Kutitipkan Doa Pada Ibuku

Wednesday, August 24, 2005

By Sam (17082005.20.30)
Refleksi Tujuh Belasan

Tuhan ...
Tadi pagi aku bergegas bangun. Memakai seragam merah putihku dan berlari tak sabar untuk mencapai sekolahku. Di tanganku kupegang bendera kecil dua warna melambai kibarnya mengikuti langkahku di pematang. Beberapa temanku berkejar berlari dengan bendera yang sama di tangannya. Kami saling berpacu tak ingin terlambat mengikuti upacara hari ini. Kemarin pak guru di kelas satuku bilang hari ini adalah hari kemerdekaan RI yang ke 60. Aku tak tahu apa artinya itu, tapi kata ibu merdeka sama dengan kebebasan. Aku rasa itu benar karena hari ini kami dibebaskan dari pelajaran. Kami hanya diwajibkan mengikuti upacara seperti hal yang kami lakukan di hari senin. Sekali lagi aku mengamini kebenaran penjelasan ibu mengenai kemerdekaan. Hari inipun aku bebas dari rasa takut untuk menghormati lambang merah putih yang perlahan dinaikkan hingga ujung tiang. Aku bangga melihat kegagahannya, bangga akan kemegahannya. Terima kasih Tuhan, aku Kau hadirkan di pangkuan pertiwi ini dengan peluk merah putihnya.

Tuhan ...
Sebelum berangkat tadi kukatakan kepada ibu bahwa hari ini banyak perlombaan. Kujanjikan aku akan pulang dengan membawa sebanyak mungkin hadiah dan kenang-kenangan. Sehingga aku bisa bebas untuk tidak berdagang koran dan ibupun bebas dari mencuci pakaian di rumah orang. Tak perlu kuatir akan makan, karena masih ada nasi dan lauk sisa tirakatan di kampung semalam. Kuingin ibu melihatku dan memberi tepukan saatku berlomba. Setidaknya Ibu bisa terhibur dan sedikit tertawa bersama. Atau sejenak merebahkan beban yang selama ini terpikul dan tak pernah diletakkan. Aku pikir hari ini bukan hanya aku, ibukupun patut merasakan kebebasan, juga merasakan kebanggaan seperti yang aku rasakan tadi.
Tuhan ...
Diatas tiang pinang tadi kulihat wajah ibuku di bawah sana. Kebanggannya terbalut dengan kecemasan akan keselamatanku. Aku melambai dan teriak hadiah apa yang ibu inginkan. Percuma ... ibu tak dengar, suaraku tertelan riuh tepukan. Aku harus memilih diantara begitu banyak hadiah yang tergantung. Satu kuraih meski akhirnya kudengar banyak suara meneriakkan kesesalan. Aku tak peduli, aku punya kebebasan memilih. Dan merekapun kumaklumi untuk punya kebebasan mengeluarkan teriakan. Bukankan ini hari kebebasan ....

Tuhan ...
Hadiah yang kupilihkan tadi adalah mukena. Kulihat mukena ibu telah kusam dan berlubang. Ibu pasti malu untuk menghadapmu. Aku tak ingin ibuku malu dihadapmu. Ku ingin dia selalu cantik dan suci dalam berdoa. Untuk itu mukena ini kuambilkan untuknya. Kudengar doa seorang ibu akan engkau dengar dan kabulkan. Kan kutitipkan doa kecil padanya. Doa agar kemerdekaan yang kami rasa tidak hanya kebebasan sehari ini saja dalam setahun. Bukan kebebasan sesaat dimana matahari esok kan kembali membelenggu kami dalam kemiskinan dan ketidak dayaan orang kecil. Bukan pula kebebasaan semu yang akan hilang begitu pesta rakyat telah padam. Aku dan ibuku juga ingin menjadi bagian yang merasakan kemerdekaan seutuhnya di bumi ini, ingin punya kebanggaan juga rasa syukur telah berada di rengkuh pertiwi. Juga ingin mengisinya dengan ketidak sisa-siaan dan kerelaan.

