Aku Dalam Selingkuh

Tuesday, December 20, 2005


By Sam (21122005.22.48)
Secarik Cerita



Sejenak batinku juga pikirku dalam kembara … sebentuk baris kalimat muncul dari si Dia yang di seberang sana di selulerku malam ini. Singkat dan menusuk. Memojokkanku pada kenyataan akan ketidak percayaannya.

“Malam ini, Kau tidak selingkuh bukan?”

Mataku tak lepas menatap kembali bait kalimat itu namun tanganku tak hendak membalasnya bahkan untuk menuliskan kalimat penghibur untuk berkelit sekalipun. Tidak sama sekali. Karena jujur kuakui aku dalam selingkuh!

Kadang,
Kuselingkuhi nurani ini hingga tak jarang tertutup mata ini untuk melihat derita dan beban orang lain
Kuselingkuhi kepercayaan ditanganku ini hingga seringkali ku abaikan amanah dengan mudahnya
Kuselingkuhi kesabaran ini hingga kemarahan dan caciku tak mampu kubendung lagi
Kuselingkuhi semangat ini hingga hanya kemalasan dan tengadah tangan yang bisa kulakukan

Bahkan tak jarang,
Ku menyelingkuhi kejujuranku dengan kebohongan2 kecil yang aku anggap pembenaran
Ku selingkuhi pikiran positifku dengan dugaan-dugaan tak menentu yang sama sekali tak menentramkanku
Dan kembali ku selingkuhi kata indahku dengan umpatan2 yang hanya menjadi rasa sakit bagi telingaku….

Seperti candu selingkuhku tiada terpuaskan meski hanya hasrat sesaat namun tak ada tangan yang bisa menghentikannya, memperbaikinya.

Bagi si Dia yang diseberang sana kutakperlu simpuhkan kaki mengharap maaf tulusnya. Karena justru pada Dia yang diatas sana harus ku kata.

“Ampuni selingkuhku!”

posted by kinanthi sophia ambalika @ 12/20/2005 11:21:00 PM - 12 comments

Mengembalikan Mata Hati

Wednesday, December 14, 2005


By Sam (13122005.15.35)
Secarik Langkah: Social Project



Hari-hari belakangan aku sangat gelisah dan terusik. Dalam renungku aku suka menempelkan wajah di balik jendela mobil tempat duduk belakang, membiarkan mataku menari seiring gerak apa yang kupandang didepan. Seringkali bukan keriangan yang tampak disana tapi keprihatinan demi keprihatinan yang tak bernalar. Aku juga suka membiarkan kakiku berjalan menyusur liku jejalanan dibalik dinding-dinding menjulang dan hunjaman beton jalan layang. Seringkali bukan keindahan yang terjejak melainkan keterjalan dan sandungan yang kembali tak nalar kenapa tak disingkirkan. Akupun juga suka membiarkan telingaku bebas mendengar mulut-mulut bicara. Seringkali bukanlah nyanyian merdu dan senandung puji yang menghampiri melainkan sumpah serapah dan jerit tangis tak bersuara … tanpa daya.

Tanda tanya besar menggantung di pikirku, ada apa dengan kita, kehidupan kita, lingkungan kita, perilaku kita, negeri kita? Hingga dari hari-kehari bukanlah warna-warna indah yang terbentang di depan sana melainkan kafan-kafan pucat pasi yang bergilir membungkus hati kita yang damai, melainkan hanya derit pilu hati yang banyak mulai berkarat dan tak peka lagi. Kurasa anak negeri ini telah banyak yang kehilangan … mata hati mereka. Mungkin keliru bila dipertanyakan kembali ini salah siapa karena kurasa mencari solusi di depan lebih membawa manfaat daripada mencela apa yang telah terjadi. Sangat naif bila aku berkeinginan untuk bisa memperbaiki semua persoalan di negeri ini. Cermin di depanku jelas menunjukkan aku hanya punya kata yang keluar dari penaku. Kata-kata yang selalu kubisik dengan harap ada hati yang masih peka untuk diusik, hati yang masih punya mata untuk melihat satu kebenaran dan logika. Namun kupikir kembali bahwa aku lebih naif bila ternyata hanya bisa mengusik dengan kataku tanpa melakukan satu tindakan tanpa melakukan hal nyata.

