Aku, 1 Diantara 9 Lelaki

Wednesday, June 28, 2006

By Sam (28062006.09.46)
Renungku


Perhelatan Piala dunia, pesta akbar persepakbolaan sejagat 2006 yang di gelar di Jerman tidak saja jadi hajatan negara peserta tapi sudah jadi hajatan warga dunia tanpa kecuali. Hajatan bagi penggila bola, hajatan bagi media, bagi para produsen yang mendompleng moment empat tahunan ini juga hajatan bagi kreator dadakan mulai dari sekedar bisnis kaos, pin, poster hingga bursa-bursa taruhan macam togel. Tanpa ampun mata, telinga dan mulut warga planet ini tak ada yang melewatkan pandangan, pendengaran dan komentar seputar bola, pemain dan segala tetek bengek prediksi, strategi dan celoteh kefanatikan tiap team yang berlaga. Tak ayal ritme produktifitas pun bergulir terbalik. Melotot malam hingga pagi buta dan terkantuk-kantuk saat kerjaan mesti kelar keesokan harinya. Ini demi pesta 30 hari, demi pesta yang hanya ada 4 tahun sekali. Demi Bola!.

Segegap gempitanya piala dunia ternyata hanya menempatkan aku di garis pinggir. Duduk tak peduli sambil menyediakan telingaku karena dialah satu2nya yang mau tak mau, tak bisa aku hindarkan dan tutup dari semua berita dan pembicaraan mengenai bola. Aku bukanlah penggemar bola kulit yang ditendang kesana kemari oleh hampir dua lusin laki-laki ditengah sorak sorai dan genderang pemonton. Bola kesukaanku adalah bola hijau kekuningan dengan lapisan berbulu lembut di permukaannya. Bola pantul yang melesat lewat sabetan raket melewati lapangan keras ini lebih menarik perhatian dan semangatku. Meski saat ini gaung Grand Slam Wimbledon akhir Juni ini kalah kencang dengan gemuruh berita tendangan. Setidaknya aku bisa sedikit berpuas diri meski berita tentang turnamen ini hanya menyisip diantara sekian lembar berita mengenai bola.

Seorang rekan bilang. Populasi orang yang tak menggemari bola itu sangat sedikit. Hanya 1:9. Satu hal yang memalukan dan terkutuk bila aku menjadi satu diantara sembilan orang itu. Sungguh merana Untuk itu aku harus menggemari bola apapun caranya. Hingga pernah aku diajaknya menonton bola di TV dengan segala pernik sesaji dari minuman hingga makanan pujaan lidahku. Boro-boro aku bisa duduk tenang selama 45 menit pertama pertandingan, sepuluh menit pertamapun aku lewatkan dengan siksaan. Bosan sendiri karena tak ada iklan yang lewat, bosan sendiri karena sama sekali tak kenal dengan pemain-pemainnya dan bosan sendiri karena mata dan pikiranku terpisah dengan kesibukan lain yang lebih menyita perhatianku. Lalu soal makanan dan minuman ... Tandas tentunya.

Rekanku hanya menggeleng kepala dengan tanda tanya besar menggantung di ubun-ubunnya: WHY? Mengapa bisa begini. Rasanya jawaban tak suka tidaklah cukup menguatkan dan melegakannya hanya karena aku termasuk 1 dari 9 orang itu. Yah. Ilmiahnya bila memang selama ini aku tidak kenal, tidak tahu aturan dan tidak bisa menikmati permainan bola bagaimana aku bisa suka. Apalagi bisa memprediksi segala strategi. Dan ujung-ujungnya aku yang akhirnya bertanya. Memang menyengsarakan sekali ya menjadi orang yang tak gila bola itu? Nah! Dan kalo di hitung penduduk dunia ada 5 Milyar. 40% laki-laki berarti ada 200 juta laki-laki di dunia dalam hitungan kasar yang tak suka bola khan. Tentunya dengan melihat angka ini ... aku tidak sendiri dan tak patut untuk dikasihani! Lagi pula masih ada bola-bola bundar lainnya yang bisa dinikmati. Kalaupun terpaksa harus memberi jawaban kenapa aku tak suka nonton bola di piala dunia ini, akhirnya sekenanya kujawab.