Tuhan ...
Sekelumit pintaku, dengarkanlah doa yang kutitipkan pada ibuku.
Image hosted by Photobucket.com

posted by kinanthi sophia ambalika @ 8/24/2005 07:53:00 AM - 9 comments

Perjalanan Tengah Tahun MHI -Tennis

Thursday, August 18, 2005

By Sam (18082005.21.07)

Masih jelas dalam bayangku akhir tahun 2004 lalu saat kami berlima (aku, Yudha, Edwin, Derry dan Arik) yang tergabung dalam Milist Men’shealth Indonesia membahas rencana untuk membentuk group tenis. Sebenarnya lebih dari itu jumlah yang semestinya ikut join namun nyatanya hingga hari pertama group terbentuk, kami sewa lapangan sampai saat main, kami berlimalah yang masih bertahan. Tepat awal Januari kegiatan kami dimulai dengan menyandang nama MHI-Tennis di Komplek Lapangan Tenis Pasar Festival kuningan pukul empat setiap minggunya. Tak ada keinginan lain waktu itu kecuali mempertahankan keberadaan group dan mengisi kegiatan dengan kebersamaan lain seperti driving golf atau sekedar makan diluar. Namun ternyata ada hal kecil lain yang menjadi ciri khas group ini yang perlahan mulai tumbuh dan menjadi ciri khas, apalagi kalau bukan gemar diphoto! Kapanpun, dimanapun!.

Hampir dua bulan kami masih berlima. Namun perlahan dan pasti gaung keberadaan group kami mulai terdengar di milist dan forum temu anggota milist karena kekompakan dan tawa canda kami berlima. Akibatnya semua anggota milist bagai kena wabah untuk berlomba membentuk berbagai group olah raga. Bahkan kamipun diminta untuk memfasilitasi pembentukan ini. Hanya jalan tak semudah diduga. Tak satupun group olahraga terbentuk. Sebaliknya group kami dalam tiga bulan telah bertambah menjadi lebih dari 2 kali lipat bukan saja dari anggota milist namun juga rekan diluar milist. 12 orang tepatnya! Milist yang semula kami gunakan sebagai kemudahan komunikasipun akhirnya mulai terisi dan hidup sebagai satu komunitas. Bahkan kini tercatat komunitas kami terbagi menjadi 2, sebagian anggota tennis aktif yang terdaftar mengikuti kegiatan di lapangan dan sebagian anggota yang aktif berkontribusi di milist. Hingga perjalanan tengah tahun ini anggota aktif tennis mencapai 21 orang dan anggota milist hingga 40-an orang. Yang mencengangkan arus email dalam milist terus bertambah terahkhir tercatat hingga 700 hingga 800 buah email perbulannya!

Image hosted by Photobucket.com



Perkembangan ini membawa konsekwensi yang otomatis harus dipenuhi seperti jumlah lapangan dan pelatih. Kini kami telah menyewa seluruh lapangan dengan 1 orang pelatih yang memungkinkan anggota yang belum bisapun bisa ikut berlatih. Dan ternyata bukan hanya masalah teknik itu aja yang mulai berkembang kehidupan sosialpun tak kalah menarik mulai muncul dan bersinergi secara erat. Kami tak lagi hanya bertemu di milist atau di lapangan setiap minggunya namun tak jarang kami ada dalam kebersamaan saat makan siang, nonton bareng, kumpul dirumah salah satu dari kami, bahkan dalam acara gathering di luar kota atau saat-saat berolahraga lain seperti driving golf, bowling, fitness ataupun renang. Meski pada akhirnya ada irisan-irisan kelompok namun satu hal yang tetap ada, apalagi kalau bukan soal berphoto!
Image hosted by Photobucket.com