Aku tak akan menggantung mimpi di siang hari dengan satu project muluk untuk bisa membuka kafan penutup hati atau melumasi hati berkarat, namun aku ingin melakukan satu hal yang cukup mendasar dan sederhana. Memberdayakan apa yang aku dan teman-temanku punya bagi mereka secara tepat. Mulanya seusai lebaran tempo hari aku sudah mulai berbisik dari satu telinga ke telinga lain untuk mengajak mereka-mereka yang berkonsep dan berpikir sama denganku untuk menjalankan satu project social secara sederhana. Aku ingin menghimpun teman-teman untuk bersama anak-anak yang dijalan, anak-anak yang dipanti, anak-anak yang belajar mengaji juga anak-anak lainnya agar bisa bersama bermain, bersama belajar ….. bersama mengembalikan mata hati. Tidak dengan ilmu computer atau aritmatika, bukan pula dengan kimia ataupun fisika, melainkan dengan cara sederhana yaitu mengajarkan dasar-dasar hidup melalui bermain, atau berguru pada alam dan lingkungan. Mengajarkan satu konsep hidup yang terlupa seperti menghormati orang tua, tak mengambil hak yang bukan miliknya, menyayangi lingkungannya dan banyak hal mendasar lainnya. Karena pada nyatanya hal-hal itulah yang kini mulai dilupakan, hal-hal basik itulah yang kini mulai ditiadakan. Luput dari jangkauan. Juga bagi mereka dalam harus mengais rejeki di usia dini bisa diajarkan dasar-dasar kewirausahaan untuk memandirikan mereka. Sedikit harapan agar mereka mengenal bisnis secara tepat dan menjauhkan mereka dari menengadahkan tangan, bisa menciptakan masa depan bagi dirinya sendiri.

Sejauh ini gambaran kongkrit pelaksanaan project sosial ini masih perlu dimatangkan dan direalisasikan. Dalam pikirku secara inti project ini akan hanya dijalankan oleh yang berkomitment tak lebih dari hitungan jari sebelah tangan. Selebihnya saat mulai berjalan dilapangan akan banyak dibutuhkan relawan. Tepatnya untuk dana diawal perjalanan aku tak ingin menjadikan masalah besar karena titik berat berupa komitmen dan kompetensi lebih diutamakan. Saat ini ada beberapa rekan yang menyanggupi untuk berkomitmen dalam project social ini. Dan banyak diantaranya yang sanggup untuk diketuk saat programnya berjalan. Satu terima kasih tak terhingga akan kesediaan untuk terlibat dan memikirkan sisi lain dari hidup kita. Kesediaan untuk mengembalikan mata hati anak-anak kita. Dan untuk ini aku tak mungkin melakukannya sendiri. Dan saat nantipun kuberharap akan lebih banyak kesediaan banyak tangan untuk saling bergandengan, saling bahu membahu dan mencurahkan keikhlasan dan keyakinan.

Tak ada keinginan yang lebih besar untuk semua ini daripada bisa melihat lebih banyak warna indah yang menghidupkan hati kita, yang membuat kita makin peka dan berasa, juga menyadari untuk melakukan apa yang memang seharusnya kita perbuat. Aku sadari ini bagai menabur benih di berlaksa hektar padang tandus. Apa berarti akan sulit dan tak ada harapan? Kupikir harapan akan tumbuh bila ada doa dan usaha. Jadi mengapa harus risaukan. Terpenting bagaimana keinginan ini bisa terwujud dan berjalan serta memberikan manfaat secara nyata. Sehingga di benakku hanya satu kata yang mesti di teguhkan dalam hati …. Just do it!

