Pengkhotbah Turunlah dari Mimbarmu
Wednesday, November 16, 2005
Secarik Cerita
Kuingin tak punya telinga setiap hari Jum’at, paling tidak aku ingin tuli saat sholat bersama tengah hari di masjid dekat pasar itu digelar. Kotbah yang bergaung nyaring lewat speaker itu perlahan menusuk uluku, mencabik hati dan menserakkannya hingga kutak yakin satu saat nanti akan bisa mengumpulkannya kembali untuk kuserahkan secara bersih dan utuh di hadap-Nya. Kutaktahu roda karma apa yang membawaku terlahir dalam lingkaran yang selalu berada di bawah, berkubang dengan beceknya lumpur sengsara dan hinaan. Apakah salah Ibuku yang melahirkanku dalam remang kehidupan malam dan peluk hangat lelaki yang selalu berganti. Atau salah Ayahku yang hanya punya bahasa cinta berupa belaian kasar kala mulutnya menegak minuman sehingga ibu harus berkuat hati mendamparkan diri disini. Ataukah kebodohan dan kemalasan kami sehingga kami tak bisa merangkak meninggalkan kubang ini, kubang yang orang cela dengan sebutan kemaksiatan.
Entah, jangan tanyakan itu …
Yang kutahu, diriku telah melewatkan empat belas tahun di tempat ini bersama wanita yang kusebut ibu. Menyaksikan peluh buruh gendong dan berpuluh pedagang mengais rejeki di pasar induk kota ini dengan bermacam warna hidupnya. Melihat malam mengubah tempat ini menjadi gelak tawa lelaki dan rayuan genit wanita-wanita di seling hingar musik dangdut menggoyang tubuh-tubuh yang hilang sadar. Merasakan hidupku tumbuh dan berkembang tanpa arah tujuan kecuali tujuan bahwa perutku harus terisi hari ini. Menghalalkan segala cara untuk sekedar memenuhi keinginan sederhana untuk bisa bernafas kembali esok pagi.
Salah bila dikata aku tak lelah dengan semua ini. Akupun masih mempunyai nurani … punya mimpi! Bahkan mimpiku belum usai untuk jadi bersih seperti orang –orang diluar pasar ini, seperti anak-anak lain yang bersarung dan berpeci yang tiap sore belajar mengaji. Namun kuratapi tak mudah untuk jadi putih hanya karena aku terlahirkan berwarna hitam. Tanda bayiku adalah pahatan didahi bertuliskan kata”anak sundal” yang tak bisa kucuci hingga semua teman berpeci menjauh takut ternodai dan orang tua bersarung memaki membawa-bawa dosa bapak-ibuku sembari mengucilkanku. Amat sakit menjadi orang yang berbeda terlebih untuk dibeda-bedakan. Dan itu tidak aku saja yang rasa. Berbelas teman dalam kubangku merasakannya… menerima vonis yang begitu dini.
Jum’at ini aku masih menginginkan diriku tuli karena aku akan lebih banyak berteriak. Berteriak di depan rumah Nya pada mereka-mereka yang berkotbah menyerukan kebenaran. Berteriak lebih lantang untuk meminta mereka turun … turun dari mimbar dan kenyaringan suara mereka yang hanya bisa melihat dunia sebatas dua warna, hitam dan putih. Kan kuajak dan kugandeng mereka turun mimbar untuk melihat diluar masjid … dikubangku. Dimana warna abu abu telah menjadi hidupnya hati kami. Ku ingin tunjukkan bahwa sebenarnya aku dan teman-temanku juga mereka yang disebut sundal tidak perlu telinga untuk mendengar semua kotbah dan hujatan mereka. Karena sebenarnya kami masih punya hati nurani untuk menimbang dan mengerti.
Karena yang kami butuhkan sebenarnya adalah tangan-tangan mereka untuk merengkuh dan memeluk kami dengan kasih dan menuntun kami pada jalan seharusnya kami lalui. Dan yang kami butuhkan adalah keikhlasan memandang diri kami sebagai kaum sesaudara yang rindu juga disebut saudara seiman. Berdayakan kami agar perut kami selalu bisa terisi hingga telinga kami bisa kembali terbuka dan lebih mudah untuk mencerna bahasa religi yang diberi. Tak ada guna kau jejal telingan kami dengan ancaman-ancaman berbuih hila hati kami tak pernah tenang makanan apa yang bisa hinggap di mulut kami esok hari. Jangan jadikan kami orang-orang yang bangga sebagai penerima zakat ataupun sedekah karena kami lebih punya harga diri bila kail lah yang tersodori.
Pengkotbah …. aku menunggumu untuk menatap kami. Bentuklah kembali kami dengan tindak nyatamu bukan hanya dengan kata-kata masyurmu. Pimpin kami dengan ilmu dan cermin tingkah lakumu. Sesungguhnya kamu yang dimuliakan dan bergelar penyembuh. Tempatmu bukanlah bersama mereka yang bersih dan sehat semata namun seharusnya ada ditengah kami …. yang kotor dan yang SAKIT!!!
posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/16/2005 02:38:00 PM -
11 Comments:
Seandainya aku punya 5 ibu jari untuk diacungkan, maka semuanya untuk kamu Sam.
Setelah Seno Gumira, Umar Kayam, Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu, aku rasa you're my favorite author.
A very deep story, either it's real or not, but it still a very gorgeus story.
Salut dan semoga keberadaan mu selalu membawa kebaikan.
Sam.. jgn berhenti menulis... karena rangkaian kata yang kamu susun, mengisi batin hingga mengendap direlung hati setiap orang yang membacanya...terima kasih Sam... - Bellu -
Yang jelas..aku merinding baca cerita ini..
Yang jelas...cerita ini bermakna dalem banget..
Yang jelas...aku kagum sama yg nulis cerita ini..
if 1 day u release a novel, don't forget to send it to me ya!
superb!!
To:
Mamat-Bellu-Yaya & Catty: (terima kasih banget ya buat apresiasi dan komen-nya.
Sukses moga ada di kita semua
Iyaahh yah mas. Kadang orang cuman pinter ngomong tanpa disertai tindakan nyata. NATO!...:D
To chris: Itulah yang menyesakkan....chris!
dilematis .....
I like your senses dude!, don't stop writing!! Four thumbs up buatmu Sammy!
menggelitik dengan baik pak...=)
menjawil relung hati dan membuat kaku ledah yang kadang bicara tanpa berpikir lebih dalam ini...
hehehe...
To Isna: sangat dilematis jeng
To Unai: Again...many tx
To Gita: mari kita berikan pesan yang sama bagi pengkotbah lainnya
To Berubah: kita jawil mereka lagi yuk :)
Post a Comment
<< Home