Menimbang Satu Langkah

Wednesday, September 21, 2005

By Sam (21092005.15.27)
Secarik Perenungan



“Cit … berangkat yoga lebih awal ya. Perlu cit-cat neh” Pesan pendek aku kirim lewat YM menjelang siang. Dan tak berapa lama Citrapun membalas dengan singkat pula “Otree…”

Citra (
http://gudelaprisapta.blogspot.com) bersama suaminya Sapta (http://koifishway.blogspot.com) merupakan sahabat dilingkar lain kelompok tenis yang aku punya. Sahabat kala sama mengejar magister, juga sahabat hang out saat kuliah malam usai untuk berburu makan enak di café dan sekaligus sahabat untuk saling lempar tanggung jawab saat tugas kuliah bertumpuk. Suatu hal ajaib bila justru di Jakarta bisa ber cit-cat lagi sembari melakukan habit yang sama seperti photografi, karaoke atau sekali lagi … makan!

Tak ada hal khusus yang kami bicarakan malam itu di M2 gedung Dharmala sambil menunggu Kelas yoga mulai. Dan memang kami tak pernah bicara khusus karena pembicaraan kami tak lain hanyalah selalu menyangkut obrolan ringan, ejekan dan tertawa menertawakan. Kadang kami hanya berkumpul untuk bisa tertawa itu saja!. Sungguh satu bentuk persahabatan simple dan unik yang aku punya.

“Kapan neh nyusul kakak loe” tanya Citra tiba-tiba.
“Nikah ... ? memang harus?,” jawabku ringan sama sekali tak serius dan tak terpikirkan.
“Iya …ya apa harus ya? Timpal dia, “Kayaknya gue better gak nikah aja dulu ... hahahaha”
“Hah …!”

……………..

Pernyataan yang sama mengejutkannya dilemparkan oleh mbakyu cantik Faisha (
http://retnanda.blogspot.com) saat aku mengejar banyak tanya soal pernikahan siang setelahnya.
“I wish I couldn’t marry!” begitu ungkapnya.
“Hah … hah?” keterkejutanku berpangkat dua.

……………..

Tak banyak aku mendapat jawaban jujur soal pernikahan dari sumberku. Sebagian besar akan menjawab dengan kata klasik “huenak!” entah itu kenyataannya atau lambaian agar aku segera menyusul. Kutak tahu yang pasti pikirku mengatakan bahwa dunia dua hal yang berlawanan. Bila ada hitam pasti putih tergambar juga. Pastinya bila ada “huenak” pasti merasakan “Gak Huenak” nya juga. Dan hal terakhir ini yang jarang untuk di ungkap!.

Jauh aku bisa pahami kenapa citra dan Faisha memberikan statement itu. Mereka berdua menjalani pernikahan dengan indahnya. Pasangan yang kadang buat aku iri untuk bisa memiliki kesempatan hidup seperti mereka. Mereka saling memiliki dan saling mensyukuri menjalani hidup berdua. Dan pernyataan itu adalah perspektif lain agar aku lebih bijak memandang sebuah pernikahan. Bisa kubayangkan seperti diriku yang lebih dari 30 tahun menjalani hidup sendiri dengan kemandirian, menggenggam bebas untuk mengatur diri, pekerjaan, hubungan sosial hingga penghasilan. Satu yang mutlak bahwa semua keputusan ada di tangan diri kita. Tiba-tiba harus menikah … sesuatu yang notabene berarti harus berbagi dan menjalani satu kontrak bersama seumur hidup dalam suka bahkan pahitnya nestapa dengan orang lain. Merasakan bangun pagi dengan seseorang yang asing disebelah kita dan tak jarang menelan masalah bersama waktu demi waktu yang tak ada habisnya. Kadangpun semakin kita pahami pasangan kita semakin tak mengertilah kita akan dia.

Kuamini pendapat Faisha. Benar saat cinta dilembagakan. Akan ada hak kepemilikan atas cinta itu. Padahal cinta bukanlah komoditas. Dia akan tumbuh dan berkembang bila tidak diperlakukan sebagai sebuah materi.

Aku yakin perdebatan seperti ini tak akan pernah usai. Semua sangat tergantung dari dimana sudut pandang kita tempatkan dan seberapa banyak ketergantungan pada beberapa variable kita berikan. Ah … bila dipikir seperti makan buah simalakama. Menikah akan sulit menjadi lajangpun bukan berarti mudah! Pilihan terbaik adalah menjalaninya setiap pilihan dengan sadar akan segala konsekwensi yang terjadi di depannya nanti. Sadar untuk tujuan apa setiap langkah ini kita pilih dan lalui.