Bila ditanya bagaimana mengembalikan mata hati. Sederhananya akan kukata … aku mengajak untuk tidak mengambil hak yang bukan milik kita. Itu saja!



Image hosted by Photobucket.com


Lebih lanjut aku berharap dengan tulisan ini terlontar ide, pendapat atau masukan bahkan kesediaan ke Boxku agar social project ini bisa berjalan dan memberi manfaat secara nyata tidak saja bagi diri kita tapi juga banyak anak di negri ini … untuk mengembalikan mata hati yang dulu kita miliki. Semoga!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 12/14/2005 11:48:00 AM - 7 comments

Daun, Ranting dan Tanah

Thursday, December 08, 2005


By Sam (08122005.16.50)
Secarik Perenungan



Aku tersenyum kecil mendengar penuturan seorang sobat mengenai bentuk hubungannya belakangan ini, hingga seorang kawan melontarkan tanya menggelitik.

“Apakah daun yang meninggalkan ranting, atau justru ranting yang tak menginginkan daun tinggal?”

Sudah pasti menyakitkan, disaat tangan hanya mampu menepuk angin. Orang bilang seakan menjaring matahari, menggenggam pasir …. atau apalah. Yang pasti rasa ini bukanlah hal yang indah untuk diucap apalagi digambarkan dengan kata berbunga. Aku sendiri lebih suka menyebut rasa ini dengan makna lugasnya, kesiaan! Perih memang ….

Sesaat pikirku meronta menyisir kenyaaan di hadapku. Akankan menjadi kesiaan pula bila nyatanya ranting menginginkan daun tinggal namun ternyata tanah tak pernah ijinkan mereka tumbuh?

Adakah kesiaan dalam suatu cinta, karena pada nyatanya dia bertunas diantara dua ruas hati
Adakah kesiaan dalam suatu cinta, karena pada nyatanya dia harus mati karena tanah tak mau merengkuhi

…………….

Mungkin bukan kesiaan karena pada nyatanya ranting takkan pernah mengenal arti terteduhi tanpa adanya daun
Mungkin bukan kesiaan karena pada nyatanya daun takkan pernah mengerti memberi tanpa ditopang ranting

Mungkin memang bukan kesiaaan …

Melainkan hanya sepenggal kisah buram yang segera berujung, sekedar sekelumit hidup yang harus berlanjut tertanam ditanah lain … walau tak lagi sepokok pohon!

Daun, ranting, tanah … , kuberandai mungkin bila diriku ranting, hanya bisa kukata pada daun belahan jiwaku,

“Ku tetap memintamu tinggal, ku tak peduli meski kita harus tertanam di … batu gersang!”

posted by kinanthi sophia ambalika @ 12/08/2005 06:13:00 PM - 9 comments

Titik Bersinar Itu telah Tersimpul

Tuesday, December 06, 2005


By Sam (23112005.20.46)
Secarik Perenungan Buat Ulang Tahun BlogFam



From : Pria@yahoo.com
Sent : Sunday, May 02, 2004 01:37 AM
Subject : Aku sendiri!


Sobatku, … aku mengirimkanmu sebuah email! Bukan untuk kau balas, karena aku tak ingin ada rasa belasmu. Biarkanlah mulut ini merancau, sekedar menenangkan rasa yang galau. Ku hanya ingin berkata. Aku disini tak ada yang menemani,…… aku sendiri……

Jujur aku malu! Teramat malu. Tak semestinya aku kirimkan email ini. Seperti kataku, aku akan berkabar bila dikota ini aku telah berhasil gapai mimpiku, mampu tunjukkan kemuliaanku. Kata yang satu setengah tahun lalu kuucap, sepertinya aku ingkari sendiri kini.

