir ini aku merasa tertampar, diinjak.

Aku mulai memejamkan mata mengelak melihat ketidak profesionalan dan keasalan para aparat ini bekerja. Aku sadari Tulisan “Mengabdi, melindungi dan mengayomi” bukanlah semboyan. Itu hanyalah sekedar tulisan pengisi tempat kosong tanpa makna tanpa jiwa. Harusnya aku menangisi tempat yang paling mengayomi justru jadi sarang preman yang berkedok seragam. Dimana nasib tiap warga tergantung pada mulut serigala mana dia terterkam. Waktu berlalu, namaku dipanggil dan masuk antrian photo. Meski telah aku sebutkan untuk 2 SIM tapi hanya SIM A yang aku dapat. SIM C harus menunggu begitu mereka bilang. Usut punya usut setelah satu jam lewat dan aku pertanyakan ternyata aku lupa diphoto untuk SIM C.

Aku MENGUTUK!

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 8/15/2007 05:35:00 PM - 8 comments