Bentangkan Sajadah Dengan Sapamu
Tuesday, October 03, 2006
Ceritaku
Dia, Ibu itu. Wanita setengah baya dengan kerudung di kepalanya. Tak ada cela di dandanannya juga jeda di ucapnya. Padu padan sewarna dan aneka rupa perhiasan melekat di badannya terlihat cantik dan amat berharga. Petang ini juga petang-petang yang lalu dia lewat di tepi jembatan ini. Tak sendiri, ada beberapa ibu-ibu menemani. Bersama mereka membawa mukena, bersama pula disampirkan sajadah di pundak mereka. Petang ini juga petang-petang yang lalu mereka bersama menuju syurau melewati gubuk kami yang berada dibawah tepi jembatan.
Aku, anak kecil di sini. Satu dari sekian belas anak kumuh penghuni gubuk liar di pinggir kali tak bertuan ini. Yang terlahir dari keterbatasan dan umpat serapah keputus asaan. Kami anak-anak bau terik dan cemar air yang menggantungkan hidup dari sisa rejeki dan kemurahan hati. Anak-anak yang berharap ada sinar matahari yang melelehkan nasib ketidak beruntungan kami. Petang ini juga petang-petang yang lalu kami selalu melihat mereka ibu-ibu itu. Melihat dalam kefanaan. Menatap kekaguman bidadari tanpa sayap menapak tanah kami yang penuh genangan dan kenistaan.
Kebodohanku memahami bila di depan kami ibu menyingsingkan kain panjang dan melipat jinjingan. Itu karena ketakutan akan kotor dan noda yang akan melunturkan nilai yang akan Ibu pasrahkan pada Ilahi. Akupun bisa mengerti saat ibu menghembuskan nafas pendek sesekali sembari membuang ludah ke tanah. Itu karena tak ingin lembab dan sesak bau gubuk kami mencemarkan kesegaran dan kekhusyukan yang baru ibu dapatkan dari syurau beberapa saat lalu.
Tapi nuraniku menangis dalam pedih. Mengapa ibu palingkan muka saat ingin kutatap jernih dan indah matamu. Kau hentakkan tangan saat kuingin sentuh dan salam tangan kasihmu. Dan kau angkat dagu saat kuingin sapa dan lihat senyum di mulutmu. Sedemikian sulitkan satu keinginan sederhana untuk membumikan kefanaanmu?
Ibu … Aku berbeda dengan keruhnya air sungai dan rentanya gubuk peneduh kami. Aku juga tak sama dengan becek tanah dan baunya sampah yang menaungiku. Aku bodoh karena kehilangan kesempatan, aku bau karena masa lalu, aku memberontak karena keputus asaan nasib. Tidakkah kau lihat bahwa aku dan kami disinipun menginginkan perubahan, menginginkan hidup dan kehidupan yang lebih baik … mendambakan kesadaran.
Ibu … aku melihatmu bagai bidadari yang kuharap bisa membawaku terbang tinggi. Terbang ketempat kehidupan yang lebih baik dengan mengajak dan mengajarku mengenal siapa Tuhanku. Kupinta ... cukup tempatku yang kau anggap sebagai sampah, jangan kami yang didalamnya, jangan pula kau jauhkan kami dari rangkul dan rengkuhmu karena sucimu bukan untuk sekedar ditunjukkan tapi untuk dibagikan. Tuntun dan bentangkan sajadah di hadap kami dengan senyum dan sapamu, bukan dengan caci dan hardikmu. Karena itulah hakekat mensyiarkan religimu.
posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/03/2006 08:53:00 AM -
3 Comments:
really really deep, Sam.
Renungan yang indah di bulan suci.
harus dengan apa lagi untuk mengungkapkan rasa cinta dan bangga terhadap ibu ? bahkan nyawa kitapun belum cukup untuk membalas budi baiknya. salam mas sam !
terharu...
speechless aku sam...
Post a Comment
<< Home