“Lagi prihatin, nunggu sampai PSSI bisa main!”

posted by kinanthi sophia ambalika @ 6/28/2006 03:28:00 PM - 9 comments

Il Divo, Diva-Diva Lelaki

Tuesday, June 13, 2006

By Sam (12062006.15.41)
Renungku


Musik tak ubahnya simbolisasi bahasa dengan menata simponisasi suara ucap maupun alat. Pada aku bahasa musik itu sangatlah sumbang dan awam. Tak banyak musik pop terkini yang menggelantung merdu di benakku, sebaliknya nada dan ritme pinggiran, rumit dan tidak jaman malah seringkali mengakar dan menghanyutkanku. Tak ada antipati musik di telingaku tapi rasa memaksa rock, hip-hop, tekno, rap dan segala turunannya terpinggirkan. Boleh jadi malah musik tabla india, siter dan rebab gamelan jawa, kecapi oriental, atau denting serta gesek musik instrumentalia lainnya terasa lebih masyuk mengusik. Termasuk juga orkestra klasik! Al hasil rentetannya banyak hal klasik yang hapal diluar kepalaku mulai dari epos-epos Arjuna Wiwaha, Ramayana, Mahabarata, Shakuntala, Sin To Hiap Lu hingga To Tiong To. Semua bermuara karena aku menikmati musiknya saat melihat pertunjukkannya.

Musik Klasik dunia yang diwakili oleh karya bule seringkali dibesut lewat media opera dan orkestra. Musik “sulit” ini tumbuh dan mengakar pada pangsa ceruk yang sempit. Belakangan menjadi trend dunia untuk menalikan budaya klasik yang berat dengan budaya pop yang lebih populer lebar pasarnya hingga melahirkan karya-karya Bethoven, Mozat maupun Chopin dalam kemas baru yang lebih nikmat dirasa oleh mata maupun telinga. Vanessa Mae dan Bond membawa musik klasik dalam hentak pinggul, gairah dan feminimitas yang tak pernah ada dijaman jaya Trio Tenor yang digawangi Pafarotti. Kerijitan musik klasik yang terpakempun mulai dipudarkan oleh era solis generasi baru seperi Russel Watson dan Josh Groban bahkan oleh guru mereka yang mempunyai tergelar salah satu pemilik suara terindah di dunia - Andrea Bocheli. Tampillah kini musik-musik klasik yang lebih terasa segar membumi dan “Njamani”.

Photobucket - Video and Image Hosting

Il Divo merupakan fenomena tersendiri dalam alur musik klasik. Kuartet yang diperkuat harmonisasi berkonsep Tenor-Bass ini mengusung 4 pria berlain ras (Urs-Swiss, David-USA, Sebastien-Prancis, dan Carlos-Spanyol) yang terjaring lewat kompetisi ketat. Lahir dari besutan tangan dingin si Icon American Idol – Simon Cowell, kwartet ini telah menorehkan catatan manis di awal karir mereka. Debut mereka bertajuk Il Divo laris 5 juta copy dan menjadi top hit di 13 negara dan berada di top 5 di 25 negara lainnya. Prestasi luar biasa! Dari 3 Album Il Divo(2004), Chrismast Collection(2005), dan Ancora(2006) hanya edisi Chrismast saja yang tidak release di Indonesia. Menariknya di dua album yang release di Indonesia Il Divo mengemas lagu-lagu pop menjadi orkestra menarik disamping nomor-nomor klasik seperti Ame Maria, Pour Que tu A’imes Encore. Lagu Hero (Mariah Carrey), Unbreak My Heart (Tony Braxton) hingga All By My Self (Mariah Carrey) dan My Way (Frank Sinatra) indah terlantun dalam bahasa latin yang pekat di 2 keping CDnya yang berkemas B&W, simple dan elegan (Lengkapnya bisa di lihat di SINI) Pantaslah sebutan Il Divo disandang sebagai diva-divanya lelaki.

