Seselip Surga di Gugusan Pulau Matra

Friday, April 20, 2007

By Sam (19042007-18.38)
Langkahku


Sore itu 17.30 WITA, pesawat Merpati yang kami tumpangi sedikit banyak menghapus kegamangku untuk naik pesawat mengingat bencana transportasi udara akhir-akhir ini. Tidak saja karena kondisinya yang baru dan terawat tapi juga kenyamanan di dalamnya. Terlebih saat aku menengok keluar jendela tampak pulau lombok yang memukau dikitari gugusan pulau kecil dan hamparan lautnya yang bergradasi warna. Kali ini tepat setahun aku kembali lagi menengok Gili Trawangan, satu dari 3 pulau dari gugusan pulau Matra (Meno, Air Dan Trawangan) bersama My Hunny. Kebetulan sekali My Hunny sepakat menjadikan pulau indah terpencil di barat daya Lombok ini sebagai tempat favorite kami yang memang sama-sama menyukai pantai dan matahari. Jadilah perjalanan Bali-Lombok selama 4 hari, pekan lalu itu tetap menempatkan Gili Trawangan sebagai tujuan utama kami. Belajar banyak dari kunjungan pertama dengan back packer setahun lewat yang penuh warna (Baca Disini), kali ini kami lebih siap dengan detail perjalanan terencana.


Memang sengaja perjalanan udara yang kami pilih kali ini karena keterbatasan waktu yang kami punyai bila menggunakan ferry dari Padang Bay ke Lembar yang bisa mencapai 7 jam perjalanan. Tak sampai 30 menit perjalanan udara kami berakhir dengan sambutan gurat senja dibayang perbukitan pelabuhan udara Selaparang-Mataram. Meski kecil Selaparang lumayan riuh dengan berkumpulnya beberapa penduduk dari pelosok yang berniat menjemput sanak saudara mereka yang umumnya sebagai Tenaga Kerja di batam atau luar negri. Usai mengurus bagasi yang tak seberapa kami menggunakan taksi bandara menuju hotel kami di Senggigi. Niat buat iseng-iseng menanyakan paket perjalanan ke Gili Trawangan di Tour & Travel Office di hotel malah membuahkan ketidaknyamanan. Tidak hanya harga perjalanan yang ditawarkan lumayan fantastis harganya namun juga kekukuhan mereka mempropose, sampai-sampai mengganggu makan malam kami. Beruntung beberapa rekan dari Jakarta memberi panduan dan membantu untuk mengatur perjalanan kami sehingga untuk perjalanan esok hari ke Gili Trawangan dan keliling lombok selisih harinya. Akhirnya kami bisa mendapatkan pelayanan dari rental mobil yang setahun lalu kami gunakan. Setidaknya Pak Aris pemilik rental itu cukup mengenal masyarakat dan medan sehingga amat memudahkan perjalanan.


Usai mengexplore Pantai Senggigi yang berada tepat di belakang hotel dengan berpuluh jepretan dengan obyek horison pantai, nelayan dan perahu serta mangrove. Kami menyisir pantai barat Senggigi menuju pelabuhan Bangsal, titik penyebarangan ke Gili Trawangan. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam disuguhi jalan panjang berkelok dengan suguhan tebing dan kelok teluk-teluk sepanjang pantai Senggigi yang luar biasa indahnya dipadu dengan paduan awan yang dramatis. Sesekali kami berhenti di tikungan mengambil obyek yang layak kami sebut berkah alam. Tampak beberapa kali aktifitas penduduk tradisional yang masih menggantungkan diri pada kekayaan laut dan berhektar pohon kelapa yang tumbuh menutup pesisir pantai.