Sejauh ini aku sadar berkembangnya komunitas ini tak lain karena wujud kontribusi dan kebersamaan antar anggota yang ada. Keberadaan kegiatan yang menarik, rutin dan dinamis merupakan pendorong lain selain keberadaan milist yang jelas tak bisa terpisahkan. Sejauh ini aku melihat komunitas ini sebagai dunia kecil. Dunia penuh dinamika yang merupakan salah satu bagian terindah dari hidupku. Disinilah pembelajar akan hidup patut di pelajari dan dimengerti untuk memperkaya batin kita. Tak ada kata selain terima kasih karena dia hadir dan menjadi bagian yang indah dalam hidupku, menjadi penumbuh semangat untuk selalu memberikan yang terbaik. Perjalanan ini masih terlalu dini untuk bisa dipetik hasilnya, terlalu dini untuk dibanggai. Masih banyak perjalanan yang mesti ditempuh untuk memaknainya.

Friends ... please keep our team a live!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 8/18/2005 11:07:00 PM - 2 comments

Tukang Photo atau Tukang Diphoto?

Sunday, August 14, 2005


By Sam (13082005.22.15)

“Sam ... sini!”
“Aku juga nih!
“Kita , dong!”

Walah!

Tak habis pikir kapan gaya gaya narcist sobat-sobat tenisku ini berakhir. Seperti wabah semua tanpa kecuali begitu antusiasnya berpose di depan lensaku. Tak cukup sekali. Tak cukup sendiri …tak terhitung berapa kali flash terpendar mengisi detik-detik acara B’day dua diantara sobat kami di Marinara malan ini. Juga tak terasa akhirnya waktu berlalu dan penuh terisi sudah memory cardku

Tak habis pikir ternyata beberapa acara kumpul dengan gankku akhir-akhir ini lebih banyak menempatkan aku di balik kamera daripada di depannya. Tak banyak ada aku dalam photo di kameraku. Terlebih dengan kualitas yang diinginkan. Bisa dimaklumi selain aku lebih banyak yang mengambil gambar ternyata tak banyak teman-teman yang bisa tepat menggunakan kamera canon A80ku yang bisa dibilang sedikit rumit pegangannya. Alhasil profesi sebagai tukang photo keliling sedikit banyak mulai menempel di punggungku. Panggilan untukkupun bukan lagi ajakan berphoto tapi mem-photo!

Tak habis pikir pula begitu banyak keasyikan yang aku dapatkan sesaat me-retouch photo-photo yang aku dapatkan di photoshop, meng-compilenya dan mengirimkannya ke empunya. Merasakan rasa baru bila mendapatkan sesuatu yang berbeda di setiap lembar jepretan yang ada. Memperoleh satu semangat meski sekali lagi bukan photoku yang dipermak. Sejauh ini semua serba otodidak dan sekedar hoby. Tak sangka saja bila hasilnya bisa dibilang cukup memuaskan dan herannya saat aku buka friendster beberapa teman dekat telah memasang jepretanku di sana. Emm!

Image hosted by Photobucket.com



Saatnya aku berfikir ...
Akan kemungkinan untuk membuat kesenangan ini menjadi satu peluang usaha, satu langkah baru untuk mulai menekuni dan mempelajarinya dengan serius, atau paling tidak mengganti kameraku yang bertipe pockect semi SLR menjadi tipe SLR sehingga hasil yang didapat akan lebih maksimal. Dengan canon 350 misalnya. Bisa saja mungkin.

Namun ...
Aku kembali tak habis pikir. Ini berarti aku akan mendapatkan kamera yang lebih sulit pengoperasiannya. Jelas makin sering aku yang akan mengambil objek dan photo orang lain. Bukan sebaliknya …. Duh!

Itu tak mudah, karena akan jadi sebuah keputusan yang sulit. Aku tak tahu apakah aku sudah cukup “rela” untuk melepas predikat, Narcist!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 8/14/2005 09:37:00 AM - 4 comments

Sepenggal Ucapmu

Thursday, August 04, 2005

By Sam (04082005.16.26)
Fiksi Senja

Berlari, berkejar siluet bayang di pandang jendela. Mataku hanya menatap di ujung kemudi tanpa peduli. “Kurang apa … kita?. Sepenggal tanya yang kau ucap dini tadi membeban memenuhi pikirku.

