Menari Bersama Hujan

Tuesday, December 11, 2007

By Sam (11122007.12.08)
Ceritaku


Kepastian belakangan meliuk menjadi satu hal yang langka. Demikian pula dengan hujan. Hujan tak mau lagi diikat dalam satuan penanggalan musim, enggan juga dihitung pasti untuk memprediksi satu masa. Hujan ingin bebas. Bebas untuk datang, bebas pula untuk tak mengunjungi. Hujan membiarkan anak negeri memaki karena air kadang datang tak terduga, dan tak luput mengejek mereka yang berharap karena berbulan tanahnya tak lagi basah. Hujan semaunya mempermainkan harapan dan kecemasan. Memberikan ketidakpastian, memainkan sebuah nasib.

Nasibku bagai semut. Berdiri merapat berjejal dengan teman-teman sebaya diantara sela gedung bertulang membawa payung usang di tengah kemauan hujan yang membasah. Hanya keinginanku untuk bertahan yang memberikan kehangatan di tubuhku yang mulai mengigil.

“Payung pak !” Tawarku berulang kepada mereka-mereka yang menunggu dari kebasahan.
“Bu ... Payung !” Harapku berulang-ulang sambil meminta agar hujan terus jadi temanku sore ini.

Aku melihat banyak wajah yang berharap yang sebaliknya. Namun sepertinya hujan akan lama berpihak padaku.

“Dek, sini !” Seorang bapak melambaikan tangannya.

Aku sodorkan payung yang telah aku buka. Bapak itu melompat ke hujan dalam lindungan payung. Langkahnya janggal menapak, sesekali dihindarinya genangan air. Tapi tak urung celana dan sepatu mahalnya mulai ikut disapa air.


“Brengsek !” Keluhnya. Dia makin mempercepat langkahnya menuju gedung sebelah. Dan aku bagai anjing yang memainkan ekorku, mengikuti sambil menari-nari dibelakang.

Sampai di teras bapak itu mengulurkan payung itu padaku. Sigap kuterima berikut koin uang limaratus perak yang dilemparkan padaku.

“Boleh ditambah lagi Pak ?” Tanyaku berharap.
Tanpa ekspresi Bapak itu berpaling dan berkata, “Payung itu sudah usang dan malah membuat aku basah, beruntung kamu masih aku kasih uang,”
“Tapi Pak ... !” Keinginanku untuk berdebat tiba-tiba aku urungkan.
“Heran kecil-kecil sudah belajar untuk memalak orang, mau jadi apa besar kamu nanti !” Ujarnya meninggalkan aku.

Aku melompat ke dalam hujan yang mengairi tubuhku. Membiarkan airnya menyamarkan airmataku. Membiarkan tetesnya menyiram panas hatiku. Bapak itu lupa yang aku lakukan bukanlah untuk menjadikanku bisa kaya dengan recehan itu, tapi hanya sekedar usaha untuk membuatku bisa melihat matahari esok.

Kembali aku menari dalam hujan untuk menjabat tetes-tetes air yang masih berpihak padaku. Meski aku tak bisa memastikan kapan datang dan perginya namun basahnya kali ini memberi banyak harapan bagi aku untuk bisa mengganjal laparku. Memperjuangkan nasibku.

Hujan jangan berhenti!

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 12/11/2007 10:39:00 PM -

8 Comments:

Blogger yaya said...

Great story mas..
nasib anak-anak penjaja payung emang masih sedikit yang meratiin. Padahal jasa mereka juga gak sedikit.

Psst, tanda bacanya masih banyak yang perlu diperbaiki yaa :)

11:52 AM  
Anonymous Anonymous said...

Hmm....saya mau tanya paman Sam, pernah berapa tahun jadi Ojek payung...wah..hebat juga ya, bisa sukses skrng.

11:53 AM  
Anonymous Anonymous said...

hmm...

8:28 AM  
Blogger -ndutyke said...

Kembali aku menari dalam hujan untuk menjabat tetes-tetes air yang masih berpihak padaku.

puitis bgt....

kalah deh kita yang 4 tahun kuliah di sastra :)

2:15 PM  
Blogger unai said...

dulu pernah jadi ojeg payung yah Om..hehe canda..lagi lagi cerpenmu bagus mas...lagi lagi

8:10 AM  
Blogger Evan said...

Om Sam: Hujan jangan berhenti!
Evan: Hujan berhentilah! jangan permainkan nasib Evan..:-)

1:57 PM  
Blogger Cempluk Story said...

di daerah cempluk _surabaya_ lagi ujan deres nih mas..


lam kenal yah..blog nya keren..

5:46 PM  
Blogger mamat ! said...

tinggal nunggu dibukukan nih ....

12:26 AM  

Post a Comment

<< Home