Sekitar pukul 12.00 WITA kali tiba di Bangsal. Kami sengaja menghindari perjalanan sore karena tidak mudah untuk mencapai Gili Trawangan dari Bangsal. Selain angkutannya terbatas, ombak sore hari akan menyulitkan perjalanan yang hanya menggunakan perahu kecil berkapasitas 20 orang. Kalaupun ingin perjalanan carter tarifnya bisa mencapai Rp 300.000,- an/perahu sementara tariff public hanya Rp 8.000,- /orang!. Kami harus sabar menunggu hingga 1,5 jam untuk terkumpulnya kuota 1 perahu = 20 orang. Beruntung pak Aris cukup kenal dengan penduduk sekitar sehingga kembali memudahkan kami untuk ikut serta berbaur dan mengambil photo-photo serta mencari informasi lebih banyak mengenai Gili Matra ini.

Panggilan melalui pengeras suara nyaring memberangkatkan 20 orang termasuk 2 orang yang bertugas mengangkat jangkat di haluan dan mengendalikan mesin di buritan. Terlihat lemari olimpic ukuran besar telah berada di atas kapal yang sesak berikut beberapa bahan makanan. Kami mengambil tempat di depan agar bebas menikmati suasana laut. Tapi ternyata ini adalah pilihan yang salah karena belum lama kapal bergerak arus laut yang diiris kapal meninggalkan deburan ombak yang membasahi bagian depan kapal. Hasilnya belum sampai darat aku telah basah kuyup dimandikan air laut. Untuk pindah jangan harap karena pertimbangan pemerataan beban lebih menjadi pertimbangan untuk keselamatan semua orang. Pasrah itu yang bisa dilakukan sambil sesekali merasakan asinnya air laut yang menerpa muka. Nasib! Syukurnya satu ransel pakaian telah kami lapisi dengan kantong plastik dan peralatan kameraku berikut aksesorisnya tersimpan rapi di satu ransel lain yang khusus untuk kamera. Leganya.


Perjalanan setengah jam tak terasa karena mata dan indra makin di manja dengan takjubnya pesona 3 gili yang berjajar. Trawangan adalah gili yang paling ramai sebagai tujuan wisata. Sementara Gili Air dan Meno menunggu pengembangan. Meski baru tahun lalu aku berkunjung namun satu-satu ketakjubanku tak pernah usai. Bahkan saat kapal merapat aku semakin sumringah karena kekawatiranku akan makin rusaknya habitat Trawangan tak terbukti. Terlihat Trawangan menggeliat untuk berbenah. Suasana makin bersih dan asri, penggunaan kendaraan bermotorpun dilarang pengoperasiannya di sini untuk menjaga originalitas pulau. Benar kata Pak Malik salah satu pemilik hotel Blue Marlin Dive yang sekapal dengan kami, Trawangan tengah berpacu pada satu kesadaran. Kesadaran bahwa potensi alam adalah andalan mereka, untuk itu mau tak mau aset ini harus dijaga dan dibenahi oleh penduduk setempat. Terlebih dengan munculnya gili-gili lain yang mulai dikembangkan, Trawangan sama sekali tak ingin jadi gili yang tinggal kenangan.


Kami menjatuhkan pilihan tinggal di Bungalow Good Heart yang berarsitektur rumah tradisional lombok dengan bagian kamar mandi yang terbuka dan eksotik serta letaknya yang tepat berada di pantai area diving yang dangkal. Hingga sore hari kami baru sadar bahwa kami adalah satu-satunya turis lokal yang menginap di pulau ini. Biasanya bulan-bulan seperti ini bulan off season sehingga kami bisa dapatkan harga yang jauh dari mahal selain suasananya tenang dan tidak sesak. Statistik mencatat tidak banyak turis lokal yang singgah ataupun bermalam disini mengingat jangkauan gili-gili ini terbilang jauh dan cukup merepotkan. Bahkan tak banyak info dari travel agent yang bisa didapat. Kebanyakan pulau ini lebih dinikmati dan didatangi oleh para bule dan tersebar infonya melalui club-club diving dunia. Wajar bila dalam pekannya banyak rombongan diving dari berbagai club singgah di pulau ini dan terdapat jadwal gathering party pada malam-malam tertentunya.