Bila pertanyaan itu dikembalikan padaku antara memilih menikah dengan tidak maka, dengan pasti aku jawab “menikah!” dan menjalani “satu pernikahan”

Satu pernikahan yang secara logika bukanlah sekedar satu moment “keterpaksaan” karena terbentur waktu atau pilihan. Namun karena ada satu tujuan bersama yang sepaham untuk dilalui bersama dalam satu sinergi, dalam satu kerjasama antar partner yang bisa saling tumbuh dan menumbuhkan.

Satu pernikahan yang secara hati, disitu ada cinta. Cinta yang mengerti bahwa dia bermakna memberi dan bukan sebaliknya. Cinta yang akan saling mendampingi seujung ajal menyambut.

……………

Timbanganku telah berada di sisi yang telah kuputuskan. Ku tak perlu gerah bila ada yang mempertanyakan waktuku. Karena kuyakin saat itu akan ada dan akan …. tiba!


Image hosted by Photobucket.com


posted by kinanthi sophia ambalika @ 9/21/2005 05:31:00 PM - 10 comments

Bilur Membenam

Friday, September 16, 2005

By Sam (016092005.16.24)
Secarik Cerita Pendek



“Jati Wangi, …. kosong-kosong!”
“Kosong… kosong!”

berulang kenek oplet meneriakkan tawaran ditengah sepi dan lengangnya terminal kecil penghubung Desa Karangjati ini dengan kecamatan Jatiwangi. Tak perlu berteriak semestinya karena hanya oplet inilah satu-satunya alat transportasi ke ibukota kecamatan terdekat, dimana jalur bus antar propinsi melewatinya. Tiap orang yang datang mau tak mau pasti berurusan dengan oplet jalur Jatiwangi – Karangjati ini. Tak ada yang lain. Ah … mungkin dengan teriakan itu kesunyian sedikit terkuak dan terlebih lagi eksistensi dia sebagai kenek tak perlu di pertanyakan lagi.

Aku orang kedua yang sejak seperempat jam tadi masuk dan duduk di pojok oplet. Sebelumnya telah ada seorang bapak dengan anak perempuannya usia sekolah dasar telah berdandan rapi mengambil tempat di sebelah sopir. Lagaknya mereka akan pergi ke pasar malam di kecamatan. Sengaja mereka berangkat sore hingga tak kemalaman sampai disana. Terlihat beberapa kali si bocah memandangku ke belakang di balik poni kusutnya dengan sesekali memainkan ujung kerah. Kusambut dengan senyum kecil. Segera berpalinglah dia.

Entah berapa orang lagi yang naik oplet ini, aku tak begitu peduli. Yang kutahu aroma hasil bumi makin tajam menyebar, dan di atas sana mendung mulai menggelayut mewarnai langit dengan gores kelabu. Tak berapa lama perlahan oplet mulai berjalan meski penumpang tidaklah penuh. Bukan tanpa tujuan bila dari Jakarta rela kutempuh 9 jam perjalanan hingga sampai desa sepi ini. Desa dimana masa kecilku tumbuh diantara pokok jati dan desa tempat aku membangun gua kesendirianku saat tanganku tak bisa menggenggam masalah. Dan yang pasti, desa tempat bapak dan emakku terkuburkan empat belas tahun lalu saat ajal tak bisa dihentikan. Inilah tempat yang tepat bagi kesendirianku.

Aku tak berlari sejauh ini. Aku hanya perlu waktu mencerna kata yang selalu kau ucap. Yang kau kata dan kau usapkan. Sebait kata … sayang!. Sejak langkah kita tak lagi beda. Kau tak luputkan hari dengan bait sayangmu. Kau bisik dan teriakkan. Bait yang membuat diri ini merasai selaksa bahagia juga bait yang selalu membuatku berfikir untuk selalu bisa memberi lebih dari yang kupunya.

Namun sebelah jiwaku ….

Apakah kau terlupa. Bait sayangmu juga menyesakkan aku. Membuatku selalu mempertanyakan siapa diri ini saat kuberkaca. Dan tak jarang melantakkan bara semangat yang ku punya.

Terabakah ….
Sayangmu sebenarnya bukanlah untukku, bait itu hanyalah untuk dirimu. Refleksi keposesifan untuk tidak kehilangan aku dan juga ke-egoan untuk menginginkanku seperti yang kau mau. Dalam sesak aku tiada pilihan untuk berbuat kecuali mengamini! Melepas keping demi keping keinginan, hasrat dan jati diri. Menjunjung balas sayang yang kau ucapkan.

