Surat Tertanggal 21 Agustus 2006

Wednesday, September 13, 2006

By Sam (13092005.11.56)
Langkahku


Sepagi ini rutinitas workshopku telah dibesut. Aku sudah tersungut di depan komputer mengirimkan desain, membalas berita di milis dan mengkonfirmasikan order ini dan itu. Kubatasi untuk tak mem-forwardkan berita tak jelas dan tak bertanggung jawab apalagi sesuatu yang meresahkan. Sesekali kutengok Friendster dan Blog di window lain juga berita-berita dari detik.com. Aku tenggelam dalam dunia pagi yang terjadwal.

“Pak sam di sini ya pak?” Pak pos membuka pintu sembari bertanya tak pasti.

Aku mengangguk menerima uluran amplop coklat dengan prangko yang hampir memenuhi permukaannya. Tertulis namaku disana.

“Oh... habis disini tertulis no. 94 sih, saya bingung dan muter-muter dari tadi”

“Ini bukan 94 pak, ini betul tertulis 9A!” Ucapku membela tulisan tangan yang agak sulit terbaca. Hingga terlihat samar A menyerupai angka 4.

Pak pos enggan kembali protes, wajahnya saja yang terlihat tak terima. Senyum kecilnya mengambang meninggalkan aku yang memulaskan pertanyaan, siapa pengirim surat ini. Dari alamat belakang mengingatkanku pada rekan yang jauh mengejar bintangnya di belahan dunia sana. Alamatnya masih tetap meski terlihat dia telah mempunyai nama populer disana, itu yang beda. Tapi kenapa berberita dengan surat?

Tuturnya yang runtut di 2 lembar goresan tinta tangannya mengabarkan banyak hal yang cukup cepat dan mengerti aku baca mengingat tulisan tangannya lebih jelas terbaca daripada tulisanku yang sangat personal (dalam arti hanya aku yang bisa membaca tulisanku sendiri). Namun kembali pertanyaan itu kembali mengiang. Kenapa berberita dengan surat surat? Aku tak bosan membolak-balik surat yang goresan akhirnya mulai tak seindah dan sekonsisten di ujung paragraph. Surat ini terkirim 12 Agustus lalu! Itu sebulan yang lalu!.

Aku tak ingat kapan terakhir aku berkirim surat dengan tulisan tanganku sendiri. Surat ke Ibu Bapakku yang tiap minggu kukirimkan dulu tergantikan dengan telpon yang lebih cepat mengobati rinduku dan memulihkan terantukku. Juga surat untuk sahabat-sahabatku, terhenti tergantikan dengan email yang lebih cepat, lebih singkat dan lebih masal. Bahkan untuk kartu kartu ucapanpun telah tergantikan dengan pesan-pesan singkat SMS yang kembali, murah meriah, cepat dan tersedia template-nya. Wajar bila akhirnya jariku lebih lincah menari diatas 26 tombol huruf dan 10 tombol angka daripada menarikan ujung penaku diatas kertas tak berisi.

Pertanyaanku mengenai kenapa berberita dengan surat? Lebih mengacu pada tanyaku akan pilihan rekanku yang berkabar dengan surat goresan tangan bukan media lain yang lebih cepat, murah dan lebih banyak dipilih orang. Waktu memang tidak memberikan jawab padaku. Namun di sisi lain aku cukup salut seorang rekan mengirimkan usahanya secara personal. Tak sekedar berita masal yang hanya digantikan “teruntuk”nya. Juga bukan kata instant yang bertukar tanda tangan. Namun justru tulisan tangan yang menunjukkan usaha dan kejujuran bertutur. Meski itu sangat merepotkan meski itu butuh kesabaran untuk terbaca dan terdengar.

Tak terasa ini menggelitikku. Di era yang serba instant, serba cepat dan massal ternyata ada kalanya perlu sesuatu yang personal. Sesuatu yang berbeda dari kerutinan. Sesuatu yang menunjukkan usaha dan kejujuran kita. Bahwa relationship yang kita bina bukanlah sesuatu hal yang instant semata. Dan bukan sekedar template untuk di copy dan paste. Tetapi sesuatu yang unik dan special untuk setiap pribadi dan sahabat.


