Aki & Bayang Jiwanya

Tuesday, September 05, 2006

By Sam (04092005.12.47)
Ceritaku


Sungai itu bukanlah hanya tempatnya mengais rejeki. Bukan pula tempatnya menggirangkan hati dari hari ke hari. Melainkan nafas hidup dan denyut nadinya. Separuh jiwanya telah mengenyangkan perut dan mengusap dahaga anak-istrinya. Awal perjumpaan mereka sungguh indah dan menggelora. Bagai dirinya yang masih muda, bertenaga dan penuh dengan semangat, sungai itupun menunjukkan hal yang serupa. Airnya yang deras tercurah menyimpan kedalaman di bersih riaknya. Pagi datang hingga sore menjelang dia menarik sampannya diantara tali melintang dibadan sungai itu untuk menyeberangkan orang-orang dua desa yang terpisah untuk berlalu lalang. Tak ada tarif terpampang, seiklasnya tersedia kaleng di ujung tiang untuk menampung gemerincing uang logam.

Aki sungai. Begitu dirinya dipanggil. Orang telah melupakan namanya dan mengganti dengan sebutan dimana dia bergelut. Orang tidak lagi melihat dirinya yang kuat berotot menarik sampan penuh orang dalam deras arus yang dibelahnya, orang kini hanya melihatnya sebagai si renta yang tertatih menunggu calon penumpangnya dengan sabar. Orang kini mengenalnya sebagai Aki yang sendiri, yang menjadikan sungai rumahnya dan orang-orang yang lewat sebagai keluarganya.

Masa-masa indah dengan sungai ini tak lagi bisa diulang seperti indahnya bulan madu. Bukan hanya karena dirinya yang menginjak usur namun juga sungai ini. Tak ada bening dan deras yang tampak. Melainkan pekat dan kedalaman yang mulai surut. Seperti dirinya, sungai ini juga telah terlalu banyak menelan beban hidup, pahitnya nasib dan juga derita yang tak usai hingga tak hanya warna namun baunyapun bukanlah sosok yang indah untuk dipeluk.

“Aki sungai! Aki masih disini?” Sapa seorang Perempuan cantik dengan dua koper dijinjingnya meniti sampannya, “Ini Putri Ki, yang diseberang desa sana. Dulunya saya suka naik sampan Aki untuk ke sekolah. Sekarang sudah tinggal di kota. Meski sekarang sudah ada jembatan tapi saya masih kangen untuk naik sampan Aki di sungai ini.”

Aki mengangguk-angguk mengikuti kata perempuan itu yang tiada terputus. Keduanya larut dalam percakapan masa lalu sepanjang menyeberangi badan sungai. Sepenggal hati Aki merasa sejuk karena masih ada segelintir orang yang mengingat diri dan sungai ini. Masih menambatkan hati pada sampan ini. Pikirnya melarut betapa waktu telah panjang dilaluinya. Waktu yang membuatnya menjadi sosok penghubung dan pelepas orang-orang dari kungkungan tempat. Kini orang-orang telah berlalu lalang dan terbang, sementara dia tak kemana. Tertambat diantara ujung tali yang dibentangkannya, hilir-mudik tanpa beranjak dari tempatnya.

Bila hidupnya adalah panggung sandiwara, sang sutradara tidak memberinya peran utama melainkan peran pembantu yang setia pada waktu. Peran yang tidak membuatnya bermetaporfosa menjadi kupu-kupu juga peran yang tidak membuatnya dicium sang putri hingga jadi pangeran sejati. Perannya hanya bersanding dengan sungai, bayang jiwanya. Peran statis yang membuat orang lain dinamis. Telah dia hapus sesal untuk mengutuki nasib ini. Telah rela dia terima perannya akan mati tanpa nama dan tanpa diingat satu saat nanti. Namun bayang jiwanya ... sungai itu. Akankah dia mati bersamanya? Apakah dia juga berumur seperti dirinya? Hatinya tak rela sungai itu akan mati dan sekarat seperti dirinya, karena dia ada bukan untuk dirinya semata. Dia ada untuk mendampingi anak cucunya juga. Untuk menghapus dahaganya, membersihkan dakinya dan meneruskan siklus alamnya.

“Ki terima kasih!” Ucap perempuan itu sesampai di ujung tepian.

Disisipkannya kebaikan di bawah telapak tangan Aki. Aki tersenyum patah, dia berharap perempuan itu juga bisa menyisipkan kebaikan pada sungai ini.
Dan menyebarkan kebaikan ini pada yang lain. Itu saja!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 9/05/2006 01:08:00 PM -

7 Comments:

Blogger unai said...

Sungai yang sekarang semakin jarang kita temui dalam keadaan bersih, bahkan kering. Semua ulah kita juga.
Kita yang merusak biota sungai..dan Aki Sungai, mungkin akan segera ganti profesi ya mas...:)

8:46 AM  
Blogger escoret said...

wadeww....kometar dulu...baru baca..hehhehe..

12:20 PM  
Blogger Sisca said...

Mas Sam, salut banget sama Aki dan wanita itu. apakah kisah nyata ????
cara menyampaikannya spt melihat sketsa ditepi sungai :)

nice post *sambil kasih 4 jempol*

4:19 AM  
Blogger ime' said...

tulisan kamu selalu membuka mata gue :)

hebat ;)

sungai mana nih??

10:17 AM  
Blogger mamat ! said...

different side of you

10:23 AM  
Blogger L. Pralangga said...

sketsa tepi sungai - sebuah moment yang nampaknya berbekas jelas dikalbu :), selalu apik dikepas dengan bahasa dan gaya yang unik.. gret posting, indeed.

12:10 AM  
Blogger Number13 said...

Aki dan wanita cantik...bisa jadi sebuah cermin bagi diri kita...apa yg sudah kita lakukan untuk sekitar kita? Begitulah... ;)

9:31 AM  

Post a Comment

<< Home