Menjejak Bhumi Serambi

Monday, March 06, 2006


By Sam (26022006.21.02)
Secarik Langkah


Aceh, satu tempat yang sejak lama ingin aku kunjungi. Cerita tentang kebesaran dan pesona alamnya jadi satu legenda di benakku yang ingin kunikmati tiap jengkalnya. Sayangnya justru kesempatan mengunjunginya ada di saat Bumi Serambi ini berusaha bangkit dari duka. Tak dipungkiri tawaran untuk mengajar salah satu lembaga perbankan disanapun berulang kali aku pikirkan sebelum kuputuskan.

Image hosting by Photobucket



26 Februari 2006:

Perjalanan dari rumah dan hingga ke bandara Cengkareng seakan tak terasa karena lelapku. Habis subuh aku telah keluar rumah untuk mengejar penerbangan pukul 7 pagi. Terlalu pagi perjalanan ini bagi aku yang baru bisa menyelesaikan packingku pukul 1 dini tadi. Tak disangkal kantuk membuat aku terlupa HP masih di mobil dan aku tak bisa mengenali partner mengajarku yang berdiri tepat di ujung hidungku. Untungnya segalanya teratasi hingga aku duduk di kursi 17E penerbangan GA 198.

Tak banyak yang aku ingat setelah take off tepat pukul 07.00, karena aku kembali lelap. Aku terjaga setengah jam kemudian saat seporsi omelet isi páprika, perkedel daging rebus dan kentang cincang plus buah dan pastry manis diulurkan oleh pramugari. Dibalik jendela tak ada yang bisa dilihat, semuanya serba putih membias. Pesawat ini di selimuti awan. Meski posisi berada 10 ribu meter dari permukaan laut dengan kecepatan 800 km/jam Namun jarak pandang tak lebih dari 500 meter. Aku hanya bisa berdoa.

Perjalanan ini serasa makin panjang, pukul delapan belum kulihat ada sinar matahari. Sekeliling masihlah berbalut awan. Beberapa kali goncangan di pesawat membuat pilot mengumumkan kondisi dalam cuaca buruk sehingga penumpang diminta kembali ke tempat duduk dan mengeratkan sabuk pengaman. Aku hanya berharap bisa terpejam untuk melalui ini semua dan membuka mata saat pesawat transit di Medan. Tapi rasanya itu tak mungkin secepatnya terjadi masih ada satu jam lagi untuk mencapai Medan. Tak kupungkiri perjalanan ini membuat aku tak tenang dan makin lelah. Sesampai di Medan Transit di bandara Polonia tak lebih dari seperempat jam selebihnya menunggu di pesawat hingga setengah jam kemudian. Perjalanan ke Aceh yang tinggal 1 jam kembali membuatku lelap.

Menginjak Banda Aceh tak ubahnya seperti landscape beberapa kota karesidenan di Jawa. Bila orang tak mendengar musibah tsunami itu pasti tak menyangka jantung kota Aceh pernah mengalami kerusakan yang parah. Semuanya sedikit banyak telah pulih termasuk Masjid Raya Banda Aceh. Bahkan pasca tsunami ini terlihat Aceh makin marak dan ramai. Banyak mobil-mobil keluaran terbaru dengan plat Medan ex Singapore bersliweran. Perniagaanpun mulai menggeliat. Sayang sekali tak banyak ragam makanan yang bisa di cicipi dan harganyapun tak kalah mahal dibanding dengan harga Jakarta. Meski aku telah merasakan menú ayam tsunami, mie aceh dan nasi gorengnya. Tak urung hanya menú itulah yang tersedia kesehariannya.

Beruntung kami bisa mendapatkan kamar di Hotel Sulthán satu-satunya hotel representative yang tersisa. Keadaan hotel tak ubahnya dengan hotel bintang 3 di Jawa bedanya hampir semua tamu hotel adalah expatriat, media atau relawan berbagai LSM dalam dan luar negri yang membantu pemulihan aceh. Satu pemandangan yang sama saat dalam perjalanan di pesawat pagi tadi. Tak banyak yang kami lakukan begitu sampai di hotel. Lelah masih terasa. Jam tidurpun datang lebih awal meski matahari terbenam lebih lambat di bumi serambi ini.