Setelah sesiang banyak kami habiskan bersama pasir putih dan air, kami merencanakan dinner di daerah sentral. Sebutan bagi daerah yang paling ramai dan hidup di pulau ini yang berjarak 1.5 kiloan dari Bungalow kami. Cidomo satu-satunya alat angkut umum yang beroperasi di pulau ini tak terlihat mondar-mandir hingga kami putuskan untuk jalan kaki menusur jalan dibibir pantai ditengah suara debur ombak malam dan percikan bintang yang terlihat bertabur acak dilangit cerah. Kebab dan indonesian food jadi santapan malam kami berteman pelataran ruang luar menghadap pantai berikut suasana yang sangat bule berikut bule-bulenya yang menutup populasi pulau ini. Rasa dan penyajian makan malam kali ini sangat tidak mengecewakan. Hal yang pantas diangguki kenapa daerah central ini menjadi primadona bahkan villa terbesar disinipun ada di daerah ini meski bibir pantainya tak seindah daerah yang lebih dalam. Mungkin karena ada magnet lain yang bernama denyut kehidupan. Seperti entertainment, warnet hingga bar-bar serta diving shop.


Saat fajar mulai semburat membuka pagi kami telah menunggu di pantai dengan ketakjuban dan jepretan kamera yang tak putus. Luar biasa. Masih saja ada hal yang berbeda tiap paginya disini. Kilau matahari bahkan puluhan ikan terbang bisa kami dapati disini. Tak puas kami akhirnya mengeksplore pulau ini dengan bersepeda mengelilingi setengah pulau. Betapa terlihat kontrasnya tata tradisional masyarakat muslim disini dengan pola hidup para wisatawan yang rata-rata bule, namun uniknya tak terlihat friksi ataupun pertentangan kecuali damai dan keselarasan. Kehidupan yang sangat indah untuk masuk ke frame-frame photoku. Entah tiba-tiba aku merasa gili ini seakan menyatu dan menjadi rumah kedua bagiku. Tempat yang tidak saja memperlihatkan ketakjubanku tapi juga menyimpan potongan-potongan indah sebagian hidupku dengan sahabat-sahabatku juga My Hunny. Inginnya lebih lama lagi menghirup tiap jengkal keindahan disini meski kulitku sudah mulai menghitam dan terbakar. Namun esok pesawat berangkat ke jakarta pukul 06.00 WITA tak mungkin dijangkau dari pulau terpencil ini. Hingga kami harus kembali ke lombok sebelum tengah hari supaya kamipun bisa mengunjungi tempat indah lainnya di lombok. Terlebih saat inipun Pak Aris telah menunggu di Bangsal untuk menjemput kami.


Perahu yang lama kami tunggu akhirnya menjauhkan kami dari gugusan pulau Matra. Menjauhkan kami dari dangkal dan birunya sepenggal surga dimana hati kami ditanam. Kubuka SMS yang dikirim Oce satu dari 5 rekan yang tahun lalu berkunjung kemari.

”Sam akhirnya kamu duluan yang kembali ke Trawangan. Masih ingat khan dulu kita sepakat kalau Honey Moon akan kemari. Moga ada kesempatan bareng temen-temen kembali lagi ya ...”

Kembali & kembali. Memang itu yang ingin kami lakukan, Tahun depan!
Semoga ....

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 4/20/2007 05:10:00 PM - 7 comments

Thanks To U

Monday, April 16, 2007

By Sam (16042007.1432)
Langkahku





------------------------------------------------
Rekan, Sahabat & Partners:
Segenggam terima kasih kami tangkupkan atas doa dan hadir anda
di Hari Putih & Orange Kami yang membahagiakan
Semoga langkah baru kami selalu terberkati sampai nanti
Sam + Yeni
------------------------------------------------


Rekan Blogger

Rekan MHI Tennis

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 4/16/2007 02:27:00 PM - 11 comments