Dalam rasa musikku yang sumbang Il Divo menempati track yang aspiratif dan berjiwa. Memberikan media bahasa yang mampu merentangkan emosiku dari kunci ke kunci dalam keselarasan. Sayang sekali, meski jadwal tour Il Divo terbilang padat tak ada tour yang dilakukan di asia. Apalagi Negri ini. Bisa jadi musik klasik masih terbilang belum bisa dinikmati di sini secara luas dan awam ditelinga karena adanya nada-nada mayor baik karena performanya maupun bagaimana adab menontonnya yang tentu beda dengan menikmati musik biasa. Salut teracungkan pada beberapa orkestra Indonesia yang konsisten mengusung musik ini seperti Twilite Orkestra-Adi MS. Meski Tak populer tapi mereka konsisten dengan ceruk yang mereka genggam.

Satu gelitik di pikiranku tak adakah musisi kita yang mampu menggebrak musik dunia dengan ketradisionalan kita. Bukan sebaliknya berbondong meninggalkan bahasa suara yang dipandang “Tak Njamani” apalagi komersil ini karena kesempitan ceruknya. Adakah dari kita yang cukup kreatif sehingga bisa menganggkat beribu ketradisionalan bahasa bunyi ini menjadi sesuatu yang Internasional. Tak usah pesimis. Musik Bluess, Jazz, Rumba pun dulunya berasal dari musik etnis. Untuk pemikiran ini sedikit kita berpaling ke Anggun dengan tunduk salut atas Label Indonesianya yang masih terajut erat di ujung kerahnya meski dia bukan milik kita semata. Namun telah jadi milik dunia. Setidaknya Anggun tidak lupa membahasakan kreatifitasnya dalam khasanah klasik milik bangsa sendiri. Bagi mereka kita patut menyebutnya Diva dan Divo sesungguhnya!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 6/13/2006 07:58:00 AM - 13 comments

Memburu Pose dari Ancol Ke Fatahilah

Thursday, June 08, 2006

By Sam (06062006.15.49)
Kewirausahaan


Langit Jakarta tak pernah bersahabat untuk bisa diharap. Jarang kutemui dia menunjukkan sayu birunya dengan awan cantik menggantung di kaki jenjangnya. Seringkali dia malah menampakkan ragu dalam warna kelabu. Memendar rata dan tanpa gradasi meski untuk sekedar basa basi. Demikian juga yang terjadi pada hari Sabtu, 3 Juni 2006 lalu. Padahal sesuai schedule aku akan melakukan pemotretan pre wedding untuk Arin & Echa. Mau bagaimana lagi? Sudah pasti photo-photo yang didapat akan kurang maksimal namun rasanya tak mungkin membatalkan schedule hanya karena langit yang sulit ditebak.

Meski pemotretan pre wedding Sabtu itu hanya untuk seorang teman. Namun itu sama sekali tak mengurangi persiapanku. Bukan saja mengenai kesiapan peralatan yang digunakan namun juga lokasi dan konsep secara general. Bahkan jauh hari sebelumnya aku telah meminta Arin untuk mencari referensi mengenai pre wedding photo. Setidaknya untuk melibatkan client pada proses agar mereka lebih paham terhadap pelaksanaan pemotretan nantinya. Bahkan sebelumnyapun telah aku informasikan untuk menyiapkan kostum dan perlengkapan lainnya seperti make up dan barang-barang kecil lainnya yang mungkin terlupa Namun sangat membantu saat pemotretan. Jepit misalnya.

Pelaksanaan pemotretan mundur hampir 2 jam dari jadwal. Sesegera mungkin aku putuskan untuk tidak menganggap ini masalah yang besar. Bagaimanapun Aku tidak ingin mood dan suasana jadi kacau bila dipaksakan untuk buru-buru. Termasuk juga saat menuju lokasi pemotretan di Ancol. Suasana akrab dan nyaman sengaja aku bangun melalui komunikasi dengan harapan baik diriku dan mereka bisa santai saat pemotretan nanti. Dan benar! Arin dan Echa meskipun sebelumnya tak pernah terlibat dalam acara photo sesion tapi mereka cukup mudah diarahkan dan cukup ekspresif memandang kamera.

