Berbalut Mimpi

Tuesday, December 25, 2007

By Be Samyono (25122007.20.47)
Ceritaku


Sejam yang lalu aku berada di dalam jaguarku, disisi luar kulihat kisahku yang dulu. Terpanggang panas terik dalam balut debu dan asap untuk sekedar memuaskan lapar dan dahaga jasmaniku. Keringatku tak lagi kurasa menetes di kening dan sela bajuku karena aku berada dalam kotak kenikmatan berjalan yang dilajukan orang suruhan. Demikian dengan bauku tak lagi membuat orang bergidik, menahan nafas dan berlalu karena sapuan berbagai aroma buatan yang tak dibuat di negri sendiri. Aku adalah diriku yang duduk di dalam bukan yang berada di luar jendela itu.

Lima menit lalu aku membagikan lembaran uang merah dengan mudahnya. Tangan-tangan terulur di depanku dengan bangga aku tangkupkan dengan sedekah. Tangan-tangan tengadah itu bukan tanganku karena tanganku telah berada diatas. Dengan dihiasi batu mengkilat yang diikat emas berkarat tanganku telah mampu menaburkan keleluasaan rejekiku. Telingakupun akan merona sayu menerima segala bentuk ucap syukuran terima kasih. Meski telah terbiasa berulang kudengarkan.

Semenit yang lalu beberapa wanita memanjaku. Membisikkan cinta dari tutur bibir bergincunya. Dan menyentuh raba lewat jemari lentiknya. Batinku terpuaskan birahiku tersalurkan. Aku bukanlah arjuna pencari cinta namun sebaliknya akulah dewa yang membarakan asmara. Anggukan dan kerlinganku cukup membahasakan apa kata hatiku yang dengan mudah terturuti dan terikuti. Cinta hanyalah kata karena uang yang kini berkuasa.

Detik ini aku terjaga.

Aku masihlah orang yang berdiam dibawah kata papa. Orang yang punya selangit mimpi dalam pijakan piring kosong.

“Pak, Lapar!” Lirih suara anakku.

Pelan kuseret mimpiku mengetuk kenyataan. Untuk menyadarkanku. Agar kugelindingkan nasibku ini dalam alas usaha, bukan sekedar menyelimutinya dengan MIMPI!

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 12/25/2007 11:16:00 PM - 11 comments

Menari Bersama Hujan

Tuesday, December 11, 2007

By Sam (11122007.12.08)
Ceritaku


Kepastian belakangan meliuk menjadi satu hal yang langka. Demikian pula dengan hujan. Hujan tak mau lagi diikat dalam satuan penanggalan musim, enggan juga dihitung pasti untuk memprediksi satu masa. Hujan ingin bebas. Bebas untuk datang, bebas pula untuk tak mengunjungi. Hujan membiarkan anak negeri memaki karena air kadang datang tak terduga, dan tak luput mengejek mereka yang berharap karena berbulan tanahnya tak lagi basah. Hujan semaunya mempermainkan harapan dan kecemasan. Memberikan ketidakpastian, memainkan sebuah nasib.

Nasibku bagai semut. Berdiri merapat berjejal dengan teman-teman sebaya diantara sela gedung bertulang membawa payung usang di tengah kemauan hujan yang membasah. Hanya keinginanku untuk bertahan yang memberikan kehangatan di tubuhku yang mulai mengigil.

“Payung pak !” Tawarku berulang kepada mereka-mereka yang menunggu dari kebasahan.
“Bu ... Payung !” Harapku berulang-ulang sambil meminta agar hujan terus jadi temanku sore ini.

Aku melihat banyak wajah yang berharap yang sebaliknya. Namun sepertinya hujan akan lama berpihak padaku.

“Dek, sini !” Seorang bapak melambaikan tangannya.

Aku sodorkan payung yang telah aku buka. Bapak itu melompat ke hujan dalam lindungan payung. Langkahnya janggal menapak, sesekali dihindarinya genangan air. Tapi tak urung celana dan sepatu mahalnya mulai ikut disapa air.


“Brengsek !” Keluhnya. Dia makin mempercepat langkahnya menuju gedung sebelah. Dan aku bagai anjing yang memainkan ekorku, mengikuti sambil menari-nari dibelakang.

Sampai di teras bapak itu mengulurkan payung itu padaku. Sigap kuterima berikut koin uang limaratus perak yang dilemparkan padaku.