Kau ingat waktu aku pergi dahulu? Dipunggungku terpanggul kobar semangat yang tak luntur oleh derasnya hujan sekalipun. Jiwaku begitu bergejolak membayangkan segala hal baru yang akan aku jumpai di kota ini. Bayangan akan mimpi-mimpi yang akan terwujud, tajam terpahat di benakku. Menepiskan logikaku akan kenyataan bahwa sebenarnya aku tercerabut dari akarku. Terambil dari masa-masa suka bersamamu, dan dengan mereka yang saling berbagi bersamaku. Aku kini tertanam di lahan yang baru. Tempat yang sebenarnya teramat asing bagiku. Satu tantangan besar untuk bisa bertahan dan tumbuh disini. Sobatku, kutahu kau amat kehilanganku saat itu. Hanya bijakmu yang mengantarku hingga tak ada air mata yang kau berikan melainkan sepucuk doa kesuksesan yang kau selip di sakuku tersampulkan senyum ikhlasmu.

Ternyata … Aku salah sobatku. Kota ini punya cara yang berbeda. Aku terpelanting menghadapi begitu banyak hal yang baru dan lain dari yang selama ini aku punya. Bukan hanya menghadapi berbagai persaingan dan tantangan untuk bisa memperebutkan rejeki. Bukan hanya menghadapi kesemerawutan dan hilangnya sisi manusiawi dari sebuah tata kota. Bukan pula hanya menghadapi segala benturan nurani yang tak terhindari, namun juga aku telah kehilangan satu-satunya yang aku miliki, …. sebuah kehangatan hati!

Entahlah kemana dia pergi. Yang pasti kini aku tak merasai. Rasa berbagi dan memiliki, semangat dan harapan diri juga mimpi-mimpi. Yang ada hanya beku dan mati. Betapa tidak! Setiap hari ku dihadapkan pada satu rutinitas yang sama. Berangkat pagi buta dan pulang jelang selimut tidur ditangkupkan. Menemui orang yang sama, pekerjaan yang sama, permasalahan yang sama bahkan kupastikan mulutkupun selalu berucap hal yang sama. Hingga ku tak pernah ingat lagi bilangan tanggal dan bahkan nama hari yang kulewati. Sampai kuterima SMSmu dini tadi untuk ucapkan sepenggal kata untukku, kata selamat untuk bertambahnya usiaku.

Sobatku pernahkan kau rasa gersang saat sebuah hati mati? Hati yang menyalakan mimpi dan semangatmu hingga selalu ada harap bahwa dirimupun mampu memberi arti. Memberi makna warna-warni bagi perjalanan hidupmu atau mungkin juga warna-warni bagi mereka-mereka diluar dirimu? Hati yang memberimu damai, karena disana terdapat hati lain yang selalu ada untukmu. Mendorong dan menyemangatimu kala kau terantuk dan jatuh, atau yang mendukungmu kala bahagia ada dipundakmu. Sayangnya itu semua kini mati, hanya karena dia tertanam di lahan yang tak terairi hingga dia gersang dan segera meranggas tiada nyawa lagi. Dulu aku tak pernah percayai ini. Tapi sekarang dia datang dan selalu menghantui.

Kau lihat langit malam ini, sobatku? Ada beribu titik bersinar menggantung disana. Dan aku adalah salah satunya yang bersinar redup dalam kesendirianku. Mungkin juga titik-titik bersinar yang lainpun sepertiku, merasai hal yang sama. Bisa jadi … Karena di kota ini kami bagai sekumpulan titik-titik yang dilantakkan tersebar dan terberai. Titik-titik bersinar yang menghadapi setiap tantangan hidupnya sendiri-sendiri … namun sebenarnya sama-sama merasai matinya sebuah hati.

Sobatku, … aku mengirimkanmu sebuah email! Bukan untuk kau balas, karena aku tak ingin ada rasa belasmu. Biarkanlah mulut ini merancau, sekedar menenangkan rasa yang galau. Ku hanya ingin berkata. Aku hanyalah sebuah titik bersinar diatas sana. Menggantung dalam kesendirian.


