Duka di Langit Jogja
Monday, May 29, 2006
Langkahku
“Weruh sak durunge winarah” (Mengetahui sebelum terjadi) itulah kata yang setidaknya kami sebagian masyarakat Jogja percayai atas segala yang berlaku di Bumi Kesultanan Jawa ini. Sehingga wajar bila apapun keadaannya kami selalu percaya bahwa Jogja akan selalu aman, selalu terlindung. Ini bukan kata yang muluk karena bukti fisik jelas terlihat dan nampak secara kasat seperti geliat Gunung Merapi belakangan ini yang “bisa’ dikendalikan, topan tornado tahun lalu yang membelok di laut Selatan tanpa bisa mencapai Jogja seperti prediksi dan kejadian lain diluar nalar pada umumnya. Semua bisa diketahui semua bisa diprediksikan oleh kalangan kraton maupun Sultan sendiri sehingga rakyat bisa bersiap sedari dini untuk antisipasi. Tapi tidak dengan gempa Sabtu 27 Mei 2006 beberapa hari lalu. Gusti punya rencana lain. Rencana maha dahsyat yang meninggalkan duka dan air mata dalam catatan hidup kami.
Tak ada yang beda dengan kepulanganku bersama kakak-kakakku tiap kali libur panjang di Jogja. Menengok ibu, berkumpul dengan saudara di rumah ibu, bercanda dengan keponakan dan menyusuri kota budaya saat teman memerlukan pendamping wisata adalah kerutinan acara kepulangan kami yang telah berada di Jogja sejak Kamis, 25 Mei lalu. Hari Jum’at tanggal 26 Mei 2006 pun aku masih meladeni keponakan-keponakan untuk renang, bahkan Ibu masih sempat menyiapkan nasi kuning untuk ulang tahunku meski telah terlewat dan kamipun seperti biasa masih menghabiskan malam dengan berkumpul dan berkelakar. Di ujung malam aku dan keluarga kakakku meninggalkan rumah ibu di Jogja kota untuk menginap di rumah mereka yang berjarak 15 kilo ke arah timur. Tepatnya di Piyungan Bantul. Semua berjalan wajar dan tanpa firasat. Anpa pernah menduga bahwa kerutinan ini ada jedanya.
“Keluar … keluar! Allahu Akbar!”
Teriakku berulang kali tanpa sadar sembari meloncat dari ranjang dari lelapku. Dan berlari sekencangnya meninggalkan kamar di lantai dua. Saat itu suara gemuruh keras terdengar disekeliling rumah dibarengi dengan bergetarnya dinding dan lantai. Tak itu saja plafon-plafon menjatuhkan serpihan. Meski suara begitu menakutkan namun tak ada teriakan lain di dalam rumah kecuali suaraku yang makin parau menuruni tangga. Dalam panikku aku tak bisa berfikir lain untuk tahu apa yang terjadi kecuali memperingatkan yang lain dan berusaha mencapai tanah lapang di depan rumah. Suara gemuruh makin keras dan rumah seakan di kocok sehebat-hebatnya. Kudapati kakak dan adikku telah dahulu mencapai depan pintu rumah dengan pucat dan pandangan kosong menyusul kakak iparku dalam wajah ketakutan di belakang. Kami tak bisa mencapai lapangan karena terkunci dalam pagar. Beruntung goncangan hebat itu mereda setelah 57 detik dan perlahan menghilang. Kami tak bisa berkata apa-apa selain saling memandang dalam ketegunan, kecemasan dan perasaan yang bercampur aduk.
Saat kami bisa keluar pagar kami dapati para tetangga sudah berkumpul di lapangan dengan ketakutan yang sama. Perumahan Griya Taman Sari Piyungan ini memang belum banyak dihuni warga wajar bila hanya terlihat beberapa keluarga yang saling berkelompok. Kami sam-sama tak berani masuk rumah. Takut terjadi gempa susulan. Terlihat beberapa rumah retak dan beberapa roboh, bersyukur rumah kami masih utuh meski beberapa barang dirumah pecah dan genting berjatuhan. Kami sadari ini gempa besar. Namun kami tak bisa apa-apa listrik dan telepon seluler mati. Kami terisolir. Aku tak tahu bagaimana keadaan ibu dan kakak-kakakku di kota. Kami hanya bisa berkumpul dan mencari berita di radio mobil kami yang bagian atasnya telah peyok kejatuhan genting. Sesekali kami rasakan gempa susulan yang membuat kami kembali berhamburan.