Irisan hatiku ….
Ku dalam renung mencerna katamu. Akankah ini satu tanya atau sekedar wujud asa yang kian sirna. Bila ucapmu adalah satu tanya. Jawab pasti telah dalam tangkupmu. Dalam pahammu. Bila ucapmu adalah satu hilang asa. Ku tahu tuturkupun tak kan mampu untuk menemukannya.

Irisan hatiku …
Tiada rasa bagi kita yang tak tergenapi, Tiada pikir kita yang tak terlengkapi. Namun nyata semuanya taklah mencukupi. Asa kita jauh dari kata … terpenuhi.

“Kurang apa … kita?
Kembali ucap itu mengejarku. Berkelebat dan menyesak.

Irisan hatiku ….
Ucap itu tak perlu jawab. Ucap itu hanya butuh kelapangan hati. Untuk menelan segala gundah juga resahnya realita. Ucap itu hanya butuh hangatnya hati. Untuk menyadarkan bahwa tak ada salah dengan rasa kita. Untuk mengingat bahwa dalam langkahku selalu ada dirimu

…………..

Ku dalam hening! Ku dalam kejar.


Di sendiriku, Hati ini tlah melukis cinta, Yang kuingini, Yang saat ini ku tak tahu di mana, Di manakah kau cantik.
Sesungguhnya aku kangen kamu, Dimana dirimu aku ngga ngerti,
Dengarkanlah kau tetap terindah, Meski tak mungkin bersatu, Kau slalu ada di langkahku
Mengapa harus, Keyakinan memisah cinta kita, Meski cintamu aku (kahitna)

posted by kinanthi sophia ambalika @ 8/04/2005 05:18:00 PM - 5 comments

Menyusur Surga-Surga Kecil Bandung

Tuesday, August 02, 2005

By Sam (26072005.16.43)

Cukup berat bagi aku untuk mengangguk setuju akan rencana bersama bro-ku dan iparku ke Bandung. Minggu belakangan ini aktifitasku begitu padat. Belum lepas lelahku akan perjalanan 3 minggu di Malang dan Jogja juga mengajar weekend sebelumnya di Puncak, weekend ini harus ke Bandung. Padahal tak selang 3 hari kemudian aku akan ke Makasar dan menghabiskan weekend di bersama temen2 tenis di marina Anyer. Duh tak bisa kubayangkan bagaimana lelahnya. Karena rencana ini telah terhembus jauh bulan sebelumnya dan kesulitan dalam mengaturnya kembali akhirnya kepasrahan adalah jalan terbaik. Dan mencoba menikmati adalah upaya terbaikku.

Pukul tujuh (23072005) lalu kami telah memasuki tol dalam kota dan menyambung tol Cikampek. Hingga kilometer ke 70-an, kami masuk tol ruas tol Sadang. Aku segera dibangunkan dari tidurku. Aku sama sekali tak ingin melewatkan kesempatan untuk merasai tol Cipularang. Tol yang cukup spektakuler dalam sejarah pembangunan jalan tol kita. Tol yang disiapkan untuk ajang akbar, konferensi Asia-Afrika. Hingga kilometer ke 100-an tak ada hal spektakuler nampak. Selayaknya jalan tol, tol Cipularang tergolong tidak istimewa sejauh kilometer ini karena kondisinya sama halnya tol lain. malah kalo dibilang kondisinya lebih tidak mengenakkan. Selain sempit ruas jalan ini dari beton sehingga terasa begitu bergelombang dan keras. Baru setelah Kilometer 100 keindahan nampak. Jalan berkelok naik turun dengan background jajaran gunung begitu menakjubkan. Disinilah keunggulan tol cipularang lebih mencuap diantara tol lain. 29 ribu adalah harga yang harus kami bayar. Tak rugi, ini menghemat hampir setengah waktu perjalanan bila tanpa lewat tol.

