Hati Kardus Bunga Ranjang
Saturday, February 11, 2006
Secarik Cerita
Aku bertanya apakah hatiku terbuat dari seonggok kardus. Lembab dan hanyut begitu hujan membasah. Kering dan terbakar saat api memercik. Tak ada ketegaran kecuali kerapuhan. Mungkin benar hatiku dari kardus, kardus yang membungkus ketidak dayaku.
Ketidak dayaan yang sejak mula jadi pahatan kasar di jalan nasibku. Dimana aku tak bisa menentukannya kecuali mengikutinya. Patuh dan tunduk!. Belumlah mekar kelopakku saat ku dipetik dari rantingku. Diambil dari daun yang mestinya menaungiku untuk dijadikan penghias ranjang-ranjang malam. Hiasan yang tidak di hargai dengan pujian serta belaian namun sekedar hasrat sesaat untuk membuang hajat. Dipajang, dinikmati dan tak ingin diingat lagi.
………….
“Dar, kamu tahu cinta itu apa?” Tanyaku seketika.
Darmi sepertinya tuli. Ucapanku seperti tak terdengar. Matanya masih menatap kaca memulaskan bedak tebal disela kerut halusnya yang mulai nampak. Sesekali badannya bergoyang mengikuti rentak dangdut yang sedari tadi berbunyi riang memanggil pelanggan. Hanya Darmi yang dekat denganku. Sama sepertiku diapun diambil saat umurnya belum genap 13 tahun. Kami tak jauh beda kecuali hati kami. Darmi mungkin diberi hati dari besi. Keras dan selalu berpijar penuh amarah bila terbakar bara.
“Dar, cinta itu apa?” Tanyaku lagi.
Sesaat Darmi menggeleng, meletakkan gincu merahnya … menghampiriku. “Dengar Sri, tak ada istilah cinta bagi lonte macam kita. Cinta bagi kita adalah uang dan bagi mereka adalah kepuasan. Disini kita jualan. Orang jualan tak tahu apa itu cinta. Kita tahunya untung dan rugi. Itu saja. Ngerti!”
Aku mengangguk tanpa paham.
“Sudah kubur pertanyaan itu, cepat dandan!”
…………..
Malam kemarin, malam ini juga malam-malam nanti aku tetaplah bunga ranjang. Yang di taruh di kamar kamar sempit seadanya di salah satu dari sekian puluhan rumah remang di daerah Dadap ini. Meski terletak terpencil di tepi pantai yang kumuh dan kotor namun molek bunga kami banyak menggoda lelaki untuk datang. Mereka memang bukanlah kumbang tapi sekumpulan lalat. Mereka tidak menyerbukkan sari kami tapi mematuknya lalu menyelipkan lembar rupiah di kutang-kutang kami. Seperti yang Darmi bilang mungkin mereka juga tak tahu apa itu cinta. Mereka hanya membeli. Mengambil lebih dari apa yang semestinya tak kami beri … KEHORMATAN kami!
Kembali kusadari hatiku hanyalah seonggok kardus … robek dan terkoyak tak mampu membungkus kehormatan ku.
posted by kinanthi sophia ambalika @ 2/11/2006 11:47:00 PM -
6 Comments:
.....Gusti Allah mboten sare dhen..... kata2 Pariyem, seorang pembantu kepada dhoro raden saat ditanya kenapa dia mau mengabdikan jiwa dan raganya kepada tuannya itu. (taken from :Pengakuan Pariyem - Linus Suryadi).
Gak tau ada hubungannya apa enggak nih Sam, tapi potongan kalimat dari cerita pariyem itu nurut aku hampir ada kesamaan sama ceritamu. Cerita ttg mereka, kaum yg rentan untuk bisa membungkus KEHORMATAN nya sendiri.
nice posting Sam :)
waw!!
Mas Sam,
Tiap ceritamu selalu membuat aku tercenggang..
Just 'samwords', but its so beautifull...salut..!!!
kadang mereka tak memiliki pilihan..menjadi budak nafsu lelaki yang tak dikenal...merelakan kehormatan tak hanya tercabik..tapi..hancur berkeping...
sampe ke sana penamatanmu mas...
great...keep writing
entah, apakah sebuah kehormatan dilihat dari apa yang dilakukan, atau apa yang ditinggalkan.
Walau hati hanya seperti seonggok kardus, jadikanlah kardus itu masih memberi arti.
what a nice posting.
all..tx 4 comment.
Ini dunia yang beda dari kita tapi seperti kata mamat. entah itu kardus atau besi hati kita moga bisa memebrikan yang terbaik bagi dunianya
Post a Comment
<< Home