1 Syawal 1427 H

Friday, October 20, 2006

By Sam (20102006.13.50)
Ucapku


posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/20/2006 01:54:00 PM - 7 comments

Tembang Sumbang Untuk Sebuah Pertukaran

Monday, October 16, 2006

By Sam (15102006-13.07)
Ceritaku


Terik tidak hanya menerbangkan debu jalanan dan memanggang udara dalam kepanasan, namun juga melelehkan keringat dan menghanguskan kulit kecilku. Aku tidak peduli. Hari masih panjang untuk bisa mengumpulkan keping receh lebih banyak lagi yang terbayarkan lewat tarikan tembang sumbangku diatas angkutan. Hanya itu yang bisa ku perbuat. Menepukkan tanganku, melantunkan potongan lagu dan mengulurkan kantongku. Satu pekerjaan mudah yang telah melekat di takdirku saat umurku masih dalam gendong ibu. Dan disaat ibu tak lagi mampu untuk naik turun bus dengan cekatan, akulah yang jadi andalan.

Kaki kecilku telah terlatih untuk cekatan melompat bus yang tengah melaju pelan, beringsut diantara kepadatan penumpang dan memilih tempat dimana tepukan dan tembang sumbangku nyaring bisa kuperdengarkan. Hati kecilkupun juga telah terlatih untuk selalu mensyukuri setiap keping receh yang aku terima, atau kadang lembar ribuan yang dilemparkan. Demikian juga saat menerima hardikan, ketidak pedulian atau bahkan kepuraan dan ketulian. Aku juga telah terlatih kebal bahkan terlanjur menjadi bebal bebal untuk menghadapi ancaman dan pemalakan mereka yang merasa lebih punya lahan kuasa hingga bisa semena-mena. Hidupku kugadaikan untuk sekeping receh. Receh yang akan kuberikan pada ibu dan receh yang sisanya akan aku kumpulkan untuk sekedar membeli sebuah baju koko. Hanya sebuah baju semata. Ini bukan keinginan yang mewah tapi bukan pula hal yang sesederhana untuk di wujudkannya. Terlebih bagi seorang anak papa sepertiku.

Aku tak bisa menyalahkan ibu bila tak lagi mampu mengantarku sholat Ied, akupun tak bisa menghujat bapak yang tak pernah bisa menjadi panutan seorang anak. Tapi aku hanya bisa menyalahkan keinginanku. Keinginan besar untuk sedikit bisa menjalankan sholat Ied diantara ibu dan bapakku. Matahari tahu bahwa ini satu keinginan diatas awan, bulanpun mengerti ini tak akan pernah terjadi. Tapi hanya ini yang aku ingini. Masih membekas sholat Ied tahun lalu dan sebelumnya dimana aku selalu berada di pinggir lapangan dengan kekumuhanku. Memandang pilu anak-anak lugu dalam gendong bapak-ibunya. Menelan mimpi jika dirikulah yang berada diantara gandengan mereka.

Tahun ini aku tak ingin lagi terjadi. Membiarkanku terpinggirkan dan tenggelam dalam inginku. Baju koko itu akan menyelamatkanku. Membawaku berbaur berada diantara mereka yang bahagia dan masih merasa memiliki kasih orang tua. Membawaku merasa layak diterima meski kutahu mereka bukan milikku, namun setidaknya aku cukup lega merasai bahagia mereka dalam jangkau lenganku.

Aku berharap baju itu akan bisa menukar keberadaan bapak-ibuku
Aku tahu,
Meski Tuhanku tak mengukur taqwaku dengan sebuah baju
Namun ...
Manusia bukanlah Tuhan yang mengerti segala sesuatu
Dan aku hanya bisa memikirkan bahwa ini satu satunya jalanku



Tepukanku makin keras menyentak diantara bising bunyi mesin bus yang meraung, aku makin berteriak untuk mengalahkannya. Kutak peduli suaraku makin parau meniti nada-nada sumbang, yang aku mengerti pertukaran ini nanti ... harus terjadi. Harus ...


posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/16/2006 03:10:00 PM - 4 comments

Sarung-sarung Yang Memelukku

Wednesday, October 11, 2006

By Sam (11102006-10.50)
Langkahku


Kain panjang yang ditangkupkan ujungnya dengan jahitan memanjang mengikuti sisi temunya dikenal orang dengan nama SARUNG. Bukan hanya pria yang mendominasi pemakaian sarung untuk keperluan laki-laki seperti sembahyang, kenduri, pelengkap pakaian tradisional ataupun sekedar teman tidur atau malah untuk pengusir dingin malam kala ronda. Kaum wanitapun tak kalah akrab dengan kain jenis sarung ini. Sudah jelas bagi mereka sarung banyak dipakai untuk kegunaan berbusana dan juga sholat meski ada kala sarung dipakai untuk ayunan bayi dengan menalikannya di gawang rumah atau pelengkap timbangan kala posyandu digelar. Sarung apapun motif, bahan dan kegunaannya ternyata menjadi satu bagian umum kehidupan selain juga sebagai identitas diri.


Sepertinya menjadi jawaban yang klise bila ada yang bersuka rela menawariku oleh-oleh, saat kemanapun rekan atau familiku pergi. Jawaban yang diperoleh dariku cukup singkat, jelas dan pasti ... Sarung!. Meski tak lazim dan tidak mengikuti tradisi tapi begitulah. Berbagai alasan bisa aku lontarkan untuk menjawab mengapa justru memilih sarung. Setidaknya aku bukanlah orang yang suka menaruh pernak-pernik barang tersebar di meja ataupun kamar kecuali photo, jadi lupakan souvenir dan cindera mata berupa pajangan. Makanan? Kurasa oleh-oleh ini tidak memorable. Jadi kembali sarunglah yang paling tepat. Disimpan mudah, awet, cukup berharga membalutku saat solat dan cukup hangat memelukku saat menemaniku tidur. Satu penghargaan lebih yang aku tawarkan dan usahakan pada yang bersuka rela memberikan keikhlasannya padaku.

Di lemariku tersimpan berbelas sarung dari usaha membeli sendiri, special pemberian seseorang hingga gratisan parcel dan semacamnya. Mulai dari sarung Bali, Palembang, Makasar, Kalimantan, Madura hingga sarung pasaran macam Gajah Duduk, Cap Mangga, Wadimor, Atlas dan beberapa yang kulupa. Jelasnya aku bukanlah kolektor karena beberapa sarung kadang harus kurelakan saat diminta. Sebagian kutaruh di tas kerja, tas tenis, mobil dan beberapa lemari di rumah Jakarta dan Jogja. Alasannya cukup sederhana. Aku yang suka kemana-mana pakai celana pendek ini tak kelabakan kalo tiba waktu sholat.

Beberapa sarung sengaja aku pertahankan karena mempunyai makna yang terselip. Sarung Bali yang telah pudar pradanya adalah salah satunya. Sarung ini berwarna hijau yang sebenarnya jelas bukan warna kebangsaanku, namun sarung ini bersamaku sejak aku TK dan selalu bersama hingga perjalanan ini. Wajar bila dia yang paling berharga. Lainnya ada beberapa sarung warna putih. Dan sejak beberapa orang tahu aku suka warna orange beberapa pemberian tak jauh dari warna ini termasuk juga untuk warna sarung.

Awal ramadhan kemarin aku keluarkan semua sarung yang masih terdapat di lemariku. Di cuci dan kembali di setrika rapi. Nyatanya aku baru sadar terdapat beberapa sarung yang belum keluar dari kotaknya. Belum sempat aku pakai. Salah satunya sehelai sarung dari Pekan Baru dengan warna baur biru dan kuning semarak dipadu songket serta sulam benang emas ukuran besar. Sarung ini terbungkus kotak berlapis kain songket serupa warna kuning menyala. Indah sekali. Satu sarung yang tak mungkin kupakai sehari-hari apalagi sekedar teman tidur.