Dibantu Mamat pemotretan sesi pertama di Ancol tepatnya di pantai festival, dan pasar seni terselesaikan hingga tengah hari. Tak kurang dari 100 photo tersimpan di Memory Diskku. Dan bisa ditebak bahwa kebanyakan photo diambil dalam langit kelabu dan matahari yang malu-malu. Beralih ke session ke 2, Arin menginginkan baju formal sehingga satu-satunya tempat yang bisa terjangkau dan tepat dengan kostum adalah museum fatahilah. Bergegaslah kami kesana sebelum matahari tergelincir.

Seperti kebanyakan tempat memotret di museum itu susah susah gampang. Jarang ada yang mengijinkan masuk sehingga pemotretan hanya bisa dilakukan di luar. Dan kebetulan sekali sore itu matahari cukup bagus. Terdapat 4 pasang calon penganting yang sedang mengambil photo disana. Kondisi ini sangat membantu Arin dan Echa untuk berpose senyaman mungkin mengingat pakaian yang mereka kenakan sangat berat. Pukul 3 lewat pemotretan ini selesai. Kamipun meluncur pulang dengan terlebih dahulu menikmati kemacetan yang amat sangat di wilayah glodok yang sudah terbilang tradisi.

Pose Lengkap ada di SAMLENS


Photobucket - Video and Image Hosting


Tip & Trik Pre Wedding Photo Session:


  1. Rencanakan segala sesuatunya dengan matang. Baik teknis, konsep ataupun output yang diinginkan oleh client termasuk juga lokasi serta kostumnya. Ini untuk menghindari terbuangnya waktu dista pemotretan.
  2. Di hari pemotretan pastikan segala sesuatu disiapkan dengan baik. Mulai dari peralatan serta kesiapan pernak-pernik lainnya (peniti, jepit, tissue penghapus keringat dll).
  3. Bangunlah komunikasi dan suasanya yang konduktif dengan client agar mereka merasa nyaman dan tenang saat pemotretan. Terlebih client yang belum pernah menghadapi photo session sebelumnya. Arahkan Client untuk menunjukkan muka eskpresif ataupun pose yang diinginkan karena itu kunci utama.
  4. Tunjukkan kinerja yang cepat, tepat dan efisien karena konsidi outdoor kadang cepat berubah dan sulit ditebak sehingga kita tidak kehilangan moment-moment penting.
  5. Maksimalkan hasil pemotretan tersebut dengan proses retouch untuk menghasilkan hasil akhir yang diharapkan.



Salam Kewirausahaan

posted by kinanthi sophia ambalika @ 6/08/2006 08:00:00 AM - 6 comments

Kesempatan Kedua

Tuesday, June 06, 2006

By Sam (06062006.09.03)
Langkahku

Sepuluh hari sudah gempa dengan kekuatan 5.9 SR di jogja itu berlalu, aku sendiri bahkan sudah di Jakarta dengan rutinitasku. Seperti buku yang telah di baca semestinya lembar-lembar itu telah tertutup, tersimpan di rak dengan rapinya. Namun nyata tidak demikian halnya. Tidak semudah itu.

Aku masih sering terkejut bila ada sedikit getaran, dadakupun masih suka deg-degan tak tentu bila mendengar gemuruh atau keramaian dan juga masih membawa peristiwa gempa itu dalam mimpi. Bahkan saat menonton X-men 3 aku menjadi sangat tak nyaman karena gelegar audio visualnya sedemikian hebohnya. Dan yang parah aku hampir meloncat saat HP silent seorang rekan bergetar di dekatku. Payah!

Namun sekali lagi itu belum usai. Mulai senin kemarin begitu banyak email, YM bahkan sms yang mengabarkan bencana susulan yang akan melanda Jakarta berkaitan dengan angka keramat 666 ataupun jelang 11 hari pasca gempa Jogja. Jujur ... gempa adalah peristiwa yang sama sekali tak bisa di prediksikan dan itu logis sekali. Namun bagi aku yang telah mengalami sendiri gempa besar itu mau tak mau logika itu seakan menguap. Ujungnya makin tak tenang. Beruntung satu keyakinan atas kuasa Dia bisa meredam semua itu. Entah mengapa sedemikian tertatihnya konsidi belakangan ini masih ada pihak yang menyebarkan ketakutan tak beralasan seperti ini. Satu kata bagi mereka... Terkutuklah!

