Kuntum Ketenangan
Wednesday, April 05, 2006
Secarik Cerita
“Lempar pak …. Lempar!”
Aku lemparkan koin terakhir di tanganku. Keping logam itu melayang sejenak sebelum meluncur ke laut dangkal. Berebut bocah-bocah pantai bertelanjang dada itu mengapai receh yang mulai tenggelam di dasar laut. Seketika seorang anak telah muncul di permukaan dengan keping logam tadi. Tergigit di mulutnya. Tangannya kembali melambai menunjukkan kemenangan. Serentak yang lain mulai berteriak lagi.
“Lempar terus pak… lempar!”
Kulihat beberapa penumpang melakukan hal serupa seperti aku. Yang lainnya hanya sekedar melihat dengan kesenangan. Menikmatinya. Tak lama terdengar gaung sirine kapal berbunyi memekak, perlahan ferry yang kami tumpangi mulai beringsut menjauh dari dermaga, meninggalkan anak-anak pantai berambut kusam dengan keahlian mereka menyelam. Kupandangi sebaris pulau di ujung sana, hanya perlu waktu satu jam lagi kami akan mencapainya. Tiba di Ketapang!.
Tak ada yang tak nampak indah di mataku selama keberaadaan ku di Bali lima hari ini. Pasir Jimbaran, tebing Ulu Watu juga senyum Kuntum yang selalu terkulum. Tak ada yang membuatku terisak selama lima hari ini. Keramahan budaya dewata, celoteh canda teman-teman seperjalananku dan juga tawa Kuntum yang selalu meringankan bebanku.
“Masih ada satu nih”
Secepatnya kuambil sekeping uang logam dari uluran tangan Kuntum.
“Cepat lempar…”
Seketika aku lempar koin itu sekuat mungkin melewati buritan. Pletak …! Koin tak mencapai laut. Nyaring suara koin itu justru mengenai lambung belakang kapal dan menggelinding masuk laut tanpa tenaga. Kami terbahak dengan kekonyolan ini. Tubuh ramping kuntum melenggang karena tawanya. Rambutnya berayun dalam sapa angin dan kilau matahari sore di geladak ini.
“Terima kasih!” Tatapku dalam saat kusadarai betapa berartinya dia.
“Untuk?”
“Kehadiranmu!”
Sebaris senyum Kuntum terkulum dalam rona.
………….
Kuntum mengembang saat jiwaku dalam gamang. Gamang dalam segala gelisah dan tanya. Akan makna jodoh, akan makna pernikahan juga akan makna cinta yang jauh dari jangkauku. Teramat lelah aku menjalani pikuknya sosialisasi mencari calon istri yang tak pernah ada ujung henti. Yang semuanya karam hanya dengan satu kata: tak cocok!. Apakah aku yang sulit? Demikian akhirnya aku simpulkan karena pencaharian ini tak pernah berjalan menuju titik temu. Hingga begitu susah untuk bisa mendapatkan seseorang yang bisa memenuhi keinginan sederhanaku. Keinginan untuk menjalani hidup dengan TENANG.
Kuntum merekah dengan mengisi jiwaku yang hilang sebelah. Menenangkankan gundahku dan meringankan langkahku. Aku larut dalam senyumnya dan melebur dalam tawanya yang menyamankan. Aku merasakan ada tulus dan keiklasan dia selimutkan dibahuku. Tertuntun aku untuk menjadi diriku sendiri dalam hari-hariku. Bukan menjadi orang lain atau seseorang yang dia inginkan.
………….
“Apakah kita akan bisa selalu tertawa seperti ini?” Tanyaku dalam desah.
“Apakah kita selalu bisa dalam ketenangan ini?” Tanyanya menimpali.
“Ya ... itu pertanyaan yang berulang aku tanyakan.”
“Karena kamu takut?”
“Ya takut, takut semua ini akan berubah. Takut semua tak seperti yang kita rencana dan rasakan kini.” Jawabku jujur, “Tak bisa kubayangkan bila saat nanti kita kehilangan tawa dan ketenangan ini. Kebersamaan kita hanya membawa kita dalam gersang”
Kami terdiam. Kusandarkan bahu Kuntum di pelukku. Senja mulai menggurat, burung-burung lautpun mulai riuh kembali pulang. Laut tak memberi jawaban.
“Apakah kau tahu pasti kapal ini akan menepi dengan selamat?” Tanya Kuntum pelan sambil memandangku.
Aku menggeleng tak pasti.
“Aku juga, kita juga. Tak pernah tahu apakah perjalanan kapal ini atau cinta kita akan berlabuh dengan selamat. Tapi kita punya nahkoda di doa-doa kita, kita punya sekoci di tiap niat baik kita dan kita punya keyakinan disetiap layar yang kita bentang. Semua itu bila Kuasa menghendaki, kita tak hanya bisa berlayar kearah manapun kita kehendaki tapi bisa memandu yang lain untuk melewati terjal karang hingga tak akan tenggelam,”
Kelopak kuntum kembali meniupkan sari ketenangan dihatiku. Dalam desir kulihat keyakinan di wajah Kuntum. Indah tersapa buai angin selat yang tak henti memainkan gerai rambutnya. Erat kupeluk dia. Erat sekali.
“Terima kasih!” Bisikku dalam.
posted by kinanthi sophia ambalika @ 4/05/2006 04:17:00 PM -
9 Comments:
kuntum ? ....
Hmmm perumpamaan yang bagus untuk seseorang yang mampu memberikan ketenangan.
nice post
Jadi namanya Kuntum? *peri gosip mode ON
mmmm... nice posting... she's really a nice girl i suppose ;)
beruntung dong lo bisa ngedapet'in dia ;)
*numpang lewat, gatel sih pengen kasih komen :P*
Pasti!!! ketenangan dan bahagia akan kalian raih..
ya! kamu dan kuntum mu..jaga dia agar kelak mekar dan wangi...
Mudah2an keceriaan itu akan selalu menemani hari hari kedepan.. :) Tulisanmu bener2 deh ...kalau pemusik itu ibarat ksatria baja hitam.. eh salah, maksudnya ksatria bergitar gitu lho!...jruueeng, jrueeng... :)
Aku mau mudik nih.. dah mumet kepala...!
Hugs from West Africa :)
Kuntum yang siap merekah... koin yang membawa berkah... ketenangan yang membuat pandangan di hadapan tampak lebih cerah :)
doel
Mas Sam, tak ada kata2 yg lebih indah kecuali mengacungkan dua jari jempol atas secarik ceritamu...
jujur, yang aku bayangkan ini bukan kisah asli, hanya perumpamaan.
tapi kalau memang perumpamaan, merumpamakan subyek "aku" siapa?speechless...
waaaaaaaah dalem banget postingannya
didoain semoga senyum dan ketenangan akan selalu menyertai kalian berdua, sekarang & selamanya, amin
Post a Comment
<< Home