Terpikir untukku untuk kembali mengambil pena dan kembali belajar menggoreskan tinta. Aku akan berkabar moga tulisan ajaibku cukup bisa terbaca!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 9/13/2006 04:45:00 PM - 8 comments

Aki & Bayang Jiwanya

Tuesday, September 05, 2006

By Sam (04092005.12.47)
Ceritaku


Sungai itu bukanlah hanya tempatnya mengais rejeki. Bukan pula tempatnya menggirangkan hati dari hari ke hari. Melainkan nafas hidup dan denyut nadinya. Separuh jiwanya telah mengenyangkan perut dan mengusap dahaga anak-istrinya. Awal perjumpaan mereka sungguh indah dan menggelora. Bagai dirinya yang masih muda, bertenaga dan penuh dengan semangat, sungai itupun menunjukkan hal yang serupa. Airnya yang deras tercurah menyimpan kedalaman di bersih riaknya. Pagi datang hingga sore menjelang dia menarik sampannya diantara tali melintang dibadan sungai itu untuk menyeberangkan orang-orang dua desa yang terpisah untuk berlalu lalang. Tak ada tarif terpampang, seiklasnya tersedia kaleng di ujung tiang untuk menampung gemerincing uang logam.

Aki sungai. Begitu dirinya dipanggil. Orang telah melupakan namanya dan mengganti dengan sebutan dimana dia bergelut. Orang tidak lagi melihat dirinya yang kuat berotot menarik sampan penuh orang dalam deras arus yang dibelahnya, orang kini hanya melihatnya sebagai si renta yang tertatih menunggu calon penumpangnya dengan sabar. Orang kini mengenalnya sebagai Aki yang sendiri, yang menjadikan sungai rumahnya dan orang-orang yang lewat sebagai keluarganya.

Masa-masa indah dengan sungai ini tak lagi bisa diulang seperti indahnya bulan madu. Bukan hanya karena dirinya yang menginjak usur namun juga sungai ini. Tak ada bening dan deras yang tampak. Melainkan pekat dan kedalaman yang mulai surut. Seperti dirinya, sungai ini juga telah terlalu banyak menelan beban hidup, pahitnya nasib dan juga derita yang tak usai hingga tak hanya warna namun baunyapun bukanlah sosok yang indah untuk dipeluk.

“Aki sungai! Aki masih disini?” Sapa seorang Perempuan cantik dengan dua koper dijinjingnya meniti sampannya, “Ini Putri Ki, yang diseberang desa sana. Dulunya saya suka naik sampan Aki untuk ke sekolah. Sekarang sudah tinggal di kota. Meski sekarang sudah ada jembatan tapi saya masih kangen untuk naik sampan Aki di sungai ini.”

Aki mengangguk-angguk mengikuti kata perempuan itu yang tiada terputus. Keduanya larut dalam percakapan masa lalu sepanjang menyeberangi badan sungai. Sepenggal hati Aki merasa sejuk karena masih ada segelintir orang yang mengingat diri dan sungai ini. Masih menambatkan hati pada sampan ini. Pikirnya melarut betapa waktu telah panjang dilaluinya. Waktu yang membuatnya menjadi sosok penghubung dan pelepas orang-orang dari kungkungan tempat. Kini orang-orang telah berlalu lalang dan terbang, sementara dia tak kemana. Tertambat diantara ujung tali yang dibentangkannya, hilir-mudik tanpa beranjak dari tempatnya.

Bila hidupnya adalah panggung sandiwara, sang sutradara tidak memberinya peran utama melainkan peran pembantu yang setia pada waktu. Peran yang tidak membuatnya bermetaporfosa menjadi kupu-kupu juga peran yang tidak membuatnya dicium sang putri hingga jadi pangeran sejati. Perannya hanya bersanding dengan sungai, bayang jiwanya. Peran statis yang membuat orang lain dinamis. Telah dia hapus sesal untuk mengutuki nasib ini. Telah rela dia terima perannya akan mati tanpa nama dan tanpa diingat satu saat nanti. Namun bayang jiwanya ... sungai itu. Akankah dia mati bersamanya? Apakah dia juga berumur seperti dirinya? Hatinya tak rela sungai itu akan mati dan sekarat seperti dirinya, karena dia ada bukan untuk dirinya semata. Dia ada untuk mendampingi anak cucunya juga. Untuk menghapus dahaganya, membersihkan dakinya dan meneruskan siklus alamnya.

“Ki terima kasih!” Ucap perempuan itu sesampai di ujung tepian.

Disisipkannya kebaikan di bawah telapak tangan Aki. Aki tersenyum patah, dia berharap perempuan itu juga bisa menyisipkan kebaikan pada sungai ini.
Dan menyebarkan kebaikan ini pada yang lain. Itu saja!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 9/05/2006 01:08:00 PM - 7 comments