“Boleh ditambah lagi Pak ?” Tanyaku berharap.
Tanpa ekspresi Bapak itu berpaling dan berkata, “Payung itu sudah usang dan malah membuat aku basah, beruntung kamu masih aku kasih uang,”
“Tapi Pak ... !” Keinginanku untuk berdebat tiba-tiba aku urungkan.
“Heran kecil-kecil sudah belajar untuk memalak orang, mau jadi apa besar kamu nanti !” Ujarnya meninggalkan aku.

Aku melompat ke dalam hujan yang mengairi tubuhku. Membiarkan airnya menyamarkan airmataku. Membiarkan tetesnya menyiram panas hatiku. Bapak itu lupa yang aku lakukan bukanlah untuk menjadikanku bisa kaya dengan recehan itu, tapi hanya sekedar usaha untuk membuatku bisa melihat matahari esok.

Kembali aku menari dalam hujan untuk menjabat tetes-tetes air yang masih berpihak padaku. Meski aku tak bisa memastikan kapan datang dan perginya namun basahnya kali ini memberi banyak harapan bagi aku untuk bisa mengganjal laparku. Memperjuangkan nasibku.

Hujan jangan berhenti!

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 12/11/2007 10:39:00 PM - 8 comments

Sejumput Kapas Randu

Sunday, December 02, 2007

By Sam (02122007.12.39)

Badanku berayun mengikuti gerak gerobak yang ditarik sapi menapak jalan berbatu. Tak hanya membuat penat. Tulangkupun turut ngilu saat batu dan roda kayu saling beradu. Jarak masih dua kilo lagi namun serasa sehari perjalanan ini telah aku lalui. Aku tak sendiri. Ada dua wanita tua dengan muatan dari pasar menemani. Bedanya perjalanan ini adalah langkah hari-harinya. Namun bagiku, ini perjalanan pertama sejak sebelas tahun lalu aku meninggalkan desa ini.

Jalan masihlah sama. Aspal hanyalah muncul saat mulut manis para pamong menebar janji untuk dipilih. Selebihnya jalan tetap bergumul dengan debu dan ketidak rataan. Matahari mulai diubun-ubun, namun gerobakku teduh dipayungi jajaran pokok pohon randu yang meranggas. Daun randu mulai meninggalkan dahan yang telah dipenuhi berpuluh buah merekah dan menebarkan putih kapasnya. Dalam tiupnyapun angin mulai mengajak kapas randu menari di peluknya.

*******

“Bu ... apakah salju putih seperti kapas randu itu?,” Tanyaku ingin tahu.
“Ya, persis sekali. Putih & lembut, turun beriringan namun tidaklah sepanas ini. Salju itu dingin.” Terang ibuku sambil meraih sejumput kapas yang terbang kewajahnya. Kulihat kapas-kapas randu melayang dengan indahnya menabur tanah desaku dengan kelembutannya.

Aku tak tahu apakah ibuku pernah menggenggam salju di tangannya terlebih merasakan lembut dan dinginnya. Sejak pertanyaanku itu aku selalu bertanya seperti apakah salju itu. Meski ibu selalu menunjukkan pada kapas randu yang berurai berjatuhan, namun aku tak pernah puas. Ibupun kadang harus menunggu musim hingga kembali bisa menunjukkan salju lembut desa kami. Tapi kembali aku tak puas. Aku ingin menyentuh salju yang bukan dari desaku, salju yang lembut namun dingin.

Rengekanku membuat ibu harus menggadai hartanya dan melepas warisan yang ayah tinggalkan. Rengekankupun membuat aku harus terpisah dengan ibu dan desaku beberapa tahun hingga tiga tahun lalu aku bisa menyentuh salju sesungguhnya. Dalam girang kukabarkan pada ibu, dan ibupun membalas dalam suratnya dengan sejumput kapas randu. Aku menangis!

*******

Sejumput kapas randu itu ada disakuku. Dengan lembutnya kapas ini kutahu ibu memanggilku kembali. Bukan untuk ditimang dipangkunya. Namun untuk membangunkan anak-anak desaku agar punya mimpi dan harapan tinggi. Agar mereka punya mimpi untuk mengenggam salju lembut dan dingin. Salju yang bisa memudarkan lingkar kemiskinan dan kebodohan.

Ibu aku pulang ... !!!

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 12/02/2007 10:24:00 PM - 8 comments