Beberapa hari sempat kupikir kapan aku punya waktu yang tepat untuk memakai sarung yang tergolong ”berat” ini. Pikiranku tersimpul pada satu peristiwa sakral. PERNIKAHANKU!. Akh ... bisa jadi ya, tapi bisa jadi tidak. Tentunya aku tak ingin terlihat seperti UNYIL di hari spesial itu!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/11/2006 01:34:00 PM - 6 comments

Bentangkan Sajadah Dengan Sapamu

Tuesday, October 03, 2006

By Sam (28092006-11.40)
Ceritaku


Dia, Ibu itu. Wanita setengah baya dengan kerudung di kepalanya. Tak ada cela di dandanannya juga jeda di ucapnya. Padu padan sewarna dan aneka rupa perhiasan melekat di badannya terlihat cantik dan amat berharga. Petang ini juga petang-petang yang lalu dia lewat di tepi jembatan ini. Tak sendiri, ada beberapa ibu-ibu menemani. Bersama mereka membawa mukena, bersama pula disampirkan sajadah di pundak mereka. Petang ini juga petang-petang yang lalu mereka bersama menuju syurau melewati gubuk kami yang berada dibawah tepi jembatan.

Aku, anak kecil di sini. Satu dari sekian belas anak kumuh penghuni gubuk liar di pinggir kali tak bertuan ini. Yang terlahir dari keterbatasan dan umpat serapah keputus asaan. Kami anak-anak bau terik dan cemar air yang menggantungkan hidup dari sisa rejeki dan kemurahan hati. Anak-anak yang berharap ada sinar matahari yang melelehkan nasib ketidak beruntungan kami. Petang ini juga petang-petang yang lalu kami selalu melihat mereka ibu-ibu itu. Melihat dalam kefanaan. Menatap kekaguman bidadari tanpa sayap menapak tanah kami yang penuh genangan dan kenistaan.

Kebodohanku memahami bila di depan kami ibu menyingsingkan kain panjang dan melipat jinjingan. Itu karena ketakutan akan kotor dan noda yang akan melunturkan nilai yang akan Ibu pasrahkan pada Ilahi. Akupun bisa mengerti saat ibu menghembuskan nafas pendek sesekali sembari membuang ludah ke tanah. Itu karena tak ingin lembab dan sesak bau gubuk kami mencemarkan kesegaran dan kekhusyukan yang baru ibu dapatkan dari syurau beberapa saat lalu.

Tapi nuraniku menangis dalam pedih. Mengapa ibu palingkan muka saat ingin kutatap jernih dan indah matamu. Kau hentakkan tangan saat kuingin sentuh dan salam tangan kasihmu. Dan kau angkat dagu saat kuingin sapa dan lihat senyum di mulutmu. Sedemikian sulitkan satu keinginan sederhana untuk membumikan kefanaanmu?

Ibu … Aku berbeda dengan keruhnya air sungai dan rentanya gubuk peneduh kami. Aku juga tak sama dengan becek tanah dan baunya sampah yang menaungiku. Aku bodoh karena kehilangan kesempatan, aku bau karena masa lalu, aku memberontak karena keputus asaan nasib. Tidakkah kau lihat bahwa aku dan kami disinipun menginginkan perubahan, menginginkan hidup dan kehidupan yang lebih baik … mendambakan kesadaran.

Ibu … aku melihatmu bagai bidadari yang kuharap bisa membawaku terbang tinggi. Terbang ketempat kehidupan yang lebih baik dengan mengajak dan mengajarku mengenal siapa Tuhanku. Kupinta ... cukup tempatku yang kau anggap sebagai sampah, jangan kami yang didalamnya, jangan pula kau jauhkan kami dari rangkul dan rengkuhmu karena sucimu bukan untuk sekedar ditunjukkan tapi untuk dibagikan. Tuntun dan bentangkan sajadah di hadap kami dengan senyum dan sapamu, bukan dengan caci dan hardikmu. Karena itulah hakekat mensyiarkan religimu.

posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/03/2006 08:53:00 AM - 3 comments