Mati Perlahan Ala Negeri Ini
Saturday, January 14, 2006
Secarik Perenungan
“Semir Pak?” Kudengar suara bocah di ujung pundakku.
“Kamu …. ?”
“Lho … Kakak ya?
“Ngapain kamu disini?”
“Kakak sendiri sedang apa, malam begini?
Ditengah keterkejutan kecil ini, rupanya tak ada kata jawab yang terucap diantara kami. Yang ada hanyalah saling tanya! Akh …. alangkah lucunya. Dunia begitu sempit ternyata. Biasanya bocah ini kutemui di pagi hari saat menuju kantor, di antara mobil dan motor sebelum traffic light perempatan. Dengan tangan memanggul koran, selalu diselipkan segulung pos kota di kaca mobilku. Tanpa kata dan ucap! Enam hari sekali kuulurkan uang lembar sepuluh ribu, dan selalu dikembalikannya uang seribu yang telah dia siapkan dan kemudian dia pergi. Berlalu, dan sekali lagi tanpa kata juga ucap. Hanya senyum jenaka yang ditinggalkannya. Senyum yang mengikatkan aku dengan korannya selama setahunan ini.
“Saya kan menyemir Kak kalau malam!” Jawab polosnya akhirnya meluncur.
“Aku kesini untuk makan. Jarang ada rujak cingur di Jakarta. Dan kudengar disini enak. Kamu mau?”
Kupandang bocah itu dengan tawa. Wajahnya menggeleng sedikit bergidik. Ku bisa mengerti tak banyak orang yang doyan dengan makanan khas Surabaya ini. Jangankan untuk memakannya melihat tampilannyapun pasti sudah turun selera. “Ok deh, kamu semir saja sepatu kakak!”
Wajah polos itu nampak lebih berseri. Diambilnya sepatu sledger coklat tuaku sembari diterimanya minum jeruk hangat yang kusodorkan.
“Kamu suka dengan pekerjaan kamu menjual koran?” Sedikit kusesali pertanyaan bodohku. Logikanya tak ada anak seusia dia yang akan senang terampas masa kanaknya untuk berjualan koran di antara asap kendaraan. Tapi tanya itu telah meluncur.
“Enggak sih” Jawaban yang bisa aku tebak. Namun jawaban ini tak memupuskan rasa penasaranku.
“Kenapa?”
“Beritanya memprihatinkan melulu!” Jawaban yang diluar dugaanku terdengar ringan, “Belum selesai ada wabah flu burung, ada kelaparan, ada demam berdarah, ada tanah longsor, ada banjir. Sekarang malah rame soal formalin, zat pewarna juga daging tikus.”
Kuhentikan suapanku, pikirku melayang mengikuti ucap si bocah. Yah … tahun baru belumlah lepas dari hitungan bulan tapi sepertinya bencana dan derita tak henti menyapa silih berganti. Entah apalagi yang akan menanti esok hari. Konyolnya hampir kesemua bencana adalah upah dari ulah perbuatan anak negri ini sendiri. Satu kebodohan, ketidak tahuan atau sebatas pemikiran yang hanya memikirkan kenyangnya perut belaka. Lupa bahwa masih ada hari esok lupa bahwa kita makan untuk hidup bukan sebaliknya. Akibatnya mau tak mau kita harus menerima nasib tanpa satu langkah untuk bisa memperbaiki keadaan. Karena begitu akutnya. Hingga kita seakan pasrah menerima vonis hidup kita bahwa di negri ini kematian kita akan datang perlahan namun pasti. Kalau bukan karena bencana, kemiskinan pasti karena pestisida atau formalin. Wah!
“Bukannya dengan berita-berita itu koran kamu makin laku?” tanyaku sedikit sinis memandangnya tak percaya.
“Memang, …. tapi kalau bencana ini tak ada, pemerintah pasti akan bisa memakai uangnya untuk membiayai sekolah kami. Sekolah akan gratis. Emak tak perlu menjadi buruh cuci, akupun tak perlu menjual koran hanya untuk mendapatkan uang lebih buat bayar SPP”.
