Tembang Sumbang Untuk Sebuah Pertukaran

Monday, October 16, 2006

By Sam (15102006-13.07)
Ceritaku


Terik tidak hanya menerbangkan debu jalanan dan memanggang udara dalam kepanasan, namun juga melelehkan keringat dan menghanguskan kulit kecilku. Aku tidak peduli. Hari masih panjang untuk bisa mengumpulkan keping receh lebih banyak lagi yang terbayarkan lewat tarikan tembang sumbangku diatas angkutan. Hanya itu yang bisa ku perbuat. Menepukkan tanganku, melantunkan potongan lagu dan mengulurkan kantongku. Satu pekerjaan mudah yang telah melekat di takdirku saat umurku masih dalam gendong ibu. Dan disaat ibu tak lagi mampu untuk naik turun bus dengan cekatan, akulah yang jadi andalan.

Kaki kecilku telah terlatih untuk cekatan melompat bus yang tengah melaju pelan, beringsut diantara kepadatan penumpang dan memilih tempat dimana tepukan dan tembang sumbangku nyaring bisa kuperdengarkan. Hati kecilkupun juga telah terlatih untuk selalu mensyukuri setiap keping receh yang aku terima, atau kadang lembar ribuan yang dilemparkan. Demikian juga saat menerima hardikan, ketidak pedulian atau bahkan kepuraan dan ketulian. Aku juga telah terlatih kebal bahkan terlanjur menjadi bebal bebal untuk menghadapi ancaman dan pemalakan mereka yang merasa lebih punya lahan kuasa hingga bisa semena-mena. Hidupku kugadaikan untuk sekeping receh. Receh yang akan kuberikan pada ibu dan receh yang sisanya akan aku kumpulkan untuk sekedar membeli sebuah baju koko. Hanya sebuah baju semata. Ini bukan keinginan yang mewah tapi bukan pula hal yang sesederhana untuk di wujudkannya. Terlebih bagi seorang anak papa sepertiku.

Aku tak bisa menyalahkan ibu bila tak lagi mampu mengantarku sholat Ied, akupun tak bisa menghujat bapak yang tak pernah bisa menjadi panutan seorang anak. Tapi aku hanya bisa menyalahkan keinginanku. Keinginan besar untuk sedikit bisa menjalankan sholat Ied diantara ibu dan bapakku. Matahari tahu bahwa ini satu keinginan diatas awan, bulanpun mengerti ini tak akan pernah terjadi. Tapi hanya ini yang aku ingini. Masih membekas sholat Ied tahun lalu dan sebelumnya dimana aku selalu berada di pinggir lapangan dengan kekumuhanku. Memandang pilu anak-anak lugu dalam gendong bapak-ibunya. Menelan mimpi jika dirikulah yang berada diantara gandengan mereka.

Tahun ini aku tak ingin lagi terjadi. Membiarkanku terpinggirkan dan tenggelam dalam inginku. Baju koko itu akan menyelamatkanku. Membawaku berbaur berada diantara mereka yang bahagia dan masih merasa memiliki kasih orang tua. Membawaku merasa layak diterima meski kutahu mereka bukan milikku, namun setidaknya aku cukup lega merasai bahagia mereka dalam jangkau lenganku.

Aku berharap baju itu akan bisa menukar keberadaan bapak-ibuku
Aku tahu,
Meski Tuhanku tak mengukur taqwaku dengan sebuah baju
Namun ...
Manusia bukanlah Tuhan yang mengerti segala sesuatu
Dan aku hanya bisa memikirkan bahwa ini satu satunya jalanku



Tepukanku makin keras menyentak diantara bising bunyi mesin bus yang meraung, aku makin berteriak untuk mengalahkannya. Kutak peduli suaraku makin parau meniti nada-nada sumbang, yang aku mengerti pertukaran ini nanti ... harus terjadi. Harus ...


posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/16/2006 03:10:00 PM -

4 Comments:

Blogger mamat ! said...

" Tapi aku hanya bisa menyalahkan keinginanku "

tiada yang salah dengan memiliki keinginan. Tapi saat keinginan tidak terpenuhi, adalah lebih bijaksana untuk bisa menerimanya dengan lapang dada.

Nice story Bro ...

11:08 AM  
Blogger Apey said...

Another great posting of your super mind Sam ! Touching story :)

7:04 AM  
Blogger unai said...

according apey
u re great bro

9:04 AM  
Blogger retnanda said...

adi mas... (adi apa mas ya??)
setiap kali baca tulisanmu yang sangat sangat menyentuh.. selalu membuat yang membaca jadi pilu.. sendu.. dan termangu...
begitu abu abu nya kehidupan ini ya..?

7:52 AM  

Post a Comment

<< Home