Image hosting by Photobucket



27 Februari 2006

Hari pertama training di mulai. Training yang diperuntukkkan untuk mencetak tenaga Account Officer yang akan menyalurkan kredit bagi UKM kerjasama Perbankan Jerman dan Perbankan Daerah setempat berjalan luar biasa. Salut untuk semangat 34 peserta yang tak surut dan kritis. Kelas bener-benar hidup.

Usai training sedikit kulemaskan kaki berjalan di sekitar hotel. Disini baru terasa begitu bedanya Banda Aceh dengan kota lain di Indonesia. Kota yang menjalankan syariat Islam secara ketat ini terlihat begitu lengang karena praktis tak ada tempat hiburan yang bisa di datangi kecuali tempat makan atau toko-toko swalayan. Polisi WH yang bertugas mengontrol tegaknya syariat terlihat beberapa kali berpatroli, Siap dengan sangsi dan hukum cambuknya. Entah mengapa aku jadi kangen untuk pulang. Satu rasa yang tak pernah singgah meski aku berada di luar kota lebih lama sekalipun. Bisa jadi karena ritme disini begitu lamban dibanding kebiasaanku yang tak bisa diam.


Image hosting by Photobucket



28 Februari 2006

Baru hari ini kami berkesempatan untuk melihat dari dekat lokasi yang parah akibat Tsunami. Dengan luas kerusakan hingga 250 KM, gelombang hingga 30 meter tingginya dan korban yang mencapai ribuan jiwa bisa dibayangkan bagaimana dampak yang terlihat. Kami berjalan dari Ujung Bate, Ulele hingga LokNga. Sepanjang pantai yang masih menyisakan keindahannya ini terlihat banyak hal menggenaskan. Terlihat garis pantai yang telah berubah, tak tersisa pemukiman padat di sana kecuali batas pondasi rumah mereka, dan puing-puing sisa tsunami yang entah berapa tahun lagi akan bisa terpulihkan. Keindahan itu telah diambil Empunya. Beberapa sector terlihat barak-barak pengungsi yang diusahakan beberapa badan dunia dan bantuan beberapa negara seperti UNDP, GTZ dan lainnya. Juga terdapat rumah-rumah modul Siap bangun yang telah berdiri dengan warna cerah. Dibalik musibah ini banyak hal-hal yang luar biasa yang bisa diceritakan seperti bagaimana banyaknya masjid yang tetap utuh meski bencana begitu besar … Subbhanallah, Bagaimana Masjid Raya Banda Aceh menenangkan ombak yang datang dari pantai dan sungai di sekitarnya, juga sebuah kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang beratnya beratus ton kini tergeletak di tengah pemukiman penduduk dari letak seharusnya kurang lebih 5 km di tengah laut. DI LokNga demikian juga. Pantai yang sedemikian indah dan menawannya hanya menyisakan garis batas tsunami di dinding-dinding karangnya setinggi 15 meteran. Selebihnya puing.

Tak banyak gambar bagus aku dapatkan lewat kameraku mengingat perjalanan harus cepat karena waktu telah senja. Yang bisa aku lakukan adalah membuka jendela dan mengambil photo dari mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Tak urung beberapa obyek meleset atau miring. Beruntung hingga pukul 7 malam matahari masih nampak di sana. Menunjukkan bagaimana luarbiasanya alam daerah konflik ini.

Image hosting by Photobucket




1 Maret 2006

Rasanya satu kelegaan saat aku telah berada di Bandara Aceh yang kecil dengan penjagaan extra ketat sore ini. Tak tertahan lagi untuk menemui orang-orang yang dekat dihati dan menjalani rutinitas seperti biasa di Jakarta. Kulihat Yasu, rekan jepangku yang bekerja di kedutaan masuk ruang tunggu dan kembali ngobrol denganku. Semalam kami tertemu juga di hotel. Sangat terkejut dia mendapati kami di tempat yang sama. Hampir semalaman, banyak yang kami bicarakan mulai dari Aceh, bisnis, ekonomi hingga perkara omong kosong … politik!. Kadang penting juga untuk memberikan perspektif pandangan kita pada pihak luar seperti Yasu dimana pendapat yang bisa didengarnya adalah dari pihak pemerintah dan DPR saja.