Selama ini aku berfikir aku orang yang sama sekali tidak beruntung karena harus mendapatkan banyak hal dalam hidupku dengan bersusah payah dahulu. Berpeluh dan mengorbankan banyak hal terlebih dahulu. Tapi aku keliru. Gempa kemarin membukakan mataku betapa kasih dan keberuntungan ada di pihakku ... dan itu lupa untuk aku syukuri. Keluargaku utuh demikian dengan hal-hal yang kami punya. Aku beruntung karena telah keluar dari daerah bencana dengan kerutinitasku dibanding banyak saudara yang masih bergulat dengan kepedihan dan kepastian akan hidup yang masih terus dipertanyakan. Belum lagi menurut perkiraan gempa susulan akan ada selama 14 hari, aku yakin secara fisik maupun mental hal ini amat sangat melelahkan.

Bencana gempa ini sangat memberi pelajaran betapa pentingnya kita menghargai banyak hal dalam hidup kita. Betapa perlunya kita tidak menunda-nunda kebaikan yang masih mampu kita berikan. Terlebih bagi kami yang mengalaminya betapa pupusnya kesempatan yang kami punya.

Disaat Tuhan masih berikan KESEMPATAN bagi kita .... jangan ABAIKAN. Itu saja!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 6/06/2006 09:46:00 AM - 6 comments

“Buku Hajatan” My First Collaboration Book

Friday, June 02, 2006

By Sam (02062006.09.45)
Langkahku


"Buku Hajatan" begitu aku lebih girang menyebut buku "Ortu Kenapa sih" ini yang digawangi oleh 12 penulis termasuk diriku yang menyelinap masuk. Tulisan pertamaku ini hadir melalui kolaborasi Blogfam dan Penerbit Cinta yang mengusung tema semacam Chicken Soup for teen world. Tak berlebihan bila ucap syukur dan terima kasih tertutur pada rekan terkait yang gigih berpeluh merealisasikan buku yang sarat akan tip dan trik urusan remaja ini. Besar keinginan langkah kecil ini jadi pijakan untuk loncatan bermakna. Kini tinggal menunggu waktu waktu terbitnya semata.

Photobucket - Video and Image Hosting

Pesan Sponsor:

Indra Bruggman - Bintang Sinetron
"Banyak cara jadi remaja yang lebih oke. Salah satunya lewat buku yang ringan namun sarat makna ini"
Elly Risman S.Psi - Psikolog anak dan remaja. Direktur yayasan kita dan buah hati
"Buku ini bisa jadi panduan agar orangtua dapat menghindari terjadinya bongkahan keras di hati remaja. Sehingga iklim psikologis rumah jadi lebih nyaman, serta mengetatkan jalinan kasih antara remaja dan orangtuanya."
Icha Rahmanti - penulis Cintapuccino dan Beauty Case
"Manis, menyentuh, dan inspiratif ... untuk semakin mengerti bahwa dari sesuatu yang berbeda bisa saling melengkapi dengan indahnya. Seindah cinta orangtua dengan anak-anak mereka yang (konon) tanpa syarat."
Primadonna Angela - Penulis Jangan Berkedip!
"Menyentuh hati ... Sungguh, membaca buku ini membuat saya lebih menghargai apa yang saya miliki!"
K. Atmojo - Editor dan publisher Majalah Cerita Kita
"Buku ini memberi banyak contoh bagaimana konflik remaja dan orangtua bisa terjadi. perbedaan bisa menimbulkan riak-riak pertengkaran remaja dan orangtuanya."
Luna TR. - Penulis trilogy Sweet Angel
"Wajib dibaca para remaja untuk menghadapi keinginan orang tua yang kadang-kadang nggak sesuai dengan hati nurani kita. Apalagi ini berdasarkan kisah nyata."

On store 24th June 2006.

'Launching' resmi buku ini Insya Allah akan dilaksanakan pada,
Tanggal : 1 July 2006
Pukul : 15.00 WIB - selesai
Tempat : MP Book Points.
Jl. Puri Mutiara Raya No. 72,
Cipete - Jakarta Selatan
Tel. +62 21 75910212

posted by kinanthi sophia ambalika @ 6/02/2006 10:23:00 AM - 11 comments