Dari radio Sonora Jogja kami dapati berita bahwa kejadian ini adalah gempa yang berpusat di laut selatan dengan kedalaman 33 km di dasar laut terjadi pukul 05.54 di 5,9 SR. . Ini adalah gempa tektonik bukan karena aktifitas merapi. Beberapa penelepon di radio mengabarkan kerusakan dan kepanikan yang tiada putusnya. Pukul 08.07 kembali gempa susulan 5.2 SR kami rasakan. Kami panik terlebih informasi mengenai kondisi ibu dan saudara kami belum kami dapatkan. Sekejab telkomselku mendapatkan sinyal aku sempat menelpon Yeni yang bepergian ke Ambon namun tak terangkat. Akhirnya aku bisa sms Mamat di Jakarta untuk meminta di update informasi karena kami terisolir dari berita. Setelah itu Seluler seakan mati hanya bisa terima SMS namun tak bisa untuk mereplay apalagi menelpon. Sebelum pukul sepuluh aku, adik, kakak serta istrinya meninggalkan Piyungan untuk menengok keadaan ibu di jogja. Tak terpikir bagaimana keadaan kami yang penting kebutuhan vital bisa kami bawa.
Astagfirullah! Rasanya kakiku lemas dan kecemasanku begitu memuncak beraduk dengan ketakutan yang sangat. Saat kami keluar dari perumahan melewati rumah-rumah penduduk di desa Petir untuk mencapai jalan utama. Kondisi begitu mengenaskan karena tak ada rumah yang berdiri kokoh, semua rata tanah. Orang-orang tumpah ke jalan dan beberapa terluka bahkan ada yang meninggal. Jembatanpun bergeser dari tempat semula. Aku tak bisa lagi mengangkat kamera untuk sekedar memotret mereka. Aku tak tega dan lumpuh. Pikiranku terfokus pada kondisi keluargaku yang belum pasti. Tak bisa kubayangkan bahwa diluar perumahan ini kondisinya begitu parah. Tanda Tanya makin besar apakah rumah ibu akan sedemikian parahnya. Ya Allah tolonglah. Ini bukan sekedar gempa tapi bencana!
Kami kembali ke jogja melewati jalan Piyungan-Wonosari, tak terlihat lagi kondisi normal di sepanjang jalan hampir semua rata tanah dan hanya menyisakan puing, orang-orang yang meninggal, terluka dan panik. Belum sampai seratus meter kami ke barat menuju Jogja tampak di depan suasana sedemikian kacau. Debu dari bangunan-bangunan yang runtuh beterbangan dimana mana hingga lampu-lampu mobil dan motor menyala acak, belum lagi arus balik makin riuh dengan teriakan air dan tsunami. Orang-orang berhamburan tak tentu arah. Kami berempat didalam mobil makin ketakutan dan shock. Terlebih aku yang sempat melihat bagaimana dahsyatnya tsunami di Aceh saat berkunjung kesana. Adekku yang menyetir aku teriaki untuk memutar balik mobil dan mengambil jalan ke utara ke arah Prambanan. Kami tak mau ke timur menuju puncak Gunung Kidul meski tempat itu tinggi tapi kondisi keluarga di jogja yang belum jelas jadi pertimbangan kami bila kembali. Kekacauan ini mengaduk emosi kami. Doa dan ampunan serta air mata rasanya mengalir begitu saja. Semua serba gelap di mata kami. Kami bingung. Kami putus asa. Terlebih premium di mobil telah berada di garis merah!
Beruntung di ujung lokasi Candi Prambanan terdapat SPBU. Setelah mengisi kami cepat-cepat ke Jogja melewati jalan Jogja-Solo. Tapi sekali lagi kami tak bisa masuk kota. Serta merta dari arah Jogja arus lalu lintas seperti tumpah. Semua meneriakkan isyu air dan Tsunami. Kami pasrah dan mau tak mau mesti putar balik. Meskipun logika kami mengatakan tak mungkin tapi keberingasan pengungsi membuat kami ciut nyali. Siaran Sonora jadi pedoman kami yang panik. Perlahan kami tahu tak ada tsunami dan kalaupun ada tak mungkin mencapai Jogja. Kami keluar dari arus. Menunggu di sisi komplek Candi Prambanan yang terlihat telah mengalami kerusakan berat. Ada pos polisi disana. Merekapun kehilangan informasi dan kontak. Satu-satunya siaran radio dari mobil kami mereka jadikan acuan untuk menenangkan massa. Kami menunggu dalam ketidak pastian. Sementara data korban makin meningkat dari puluhan, ratusan hingga ribuan. Ini mengecilkan hati kami. Meski sulit kamipun akhirnya memperoleh kabar keluarga di jogja selamat. Ya allah kami dalam syukur. Hari ini kami lalui dengan begitu beratnya dan waktu yang berjalan demikian panjang.
