Pulang

Wednesday, November 09, 2005


By Sam (09112005.19.35)
Secarik Cerita

Mungkin dengan harapan aku dapatkan kemuliaan di kemudian hari, Ibu menamaiku ... Muliawan. Mungkinpula hanya harapan yang bisa Ibu berikan mengingat begitu papa dan kekurangannya kami semenjak Bapak pergi. Entahlah ... tiada jawab diberi. Kutak pernah tanyakan apapun mengenai hal ini. Telah berlaksa beban di pundak Ibu. Ku tak bisa yakinkannya untuk sedikit berbagi denganku. Bantuku hanyalah dengan menawarkan secuil pengertian dengan menelan semua kenyataan tanpa ada tanya … tanpa ada suara. Supaya Ibu tak menoleh kebelakang dan melinangkan bening air matanya, setidaknya supaya Ibu tegar menatap kedepan, selalu berbesar hati dengan harapnya.

.............

“Pir ... kiri, kiri!” Lantang ibu tua yang duduk disampingku berteriak nyaring.
Tak hanya sopir angkutan desa yang kami tumpangi saja yang menghentikan mobil kijang bututnya. Namun juga lamunanku terhenti karenanya. Tersadar aku masih berada diparuh jalan ke Karang Pandan, dusun kecil di kaki pegunungan Kendeng tempat hampir separuh hiduplah telah aku lewati. Sekilas dari balik jendela kulihat jalan penghubung ini masihlah sama dengan jalan yang 12 tahun lalu aku tinggalkan. Pinus masih mengapitnya dan hamparan bebatuan masih melapisi permukaannnya. Kutak berani membayangkan apakah orang-orang disana akan juga sama seperti mereka yang aku kenal dulu.

Pastinya kepergianku dulu meninggalkan Karang Pandan bukanlah tanpa satu alasan. Kepapaan kami, kepergian Bapak dan kejandaan yang disandang ibuku ternyata diterjemahkan sebagai satu noktah kotor yang hanya menjadi debu bagi mata penduduk lain. Beda yang kami punya bukanlah keindahan melainkan senilai dengan cemooh dan hinaan. Sejak mula kakiku sudah hendak berlari karena telingaku terlalu tipis untuk mendengarkan hingarnya kata menyayat. Namun Ibu merantai kakiku. Selalu dibisikkan kata. “Kenapa kau lari, mungkin badanmu bisa pergi tapi hatimu ada disini!”

Kesempatanku pergi tiba bersama dengan terpilihnya aku untuk melanjutkan sekolah dengan dana bea siswa di ibukota propinsi. Usaha keras yang bukan saja lahir dari tekatku tapi juga dendamku. Malam itu aku mengemasi beberapa lembar baju, dan dalam temaram sorot bilik kudatangi pangkuan Ibu.

“Ibu aku bisa pergi sekarang”
Ibu tersenyum kecil. Memahami pencapaianku.
“Bahkan mungkin juga berlari, ... ibu kenapa kau tidak ikut denganku”
Ibu hanya menggeleng kecil.
“Karna menunggu Bapak kembali?”
Kembali ibu hanya tersenyum “Tidak anakku”
“Lalu ...?”
“Ibu telah merantai kakimu dan menaruh hatimu disini. Ibu sendiri yang akan menjaganya”
“Tapi ...”
“Pergilah anakku, dan ingatlah untuk kembali!”

Pengembaraanku hanya membawaku untuk kembali menengok ibu setahun hanya dalam hitungan sebelah jari tangan. Terlebih begitu Ibu berpulang. Aku merasakan ikatan yang ibu talikan menjadi semakin lengang. Kepulanganku tak lebih dari sekali dalam setahun untuk mengunjungi pusara Ibu. Selebihnya aku kembali berlari dengan hati yang luka, dengan sayatan dendam yang makin mendalam. Perihnya ingatan akan masa kecilku membutakan keinginanku untuk berhenti berlari dan pulang.

Dua belas tahun berlalu dengan pedihnya kata Karang Pandang bila disebutkan. Tersiakan kehidupan yang lebih baik aku dapatkan karena ingatan akan hal lalu tak bisa terhapuskan. Mau tak mau Karangpandang selalu mengusikku. Benar ternyata ikatan yang longgar hanyalah dugaanku semata. Nyatanya meski badanku bisa berlari tapi hatiku masih tertinggal. Aku putuskan untuk pulang!

..........

Tahun ini untuk pertama kalinya aku pulang saat lebaran. Menegok hatiku yang telah Ibu taruh dan jaga. Dan baru kali ini aku mengerti kenapa Ibu bersikukuh merantai kakiku dan mengikat hatiku disini. Bukan agar satu saat aku bisa kembali untuk menunjukkan kemuliaanku atas apa yang kini aku raih dan punya.

Tapi ...

Untuk memberikan kemuliaan melalui sebait maaf yang kupunya! Memaafkan masa laluku untuk memuliakan langkah-langkahku ....

Image hosted by Photobucket.com

posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/09/2005 10:11:00 PM -

10 Comments:

Blogger unai said...

uedan...nek sing iki fiktif po ora yo?...apik tenan...Kon iku mangane opo Rek!

8:05 AM  
Blogger unai said...

pisan meneh ah!
langkah tercekat, seakan ingin kembali menoleh, melihat hati yang yang telah lama ditinggalkan,Akupun begitu...meski tlah lama meninggalkan kota kecilku, namun hati dan kaki seolah terpasung...ingin kembali, sekedar mengurai berjuta kenangan...Luv.. yang ini bener2x menyentuh...cieee..tengkyu

8:10 AM  
Blogger john hendra said...

wah maaf lahir bathin ya sam, agak telat nih sam..mudik nya asik ya sam...have nice day..

6:24 PM  
Blogger isna_nk said...

mas Sam dari karang pandang? kalau ndak salah aku pernah lewat... kalau ke Sambirejo or pemandian air hangat Bayanan lewat ndak? aku pernah kemah di Sambirejo 5 hari thn 90-an. di pasar hewan itu :D bunga mawarnya besar-besar :) banyak bukit ..

10:52 AM  
Blogger kinanthi sophia ambalika said...

Wah Bu ini bukan kisah nyata apalagi otobiografi... ini sekedar rekayasa cerita... orang bilang cerpen gitu. Kalo nama nama-namnya hanya aku ambil dari tempat2 yang kebetulan terlintas dalam benak :)

Boleh deh kapan2 ke sambirejo..photo2 lage ya ..tetep!

12:51 PM  
Blogger yaya said...

Hiks..sedih ceritanya.

6:19 PM  
Blogger mamat ! said...

Ketertegunan ku tersudut pada gambaran bahwa hidup ini penuh liku dan warna.
Membaca rangkaian kata yang tertulis, membuat ketertegunan itu semakin dalam.
Semoga segala kebaikan selalu bersamamu.

8:17 AM  
Blogger House of Covenant said...

eh, ibunya romantis banget merangkai kata..jadi terharu.

Niwei, selamat lebaran ya..maaf lahir batin :)

1:14 PM  
Blogger mamat ! said...

This comment has been removed by a blog administrator.

9:08 AM  
Blogger mamat ! said...

Sam...kenapa KLA sampai bilang "...ijinkan aku utk selalu pulang lagi, bila hati mulai sepi tanpa terobati.." Saat batin mulai terasa sepi.. sering kali tempat menjadi "obat"... itu sebabnya mgkn kita harus pulang Sam.. -Bellu-

9:10 AM  

Post a Comment

<< Home