Tak berapa lama pesawat GA 195 yang aku tumpangi telah memutar di langit Banda Aceh yang bangkit dengan semangat membangunnya. Kurenungkan begitu besarnya Kuasa Illahi. Kebesaran dan keindahan Aceh seakan tiada arti bila Dia yang memintanya. Dia yang menghendakinya kembali. Perjalanan ke Jakarta kembali transit sebentar di Medan. Cuaca sedemikian buruknya sehingga pesawat tak henti terguncang. Bagi yang phobia ketinggian sepertiku tak ada yang lebih buruk dari kondisi ini. Apalagi tak ada yang bisa dilihat diluar kecuali awan pekat dan sesekali kilat menggelegar. Jelang pukul 9.20 pelabuhan Priok dan Kepulauan Seribu telah tampak. Lega!

“Aku telah sampai, barusan mendarat” Pesan singkat kukirim pada teman dekatku
“Syukurlah. Bagaimana Aceh” Balasnya
“Aku akan banyak pertimbangkan bila akan tinggal disana.”
“Selain ritmenya pasti karena di sana tak ada tempat KARAOKE khan,”

Aku tersenyum, ya mungkin itu salah satu diantaranya.


Image hosting by Photobucket


posted by kinanthi sophia ambalika @ 3/06/2006 06:38:00 PM -

11 Comments:

Blogger nl said...

seru..fotonya seru banget..keren..!!

tapi, semua yg baru dari aceh pasca tsunami pasti punya foto di kapal yang terdampar itu ya ? mmm...

1:13 AM  
Blogger mamat ! said...

mudah2an saya berksempatan bisa kesana.
btw .. fotonya bagus2.

10:18 AM  
Blogger dahlia said...

aduh...klo maen ke tempat akang SAM...aku suka ser ser an ginih...


KAROKE...waw....kapan kitah wujudkan neh ?!!!!

SAM, rabu elo dateng ngak KOPDAR ?

muach muach salam mesrah...hey jangan kabur dong

11:07 AM  
Blogger iluvnyc said...

VERY NICE pictures!!!

4:28 AM  
Blogger isna_nk said...

kapan ya.. aku bisa kesana ? *bergumam

10:45 AM  
Blogger Lili said...

kapal laut besar yg ada di darat itu bisa jadi monumen bersejarah yah tentang kedasyatan Tsunami...

sip deh, terusin ceritanya ya Sam?

11:59 AM  
Blogger Apey said...

Kesempatan untuk berkunjung ke Aceh pasca tsunami emang bisa jadi refleksi betapa Maha Agung Allah swt dengan kekuasaanNYA. Foto2 kamu sudah bicara banyak tentang dahsyatnya bencana sekaligus keajaiban2 yang terjadi. Belum lagi nunjukkin juga semangat warga Aceh utk keep goin on this life. Bravo Sam buat reportasenya :)

2:52 PM  
Blogger retnanda said...

wah sam
muanteb temenan je tulisan njenengan

2:48 PM  
Blogger Nana said...

Salam kenal Mas Sam,

Dah lama sering baca tulisannya, alhamdulillah bagus-bagus banget, dan bisa bikin diri ngaca lho.. :).
Di Aceh keliatannya sekarang malah jadi target untuk bisnis ya? Apa bener?

*pingin singgah ke sana.. tapi jauh banget euy!*

Btw, I learned a lot from your "menjadi tangan sandaran mereka". Thanks!

Na

3:47 AM  
Blogger Sisca said...

Mas Sam, serasa ikut tour ke Aceh..nice trip report :)

1:10 AM  
Blogger yaya said...

Mas..kl blh tau gmn cara dirimu menghalau phobia ketinggian?soalnya kakak iparku jg phobia..lbh parah karena sampe sekarang gak berani naek pesawat

1:49 PM  

Post a Comment

<< Home