Tengah hari saat lalu lintas telah normal kami berusaha lagi mencapai jogja, mengumpulkan makanan dan persediaan lain yang kami pikir akan sulit diperoleh nantinya. Perjalanan ini mengantarkan kami pada pemandangan yang beda. Hampir sebagian besar fasilitas umum Jogja hancur, retak dan rusak. Hotel, pertokoan, mall, bahkan peninggalan budaya dan sekolah-sekolah serta universitas. Syukurnya gempa di dalam kota tak sehebat di Kabupaten Bantul. Tak banyak rumah yang rusak di kota Jogja termasuk di pemukiman kami di daerah Klitren. Kami dapati keluarga kami dalam selamat. Namun trauma gempa ini demikian dalam hingga kami tak berani kembali ke rumah terlebih gempa susulan berulang kami kami rasakan. Di tengah hari kamipun beramai-ramai mencari tanah lapang di sekitar komplek pramuka Pengok untuk mengungsi. Tak ada tenda yang tersedia hingga banyak diantara kami yang berteduh di bawah-bawah pohon. Ini satu hal yang tak pernah aku bayangkan selama hidupku. Kami tak ada pilihan. Kami berada pada penantian panjang yang tak pasti. Sementara kami seakan terpisah dari berita ataupun informasi yang menenangkan dan jelas mengenai apa yang telah terjadi. Aparat, pemerintah … entah kemana.
Kami menjadi pengungsi. Itu realitanya. Tak ada listrik dan tak ada perbekalan lain kecuali pakaian yang melekat dan beberapa barang yang kami pandang berharga. Kami tinggalkan rumah dan menggelar tikar bersama keluarga yang lain. Kami syukuri. Keadaan kami jauh lebih baik daripada keluarga-keluarga lain yang ternyata banyak yang lebih tragis lagi. Utamanya mereka yang di Bantul dan Klaten. Bukan hanya harta benda yang rata tanah tapi juga banyak jiwa yang tak bisa terselamatkan. Secara geografis Bantul berada 6 km dari pusat gempa wajar jika mengalami kedahsyatan terparah. Sementara klaten yang terpisah 75 km, namun berada di jalur sekunder gempa hingga keadaannya tak jauh beda. Tak terhitung lagi mereka yang menyesaki rumah sakit dan belum tertolong serta mereka-mereka yang masih tertimbun dan belum terevakuasi. Jogja benar-benar berduka. Belum usai masalah merapi kini gempa mendatangi.
Larut malam kami tidur mengumpul ditanah lapang dengan atap terpal seadanya. Hawa dingin menusuk dan terlihat di langit awan perlahan mulai gelap sesekali kilat menerangi. Ya Allah cukupkan cobaan ini. Jangan beri hujan! Namun Allah kembali menguji kami. Tengah malam buta kami harus pindah tempat lagi karena hujan deras mengguyur. Kami ramai-ramai pindah ke Pendopo Balai Pramuka. Meski keadaan disini tak lebih aman daripada kami berada di luar tapi hujan begini kami tak ada pilihan. Berulang kami ditengah tidur kami berhamburan keluar pendopo karena gempa kembali kami rasakan. Melelahkan baik fisik maupun mental. Kami bergiliran jaga pada akhirnya. Hingga di ujung subuh kami tak kuat lagi menahan dingin dan bekunya suasana. Beberapa dari kami kembali ke rumah meski kami membatasi aktifitas di teras dan ruang depan. Was-was dan kengerian masih menyelimuti.
Minggu kemarin gempa besar tak lagi kami rasa hanya beberapa gempa kecil yang terus menurun skalanya namun tetap saja ini menakutkan bagi kami. Dari BMG tercatat 600-an kali gempa susulan menggetar hingga minggu malam. Namun hanya beberapa getaran yang mencapai 3 SR. Perlahan kami mulai membereskan rumah dan mulai keluar untuk melihat keadaan sekitar. Jogja mati. Tak ada aktifitas dan denyut nadinya. Aku sendiri belum pasti kapan akan kembali ke Jakarta mengingat pelabuhan udara juga mengalami kerusakan hebat. Di depan TV terus tertayang berita Jogja Duka dalam gambar yang mengenaskan. Gambar Jogja yang tak lagi utuh dan gambar fenomena Jogja yang ditanggapi dengan beribu pendapat dan pandangan yang berbeda. Namun apapun itu realitasnya hanya bermuara pada satu kondisi …. Saudara-saudara kita mambutuhkan pertolongan! Juga Allah telah menggariskan rencananya tanpa bisa kami pahami dahulu.