Sobatku aku akan berusaha untuk menghidupkan hatiku.

Pria

………….


From : Pria@yahoo.com
Sent : Monday, December 05, 2005, 00:07 AM
Subject : Aku tak lagi sendiri!


Sobatku …….. aku mengirimkanmu sebuah email! Untuk segera kau balas. Biarkanlah mulut ini kembali merancau, sekedar ungkapkan rasa yang tak lagi risau. Ku hanya ingin berkata. Aku telah ada yang menemani ……. Aku tak lagi sendiri.

Aku tak lagi malu untuk mengirimkanmu sebuah email sobat. Karena aku telah mampu gapai mimpiku dan tunjukkan kemuliaanku. Memenuhi janji untuk mengabarkannya padamu seperti yang aku ucap tiga tahun lalu di hadapmu.

Sobatku hidupku makin terlengkapi karena telah kuhidupkan hatiku. Tahun lalu aku berusaha mencarinya, karena aku tak ingin menyerah pada pasrah dan umpat kekesalan akan keadaan. Menyerah pada kesendirian dan sepiku. Aku mencarinya dengan ujung penaku, dengan kata-kataku yang aku simpul pada lembar demi lembar virtual yang dikenalkan temanku. Lembaran yang tak hanya aku simpan sendiri namun juga kubagikan pada yang lain. Dan perlahan lembar itu menuntunku ke tempat aku bisa mengairi hatiku, ke tempat hati-hati yang lain juga tersirami dan merasakan kesegaran. Tempat yang kembali memberi hidup pada hati kami yang semula mati … tempat yang kami panggil dengan keluarga maya.

Patut kusyukuri sobatku karena dalam sendiriku, dalam matinya hatiku aku tertuntun untuk menjumpai keluarga mayaku. Selayaknya sebuah keluarga kutemukan kehangatan dan sapa yang mencairkan beku hatiku. Hati yang menyalakan kembali mimpi dan semangatku hingga selalu ada harap bahwa dirikupun mampu memberi arti. Memberi makna warna-warni bagi perjalanan hidupku atau mungkin juga warna-warni bagi mereka-mereka diluar diriku. Hati yang memberiku damai, karena disana ada hati lain yang selalu ada untukku. Hati lain yang mendorong dan menyemangatiku kala aku terantuk dan jatuh, atau mendukungku kala bahagia ada dipundakku. Kusyukuri hatiku yang kini hidup kembali, karena dia tertanam di lahan yang selalu terairi hingga dia rindang dan segera bertunas. Dulu aku tak pernah percayai ini. Tapi sekarang dia datang dengan begitu cepat, kuamini apa yang telah terjadi.

Kau lihat langit malam ini, sobatku? Ada beribu titik bersinar menggantung disana. Dan aku adalah salah satunya yang tak lagi bersinar redup dan sendiri. Karena ternyata diantara titik-titik yang bersinar itu telah saling tertaut, tersimpul antara satu dengan yang lain. Tersimpul dalam keluarga maya untuk selalu bersama mendukung memberikan terang. Yang tak hanya bagi diri kami tapi juga bagi mereka yang lain. Kini kami adalah titik-titik bersinar yang menghadapi setiap tantangan hidup dengan tidak sendiri … dan sama-sama mensyukuri kembalinya sebuah hati!

Sobatku …….. aku mengirimkanmu sebuah email! Untuk segera kau balas. Biarkanlah mulut ini kembali merancau, sekedar ungkapkan rasa yang tak lagi risau. Ku hanya ingin berkata. Bahwa aku telah menjadi bagian dari sekumpulan titik-titik bersinar diatas sana. Menggantung dan bergandengan dalam kebersamaan. Aku ……. tak lagi sendiri!

Sobatku kuajak kau menjadi bagian dari titik bersinar dalam keluarga kami,

Pria


posted by kinanthi sophia ambalika @ 12/06/2005 08:00:00 AM - 11 comments