Bagiku Bandung ibarat tempat dengan berpuluh surga kecil. Sayang peluh dan kekesalan tak ada habis untuk mencapainya. Bagaimana tidak, perkembangan kota dengan berpuluh tempat menarik yang tidak saja dilihat dari segi arsitekturnya tetapi juga ide2 kreatifnya tak diimbangi dengan penataan tata kota dan sarana transportasi yang terintegrasi. wajar bila Bandung semakin sesak dan macet!

Image hosted by Photobucket.com Image hosted by Photobucket.com



Kunjungan sehari ini kami padat kami manfaatkan. Sepagi ini sudah berada di pasar baru. Berpuluh jajanan kecil menyesaki bagasi. Belum usai kami berlanjut makan siang di The View. Cafe di punggung bukit ini tepat menatap kota Bandung dengan indahnya. Konsep menariknya cukup memberi warna beda. Tak percuma menunyapun cukup lezat dilidah. Saat matahari mulai bergulir kami menuju FO yang berderet di Dago atas. Mulai dari Blossom, Grande, Victoria, Glamour juga Happening tak luput dari injakan kaki kami. Hasilnya isi bagasi mulai bertambah dan kaki-kakipun mulai payah melangkah. Sebelum senja kami punya target sampai The Valley. Kami tak ingin masuk waiting list karena berjubelnya pengunjung. Kami tepat sampai disana. Sambil menunggu senja membenam beberapa menu kami order. Seperti di The View kamipun cukup terpuaskan dengan menu di sini.

Senja mulai digantikan malam. Lampu sentir dan beberapa lampu pijar mulai menyala. Tendapun mulai dilipat untuk memberi keleluasaan memandang Bandung dari café di punggung bukit ini. Keindahan menyala dari kerlipnya. Keindahan tersendiri! tak berapa lama kami turun dan merayap ke Jakarta. Tol Cipularang tak lagi terlihat karena mataku telah terlelap.

posted by kinanthi sophia ambalika @ 8/02/2005 03:42:00 PM - 1 comments

Batman Begin ... Begin to be Realistic!

Monday, August 01, 2005

By Sam (010605-22.47)

Tak aku pungkiri selain Peter Parker si Spiderman, Bruce Wayne sosok dibalik jubah Batman adalah salah satu tokoh heroic yang sedikit banyak jadi inspirasiku.. Sepertinya terpuaskan sekali tahun-tahun belakangan tokoh-tokoh Marvel ini muncul secara beruntun di layar perak. Mengusung sedemikian hebatnya special effect sekaligus menghidupkan fantasi 2 dimensi yang ada di dalam komik menjadi sesuatu yang real ... sesuatu nampak "ada dan bisa dimaklumi".

Setelah Spiderman muncul dengan sekuel keduanya yang lebih humanis dan realistis dari sosok superhero tak ketinggalan Batman di versi terakhirnya juga menampilkan hal serupa. Tak tangung-tanggung karena ini seakan membuat revolusi baru. Batman "masalalu" tak lepas dari tipical komiknya sementara Batman Begin benar-benar dalam cita rasa baru. Rasa pemakluman yang cukup besar ditampilkan untuk memberi alasan bagi munculnya kehebatan mereka dan mengganggukkan kita akan ketidak nalaran selama ini, menjadi hal yang logis.

Setidaknya ada garis merah yang mereka tekankan bahwa kelebihan yang kita miliki segaris lurus dengan tanggung jawab yang harus kita tunaikan. Kita semua adalah superhero bagi diri kita, bagi kehidupan kita.

Kalaupun satu saat kita gagal itu karena satu alasan ... supaya kita bisa kembali bangkit! Kembali memenangkan pertarungan kita melawan kegagalan itu sendiri.

posted by kinanthi sophia ambalika @ 8/01/2005 11:19:00 AM - 1 comments