Kepulanganku ke Jogja disaat bencana dan mengalami ini semua tak aku sesali. Sama sekali!. Aku bersyukur dikumpulkan dengan keluargaku untuk melalui cobaan besar ini. Aku bersyukur kami masih diberi kesempatan dan waktu untuk lebih menunjukkan kewajiban dan tanggung jawab kami pada Dia. Untuk lebih baik dan baik lagi. Terima kasih buat sahabat-sahabatku yang peduli dengan sapa, kabar dan bantuannya. Sungguh ini mengharukanku. Ini sangat berarti bagi kami, bagi diriku. Sangat mensupport aku dan kesadaranku bahwa diriku tidak sendiri di sini. Terima kasih.
Ps:
Saat kuposting berita ini aku masih di Jogja. Di kamar atas dengan was-was. Mungkin besok baru kembali ke Jakarta.
posted by kinanthi sophia ambalika @ 5/29/2006 01:51:00 PM -
18 Comments:
Alhamdulillah, Sam dan keluarga baik-baik saja. Semoga Sam dan keluarga di Jogja selalu dilindungi oleh Allah SWT, doa dari kami menyertai!
yang tabah ya mas Sam, salam utk keluarga..
Mas..take care always yaaa. Doaku menyertai mas dan keluarga mas serta seluruh warga Indonesia, terutama Yogya..
semoga semua diberikan ketabahan.
teriring doa untuk saudara-saudaraku di Jogja dan Jawa Tengah.
Tks Sam, telah semakin 'membuka' mata hati kami
thanks
pesennya
but... saya sdh dapat kabar dari keluarga di klitren.. semua baik baik. ya tp ibu ndak di situ. tinggal di tempat kakak yang di kota gede.
kota gede lumayan parah...
tp lebih aman.. dpd tinggal sendirian di klitren.. mending sama anak2 nya.
sekali ini ibu ku mau manut...
..
thanks ya.
turut berduka cita buat musibah Jogja...
mmm... gue nggak tau kalo' gue ada disitu, apa yang bakalan gue lakukan...
serius...
syukurlah keluarga baik2 saja.
doa kami selalu untuk yang menderita.
Turut berduka cita atas tragedi ini. Syukurlah mas Sam dan keluarga baik2 aja. Semoga jangan ada lagi bencana.
Hun ... sumpah ndredeg!
Aku krasa juga pas pagi itu ... tapi yang di luar dugaan, keluarga masku yang menurut info sdg plesir ke semarang, ternyata mereka di jogja.
Not knowing what was going on really made me insane. Untung pada gpp jg, alhamdulillah!
I'm glad you and family are in a good condition!
Ya Allah, Saaammmm..
Ternyata lagi ada disana ya..
Alhamdulillah semua keluarga selamat kan???
Aku juga banyak sodara disana, tapi alhamdulillah gak papa, cuma rumah aja dindingnya pada retak2 dan genteng2 pada roboh...
alhamdulillah... kata itu yang pertama terucap ketika tau dari mamat sam selamat. jujur aku ga punya sodara di jogja. tapi sangat mengkhawatirkan teman-teman yang berada di sana. semoga teman-teman yg laen tergerak hatinya untuk membantu sodara sodara kita di sana....
alhamdulillah... kata itu yang pertama terucap ketika tau dari mamat sam selamat. jujur aku ga punya sodara di jogja. tapi sangat mengkhawatirkan teman-teman yang berada di sana. semoga teman-teman yg laen tergerak hatinya untuk membantu sodara sodara kita di sana....
maap, aku baru tau
hikz...
yang tabah yaa (mungkin terdengar klasik banget tapi aku tulus)
keep istiqomah dalam menghadapi semuanya
teriring doa dari makassar
ikut prihatin...
tapi juga bersyukur sampeyan dan keluarga diberi-Nya perlindungan.
Tetap semangat.
MAs... so far kondisi di pelosok bantul dan Klaten belum membaik. MOhon doanya ya, semoga mereka kuat mengehadapi cobaan ini
Semoga warga Jogja dan seluruh korban bencana diberikan ketabahan yang berlipat ganda. Amin.
Sam, maaf tak kuasa air mataku mengalir lagi...
dari alur ceritamu, bisa aku rasakan sewaktu dikau membayangkan suasana tsunami Aceh, tak nyana Sam merasakan sendiri kepanikan itu...Subhanallah...betapa Allah Maha Pemilik Segalanya.
Dari lubuk hati yg paling dalam, sedih dan haru mencekit leherku...Innalillah wainnailaihi rojiun
semoga jogja dan sekitarnya sabar dan tabah serta tawakal menghadapi ujian ini, aamiin
doaku untuk seluruh sodaraku termasuk kau Sam.
itu semua adalah kehendak dari tuhan yang maha esa,kita tak bisa melakukan apapun lagi bila tuhan telah berkehendak
Post a Comment
<< Home