Tertusuk …., itulah yang kurasakan sekarang. Sangat ironis di ulu hatiku. Akh andaikan separuh orang di negri ini bisa berfikir sesederhana itu.
“Kak?”
“Ya …?”
“Kenapa kita selalu tertimpa bencana ya?”
Tangan kecil itu mengulurkan sepasang sepatu yang telah mengkilat.
“Menurutmu kenapa?”
“Emak bilang dikutuk Tuhan ya?”
“Salah satunya mungkin,”
“Jawaban lainnya?”
“Mmm, mungkin kita lupa,”
“Lupa?”
“Lupa akan nasehat ibu, Lupa bahwa barang siapa yang menabur dialah yang menuai!”
…………………………………….
posted by kinanthi sophia ambalika @ 1/14/2006 11:36:00 PM -
10 Comments:
bencana.
kanapa tidak melihatnya sebagai ujian dariNya ?
bukannya itu artinya [negeri] kita diperhatikan olehNya ?
bencana.
kanapa tidak melihatnya sebagai ujian dariNya ?
bukannya itu artinya [negeri] kita diperhatikan olehNya ?
Setuju sekali...:) bencana adalah ujian. Tapi sepertinya kitapun mesti instrospeksi dan menyadari kenapa bencana ini kita alami? setidaknya kita mesti berusaha keluar dari bencana ini khan... berusaha agar kita LULUS dari UJIAN ini...:)
mungkin terlalu klise kalau aku bilang, "setiap sesuatu pasti ada hikmah, dan Tuhan memberikan sesuatu ujian sesuai dengan kemampuan kita".
Aku rasa berintrospeksi diri adalah cara yang cukup bijaksana untuk mencari tahu.
Semoga kita selalu dilindungi.
sedikit aja koment..
potret pendidikian indonesia yang menyedihkan..bahkan anak kecil pun lebih ingin menanyakan ttg bencana daripada ttg pendidikannya.. atau bencana sebagai "pendidikan" kehidupan yang sejati?
bencana bencana... benturan terencana (ini hanya saya iseng bikin istilah sendiri)
soalnya menurut saya, bencana datang karena akibat... entah sengaja atau tidak sengaja...
apa yang menimpa tanah air... memang akhirnya seperti sebuah kebetulan...
kebetulan banyak manusia yang 'ignorant' yang sudah tidak perduli akan lingkungan dan sesama...
jika ini berlanjut dan dalam jumlah yang lebih besar... maka jangan heran yang namanya benturan terencana ini akan terus terjadi...
great posting sam!
salam kenal dari negara tetangga... :)
Touch' story Sam :)
tukang semir sepatumu itu typical bocah yang tumbuh oleh penderitaan & perjuangan nasib hidup. Dia jadi tumbuh lebih bijak & arif...satu sisi aku salut sama nih bocah, tapi sisi lain aku jadi malu rasanya blm bisa sebijak & setabah dia dlm menghadapi kenyataan hidup yg kian hari kian terasa berat di negeri ini :(
selalu dalem tulisanmu kang...
Bencana bukan kutukan, Tuhan maha pemberi maaf bagi semua keserakahan kita.
Dia punya banyak rencana buat kita..semoga kita kuat menghadapinya..Amien
jangan lupa Tuhan itu selalu Maha, baik dalam sisi negatif maupun positif Sam...(tentu saja sudut negatif dan positif itu dari sudut pandang kita manusia)
Dia bisa jadi Maha Pemaaf, tapi kalau sudah marah bisa jadi Maha Pendendam..
Dia adalah Maha dalam segala hal...
deppp...dalem...
sebuah realita yang juga harus kujumpai setiap hari,
kerja keras untuk sesuap nasi dan pendidikan yang kembali mahal...
dan di balik sana ada mereka yang senantiasa membuang uang untuk berbotol-botol minuman keras seharga SPP 1 tahun...
ironis...
bencana itu...
Post a Comment
<< Home