Terasakah …
Kudalam lelah dan tatih melalui jalan kita. Ku selalu terkapar dalam hampa dan bentang tanya yang selalu kandas dalam jawabmu … dalam Bait Sayangmu.

………………..

Hujan telah membasah jalan tanpa aspal. Serseok oplet tua menembus derasnya hujan. Roda meninggalkan jalur memanjang di tanah merah. Hari ini ku kembali padamu sebelah jiwaku, kembali pada ketidak adaan pilihanku. Membiarkan hati ini tergores seperti jalur manjang di tanah itu, Ku akan menahan perih bekasnya yang menjadi bilur membenam.

Karena …

Akupun akan bisikkan bait sayangku padamu!



[Jangan kau harap dia akan mencintaimu sebagaimana kau mencintai dia, karena dia beda, karena dia akan mencintaimu dengan cara dia bukan dengan cara kamu]

posted by kinanthi sophia ambalika @ 9/16/2005 06:12:00 PM - 18 comments

MHI Tennis Bla-Bla-Bla

Thursday, September 08, 2005

By Sam (04092005.13.05)

“Jadi kagak entar bowlingnya”
“Kita ketemu aja senin sore saat tennis, ya!”
“Guru renangnya dah di telpon blon?”
“Waduh yoga semalem bikin gw nyenyak tidur”

atau

“Bawa stick khan, kita jadi golf loh rabu ini”

Sekelumit perbincangan di atas jadi marak di Milist MHI tennis group kami juga di YM belakangan ini. Bagi yang bingung akan semakin pusing memikirkan. Sebenernya group kami ini, group tennis atau kantor KONI ?. Dimana segala macam olah raga dilakukan. Itupun masih mending kadang jadwal lunch, nomat, konser hingga jadwal fitness tumplek blek disini membentuk irisan-irisan kecil sekumpulan rekan yang sama luang waktunya atau sama hobynya.

Hal ini menjadi semakin lucu karena terlihat ada kelompok-kelompok kecil di dalam kelompok besar sehingga sering ada beberapa kelakaran. “MHI tennis yang mana nih? Yang senin sore, yang bowling, golf atau yang lunch?

Merisaukankah hal ini? Karena seakan ada serpihan-serpihan kecil dalam satu kelompok. Ah! Hari gini masih berfikir seperti itu?

Aku melihat kewajaran dan pemakluman yang amat sangat atas perkembangan kelompok tennis ini. Bisa jadi saat jumlah kami masih masuk dalam hitungan jari segala sesuatunya lebih homogen, lebih terkontrol dan lebih bisa menjalankan aktifitas bersama-sama. Namun kini kami amat sangat jauh berbeda. Tidak saja dalam segi kuantitas yang berlipat tapi juga keragaman rasa, pikir dan keinginan. Sangatlah muskil untuk melakukan semua aktifitas bersama. Wajarlah bila sub kegiatanya hanya diikuti oleh rekan yang senggang dan minat untuk join. Yang lain akan segera mencari sub kegiatan yang tepat dan memungkinkan waktunya. Tak masalah!.

Justru aku pikir ini memperkaya perkembangan kelompok secara konstruktif. Menciptakan satu dinamika yang positif dan maju. Pikiran dan kegiatan kami tak hanya terbelenggu oleh pendapat sempit di sekitar tennis dan tennis semata. Bahkan dengan keragaman kegiatan memungkinkan masing-masing rekan mengexplore kemampuannya untuk mengembangkan diri di kegiatan yang dia ingini. Toh bila dipikir tennis kami tetap berjalan dan berkembang. Tak ada yang dirugikan dalam hal ini.

Jadi feel free saja bila tiba-tiba ada email nongol di milist tentang satu kegiatan yang mungkin tak nyambung dengan tennis.

“ Ball room dance nya mulai hari ini ... loh!” Misalnya!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 9/08/2005 02:32:00 PM - 2 comments

Full Story Ramayana Ballet

Sunday, September 04, 2005

By Sam (04092005.21.07)

Terlalu dini sepertinya kedatanganku dan keluargaku berdelapan ke komplek Ramayana Ballet yang berada tepat di sebelah barat komplek Candi Prambanan sore ini. Jam masih menunjukkan pukul 18.15 sementara pertunjukan Ramayana Ballet baru akan dimulai 19.30 nanti. Cukup lama! Tapi kurasa keadaan ini malah memberikan keuntungan disamping kami cukup leluasa untuk memilih tempat duduk, bebas dari macetnya jogja saat liburan panjang seperti ini juga kami bisa berfoto di beberapa sudut menarik dengan mudah. Dan yang tak kalah menariknya aku bisa meng-eksplore setiap sudut theater terbuka yang dibangun tepat dengan background Candi Prambanan yang bermandikan sorot lampu ini dengan bebasnya. Satu kesempatan yang langka!

