Agustusan Agus

Wednesday, August 16, 2006

By Sam (15082006-16.46)
Ceritaku


Kaki kecil itu baru berumur 7 tahun, kurus, kotor dan tidak berbalut alas. Kaki itu gontai menyangga tubuh yang kering berhias rambut kusut kemerahan tak terurus. Kaki itu milik Agus … bocah pinggir kali yang menjadikan perempatan sebagai tempatnya mengais rejeki. Berbeda dengan hari kemarin atau sebelumnya, hari ini kaki Agus telah berlari kian kemari, menyusup dan melompat-lompat. Membawa dirinya berbaur dengan teman-teman jalanannya dilapangan.

“Bu … Bu sini!” Teriaknya nyaring bersemangat, tangannya melambai memanggil “Agus ikut lomba itu ya”

Dari jauh wanita yang telah layu dari umurnya mengangguk dengan senyum kawatir. Bakul dagangannya disangga dengan payah mengikuti si kecil semata wayangnya. Telah 3 lomba Agustusan telah Agus ikuti sejak pukul 2 siang tadi. Juara ke dua lomba memindahkan kelereng dengan sendok pun telah di menangkannya. Tapi hatinya tampak belum puas. Wanita itu mengerti hadiah bukan segalanya, bukan tujuan anaknya juga teman-teman sebayanya hingga bersikukuh untuk mengikuti setiap lomba. Tawa dan kegembiraan inilah angan mereka. Tidak setiap hari mereka bisa bermain dan memenuhi kebutuhan mereka sebagai anak secara layak karena kehidupan jalanan telah merampasnya. Kemiskinan telah menjadikan tepukan tangan mereka terjual demi receh rupiah demikian juga dengan suara dan raut muka mereka.

Satu berkah setahun sekali bila kampung ini tahun-tahun belakangan selalu mengadakan perayaan Agustusan dengan melibatkan anak-anak pinggiran yang tinggal dilapak-lapak pinggir kali. Setidaknya ada harapan bagi orang-orang seperti Ibu Agus untuk melariskan dagangan sebelum usai perayaan, ada kesembatan untuk mendapatkan jatah konsumsi beberapa kotak jajan dan yang tak bisa ditukar adalah senyum riang anaknya yang menikmati Agustusan, yang lepas sejenak dari terik dan asap perempatan.

“Bu ... Bu ... Agus menang lagi” Teriak Agus kembali nyaring menembus telinganya, wanita itu tersenyum bangga membalas kabar dari mulut mungil anaknya. Dari kejauhan terlihat Agus cepat menghilang dibalik kerumunan, menembus sorai dan tawa orang-orang yang tumpah. Bendera plastik merah putih yang kemarin ditemukannya di emperan took melambai tak lepas dari genggamnya.

# # # # #

“Bu ...”
“Apa ... ?” Sahut wanita itu pelan, tangannya menyusur kaki anaknya yang terbaring di ranjang beralas tikar dan kardus, memijatnya.“Capek ya?”
“Mmm ... tapi Agus senang kok Bu” Ujarnya. Tangan kecilnya tak lepas memainkan bendera plastiknya yang mulai lusuh.
“Karena menang 2 lomba khan ... anak ibu memang hebat. Beruntung ya hadiahnya alat tulis. Nanti Agus bisa memakainya di sekolah”
“Ya sudah gitu dapat banyak makanan lagi dan Agus tak perlu ngamen hari ini” Kata Agus polos meluncur.

Wanita itu terdiam mencoba membiasakan sesak ketidak dayaan yang hinggap.


“Kenapa ini semua hanya ada di Agustusan ya bu, apa sekalian merayakan ulang tahun Agus?”
“Khan Agus tahu kalau di bulan Agustus bulan dimana kita merdeka,” Terangnya sembari beringsut merebahkan badan disamping anaknya.
“…………………….”
“Kenapa melamun begitu?”
“Enggak … Agus hanya membayangkan kalau kita merdeka di bulan Januari, Februari, Maret dan semua bulan lainnya. Pokoknya merdeka tiap bulannya deh. Mungkin kita tak akan susah begini ya Bu. Agus pun tetap bisa bermain dan meninggalkan perempatan tiap bulannya tanpa harus menunggu Agustusan tiba.”

Wanita itu menghela nafas panjang mendengarkan angan anaknya yang polos. Air matanya tak terasa berkaca. Rasa bersalah dan tak berdaya memeluknya dengan erat.

“Bu apa kita tidak bisa merdeka tiap bulannya?” Tanya spontan Agus. Ditatapnya mata ibunya, “Bisa tidak Bu?”

Kembali wanita itu tak bisa menjawab air matanya mengalir perlahan.

“Ibu jangan menangis … maafkan Agus yang banyak meminta” Dipeluknya badan wanita itu dengan tangannya yang mungil. Pelan dibisikkannya, “Doakan selalu Agus ya bu … biar kelak Agus bisa membawa kemerdekaan tidak hanya tiap bulan tapi tiap hari. Untuk Ibu,”

Bisik itu begitu pelan … pelan sekali terdengar ditelinganya. Sepelan keraguan dan ketidak pastian hidup yang mulai wanita itu rasakan menggantung dan datang.

Karena esok Agustusan telah usai.
Karena esok tak ada lagi kemerdekaan.

posted by kinanthi sophia ambalika @ 8/16/2006 08:33:00 AM -

7 Comments:

Blogger yaya said...

Glek,
dalem bngt. Ibaratnya, pisaunya pas bngt nancep ke hati.

5:05 PM  
Blogger mamat ! said...

Seandainya Agus bisa merasakan "agustusan" dengan lebih bebas lagi, maka kemerdekaan itu telah manjadi hak semua manusia.

what a deep story ....

1:13 PM  
Blogger unai said...

Memang banyak sekali anak anak yang merasakan kegembiaraan Agustusan yang tidak didapatkan di bulan lain. Agustus bulan perayaan. Semoga bukan hanya tradisi. Gus!! kamu bisa kok Januarian, atau Junian..jangan di pinggir jalan terus ya ;)

11:16 AM  
Blogger Yunus Idol said...

meskipun cuma sekali dalam setahun, yang terpenting agustusan selalu membawa senyum di wajah agus.

8:46 AM  
Blogger ime' said...

aku nangis bacanya...

11:18 AM  
Blogger Sisca said...

Biarlah Agus mananti,
walau cuma setahun sekali,
karena menunggu bisa melahirkan impian dan siapa tahu impian itu suatu hari jadi kenyataan :)

6:27 PM  
Blogger retnanda said...

Kita memang belum merdeka.....
Negara ini masih belum merdeka...

2:47 PM  

Post a Comment

<< Home