Debat Kusir

Sunday, November 04, 2007

By Be Samyono (04112007.23.06)

Tanah menerima terik tengah hari dengan lapangnya. Tak ada gerutu namun kegembiraan dengan hamburan debu untuk menghiasi jalanan. Perjalananku menepi di sebuah masjid seperempat jadi dengan konsep megah yang tergambar di papaan besar di depan jalan masuk. Seakan kenjadi kesialauan yang kontras bila masjid ini selesai dibangun karena pasti akan menjadi bangunan termegah yang berdiri ditengah himpunan rumah-rumah sederhana yang lebih tepat disebut gubuk.

Keriuhan yang kudengar di depan masjid bukanlah keriuhan kegiatan keagamaan yang sedang berlangsung. Melainkan kerasnya suara loudspeaker yang mendendangkan ayat suci terselingi himbauan untuk memberikan derma bagi pembangunan masjid ini. Seorang Bapak tiada henti menyerukan kebajikan yang berujung pada kesadaran untuk mengisi jaring jaring kain kasa yang memang khusus diperuntukkan untuk menangkap derma dari setiapmobil yang lewat kampong tandus ini. Terlihat ada 3 oarang yang mengacung-acungkan tongkat berjaring itu minus bapak yang melantangkan suara tadi.

Usai hadapku pada sang Khalik aku sempatkan diri untuk menghampiri kegiatan di depan masjid itu.

“Assalamualaikum!”
“Walaikum salam, ingin menyumbang pak?”

Kuletakkan uang lima ribuan yang tersisa di keranjang, ucapan terima kasihpun meluncur dari bibir bapak pembawa tongkat jaring itu. Senyumnya mengembang.

“Kurang berapa banyak lagi pak?” Tanyaku membuka percakapan.
“Ah masih kurang banyak sekali pak.” Logat sundanya kental terdengar. “sampai uangnya cukup untuk merampungkan masjid ini.”
“Bila masjid ini jadi dengan megahnya tentu akan memerlukan biaya perawatan yang besar ya pak. Kiranya nanti akan didapat dari mana pak?”
“Yah dari mana lagi kalau tidak dari kegiatan seperti ini juga,”
“Apa tidak terpikir untuk membuat masjid yang sederhana saja yang penting bisa membangun dengan biaya sendiri sekaligus nanti untuk biaya perawatannya. Tidak perlu meminta-minta seperti ini ?”
“ Loh bapak bagaimana, siapa yang bilang kita minta-minta. Tidakkah bapak lihat apa yang kami kerjakan disini juga termasuk bekerja. Kami pun bahkan sudah mengorbankan waktu dan tenaga kami untuk mendapatkan uang sumbangan itu.” Timpal bapak itu berapi-api. “Jadi satu hal yang salah bila bapak bilang kami meminta-minta, karena disinikamipun bekerja!”

Aku tak tahu lagi apakah harus meneruskan perdebatan atau cukup mundur dengan pemakluman. Mengingat kesalahan sudah dicarikan jalan pembenarannya. Yang kutahu aku bukanlah sesama kusir kuda yang siap diajak berdebat untuk mencari pembenaran. Karena aku yakin ada logika dan hati nurani yang jelas patokan salah-benarnya tanpa perlu didebatkan! Dan akupun yakin bukan rumah seperti ini yang Tuhan ingini!.

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/04/2007 11:51:00 PM -

6 Comments:

Anonymous Anonymous said...

ia mas... bener banget...

9:47 AM  
Blogger JualannyaSaya said...

di lema memang mas..

10:07 AM  
Blogger mamat ! said...

ketika sebuah pembenaran sudah terjadi, agaknya sulit untuk menunjukkan kebenaran yang sebenarnya.

Good writing Bro

11:57 AM  
Blogger ardhi nugraha said...

wah mas, aku jadi ingat tuh banyak bgt orany yg meminta sedekah dengan mengatasnamakan Islam. ada yg lebih tragis, ada yg turun ke jalanan terus mereka pake mobil, anggotanya meminta sumbangan dri door to door...

Smoga yang Kuasa menunjukkkan jalan buat mereka. amien

2:09 PM  
Blogger retnanda said...

hahahaha...
ketawa saja lah
makanya juga saya tidak antusias kalau ada orang yang minta sumbangan atas nama pembangunan masjid...
siapa juga yang nyuruh mbangun masjid gede gede... tp ndak punya uang.....
bikin malu aja...
ya to...

8:15 AM  
Blogger Siti Nurbaya ( Hanny Wang) said...

Iya, Mas. Di sini juga banyak yang begituan...

4:40 PM  

Post a Comment

<< Home