Ramayana Ballet adalah pertunjukan sendratari kolosal dengan cerita epic Ramayana. Di jogja sendratari ini diadakan secara terjadwal di dua tempat. Selain di panggung amphi theater terbuka prambanan juga di gelar di Taman Hiburan Rakyat Purawisata. Setiap bulan bisa lebih dari 15 kali pagelaran ini digelar. Cerita yang disajikan diseling antara full story dan tiap fragmen seperti penggalan cerita anoman obong, rama tambak dan lain-lain. Beruntung malam ini kami bisa menyaksikan full story-nya. Untuk tiket tergolong mahal bagi wisatawan domestic. Kisaran 75 ribu hingga 150 ribu harus dikeluarkan perorang untuk pertunjukkan yang memakan waktu dua setengah jam ini. Tiket itu akan bertambah 15 ribu lagi bagi penonton dengan video shooting serta 2 ribu bagi pemegang kamera. Wajar bila terlihat di bangku VIP dan Klas 1 lebih banyak di duduki turis manca Negara. Bila ingin menikmati suasana lebih bisa kembali merogoh kocek 40 ribu untuk bisa menikmati santap malam di restoran yang cukup romantis dan representatif di area komplek ini.

Image hosted by Photobucket.com



Dengan mengambil background candi Prambanan panggung terbuka ini terkesan eksotik. Belum lagi tata lampu dan tempat duduk cukup memberikan warna lain. Dan yang lebih menarik panggung ini ditata sedemikian rupa sehingga para penari tak hanya muncul dari belakang panggung namun juga dari samping serta sudut diantara tempat duduk penonton. Aturan selama pertunjukanpun cukup ketat diberikan ke penonton sehingga focus kepada pertunjukan benar2 diutamakan. Sejauh ini tak ada rugi kurasa untuk melihat sisi lain pertunjukan budaya tradisional ini mengingat kemasannya yang begitu tertata dan professional.

Tepat pukul 19.30 seperti yang telah diagendakan pagelaran Ramayana Ballet ini dibuka dengan narasi singkat dalam 2 bahasa. Gamelan berkumandang mengiringi adegan awal yang berkisah bagaimana Rama memenangkan sayembara memperebutkan Shinta hingga pembuangan mereka ke hutan. Dan episode pertama ditutup dengan adegan anoman membakar kerajaan alengka denga visualisasi pembakaran jerami tepat di puncak panggung ... begitu mempesona! Setelah break 10 menit pertunjukan kembali dilanjutkan dengan adegan rama tambak dan diakhiri dengan adegan shinta membakar diri untuk membuktikan kesuciannya pada Rama. Tepuk panjang mengakhiri pertunjukan ini dan sebagai penutup penonton di perbolehkan naik panggung untuk berphoto bersama penari. Berebutlah penonton dengan antusias menuju panggung. Bisa dibayangkan penuhnya panggung begitu hampir 500-an penonton malam itu menyesakinya.

Banyak hal yang patut dicatat melihat pertunjukan malam ini, yang secara keseluruhan sangat memuaskan. Diantaranya, sisi akustik cukup prima tanpa noise sehingga gamelan dan suara sinden beradu dengan indah. Koreografi tarinyapun cukup indah dan dinamis, tak hanya menonjolkan seni klasik adiluhung tapi juga muncul humor-humor segar tari khususnya di adegan peperangan antara pasukan raksasa dan monyet serta aksi menarik dengan memanah betulan saat terjadi adegan perang. Busana penari tak kalah indah dipadu dengan make up artis yang tepat bagi keseluruhan tokoh. Dan yang terakhir penontonnya cukup kooperatif sehingga bisa menikmati pertunjukan yang tergolong “berat” ini dengan nyaman. Pendek kata pagelaran ini layak dan rekomended untuk ditonton. Jangan kawatir akan bingung dengan jalan cerita karena telah di sediakan sinopsis kecil gratis dalam beberapa bahasa.
Image hosted by Photobucket.com


Namun demikian alangkah hebatnya bila beberapa terobosan bisa segera di terapkan agar pagelaran ini lebih menarik lagi. Misalkan penambahan spesial efek sehingga beberapa adegan terasa hidup dan punya greget mengingat tari jawa begitu halus tak jarang rasa bosan seringkali hinggap dan menggiring kantuk untuk datang. Disamping itu arti kolosal yang ditonjolkan kurang punya greget mengingat jumlah penari yang hanya 50-an orang masih jauh dari kata “penuh” bagi besaran panggung yang maha besar dan belum memberi greget bagi adegan perang kolosal yang seringkali tampil antara pasukan monyet dan raksasa.

Bagi pengunjung satu rekomendasi untuk memilih tempat duduk di depan tengah merupakan satu keharusan, mengingat ini adalah pertunjukan panggung bukan bioskop. Selain bisa mudah dalam mengabadikan adegan dengan video kamera, untuk memfotopun tak perlu ragu akan hasilnya. Semua tahu bahwa kurangnya cahanya akan mempengaruhi kecepatan shutter dan kualitas gambar. Kecuali bila anda seperti photografer yang berdiri tepat di belakang saya. Dengan bantuan Tripot, Tele serta kamera SLR canggih, rasanya dia tak perlu membeli tiket VIP bila ingin mengabadikan semua adegan menarik sepanjang pagelaran ini.

Ini benar-benar membuat aku iri ...

posted by kinanthi sophia ambalika @ 9/04/2005 10:52:00 PM - 7 comments

Behind The Scene [KDPI]

Thursday, September 01, 2005

By Sam (31082005.23.17)
KDPI [Kutitipkan doa pada ibuku]


Tengah bulan lalu, tepatnya 17 agustus pukul 20.23, jari tanganku ada di atas keyboard laptop menantikan perintah dari pikirku yang berputar mencari sebentuk ide. Untuk kutuang dan kuronce. Bukan inspirasi yang kudapat namun tanya-tanya kecil yang tak kutemui jawabnya. Tanda tanya akan makin senjangnya kata merdeka dengan apa yang kini dirasa warganya. Dirasa oleh orang-orang yang selama ini dikata hidup di bumi penuh limpahan namun nyatanya harus menahan perut yang makin kelapar dan hidup yang makin tertekan. Inikah cermin yang bisa dikata bahwa kita telah merdeka? Pada jawabnya kurasa Tuhan telah menyediakannya. Hingga batinku mengata merdeka kali ini bukan hura-hura yang mesti terlaksana namun satu doa yang mesti dikata. Doa keselamatan, bagi nurani bangsa yang telah terkoyak ...

Tepat 20.30 kutulis kata pertama. “Tuhan ...” dan kuakhiri tulisan ini dengan satu pinta tepat 15 menit kemudian. Bergegas aku tarik kabel telpon untuk menghubungkan ku dengan jaringan internet, tak berapa lama tulisanku telah terpublish di blogku. Sengaja tulisan ini kutuang untuk menyemarakkan 17-an di blogfam, dan tak ada keinginan lain kecuali mencoba melibatkan diri dalam comunitas yang sebelumnya hanya bannernya saja yang kupampang di blogku. Paginya aku temukan pic jari ucapan dirgahayu yang sesegera mungkin aku tempel lewat PC di kantorku. Hingga sampai siang telah ada 3 comment yang mampir dan tiba-tiba ...

“Mas kok sudah di publish entry 17-annya” Ucap Yaya rekan blogger di YM seketika
“Loh bukannya sekarang publishnya” Tanyaku tak kalah bingung

Serta merta yaya mencopykan semua informasi di blogfam. Tanggal 24 mestinya! Duh!

“Trus” tanyaku minta saran
“Hapus aja dulu entar di publish nanti” Usul yaya.

Woaah! Apa daya ... kuikuti saran pendek ini.

.....

Kalaupun pada akhirnya KDPI-ku diletakkan sebagai juara 2 lomba entry 17-an, segenggam terima kasih ingin kuucap. Diriku melihat bahwa kemenangan ini bukanlah kemenangaku seorang, bukan pula kebanggaanku semata. Kurasa ini kemenangan bersama! Betapa tidak. Ditengah marutnya keadaan bangsa ini ternyata ada satu komunitas yang dengan caranya sendiri memberi warna pada kata kemerdekaan melalui kreatifitas dan erat genggam tangan antar penghuninya. Satu komunitas yang bernama BLOGFAM yang mengusung kata “we’re virtual family”, mampu menopang kebersamaan kecil tanpa riuh namun sarat arti ... suatu hal yang luar biasa yang patut untuk diberikan kemenangan dan kebanggaan.


Meski kita hanya saling mengenal dalam satu rangkaian kata di dalam dunia maya namun untainnya mengikat hati dan menggenggam arti bahwa kami di sini tidaklah sendiri!

[Sahabat-sahabat terima kasih atas ucap dan hangat sapamu. Kita rayakan kemenangan kita bersama ini dengan satu panjat doa syukur]

posted by kinanthi sophia ambalika @ 9/01/2005 08:23:00 AM - 0 comments