Sandal Bututku di Hari Jum’at

Tuesday, March 28, 2006



By: Sam (28032006.09.58)
Secarik Perenungan



Jarum jam dinding di kantorku berlarian serentak hampir ke angka 12 tanpa aku sadari.
“Mas Jum’atan yuk!” Ajak Iwan karyawanku sembari mengingatkan.
“Emang jam berapa sekarang?”
“Tuh … lihat!”
Bergegas kumatikan PC-ku begitu jam dinding aku tengok. Tangan kananku bergerak melepas sepatu untuk kuganti dengan sandal butut. Kegi … bener-bener tidak masuk akal. Mestinya aku menghadap penciptaku dengan segala yang terbaik. Termasuk juga halnya dengan urusan alas kaki. Tidak dengan kebututan seperti ini. Tapi apa boleh buat. Aku jadi ingat satu kelakar kecil yang kudengar beberapa tahun lalu “Kenapa di masjid tak ada piano?” demikian tanya teman muslimku. Saat kumenyerah tak bisa menebak dengan enteng dia bilang “Boro-boro ada piano, sandal saja hilang!”… duh pahit!

Sandal butut itu seperti minggu-minggu lalu aku umpetkan di balik meja meskipun sholat jum’at ini ada di aula BRI Sudirman lantai 21 yang bisa dikata “bebas Pencurian”. Tapi bagaimanapun aku tak mau ambil resiko, mengulangi untuk bertelanjang kaki saat kembali ke kantor seperti 2 bulan lalu. Sandal itu kuletakkan di tempat tersembunyi dan tidak terjangkau. Kupikir benar-benar beruntung nasib sandal bututku itu kini. Tak disangka akhirnya aku menyadari amat membutuhkan si butut kusam ini meski berulang aku berniat untuk menggantinya dengan yang lebih baru. Yang modis, yang tidak membuat kakiku malu.

Sandal memang beda dengan relationship. Amat beda memang meski kadang aku ingin sekali memperlakukan beberapa relationshipku seperti sandal. Menggantinya, membuangnya ke tong sampah, melemparnya ke anjing atau menyembunyikannya di sudut-sudut pengap. Terlebih bila dia seringkali membuatku jengkel, marah, terhina plus ditambah pemahamannya telah butut. Kuingat tahun-tahun lalu, betapa rapuhnya kemampuanku untuk bisa memikul beragam relationship. Membuangnya … itu hal yang paling mudah aku lakukan bila dia tak lagi membuat nyaman hatiku. Hingga satu waktu aku diingatkan. Disadarkan bahwa memperbaiki lebih baik daripada meninggalkannya. Disadarkan betapa beragamnya bentuk relationship yang ada. Tak perlu di gugat tak perlu disanjung. Biarlah dia begitu adanya. Mengalir, diterima, tumbuh dan disyukuri. Seperti juga sandal bututku ini.

Adzan telah lama dikumandangkan penceramahpun telah naik ke mimbar. Berulang dudukku beringsut karena beberapa jema’ah terlambat datang duduk menyela. Kurasa aula ini menjadi makin sempit. Sempit karena makin banyak dan banyaknya jama’ah. Entah kenapa. Bisa jadi karena penceramah setiap jum’atnya selalu berkualitas, atau mungkin juga karena tempatnya ber AC. Satu benefit yang cukup sebanding dengan lamanya mengantri lift atau capeknya membajak lift dengan turun ke lantai 15 dulu bila pulang. Semua itu mungkin.

…………..

“Kenapa Mas?”
“Sandal gue mana ya Wan?” Gunamku celingukan.
“Emang di taruh mana tadi Mas?” Iwan tak kalah bingung
“Biasa diumpetin disini,” Ujarku jengkel, “Pasti deh ada yang memakai buat wudhu trus gak dibalikin lagi. Uh, udah pinjem gak bilang-bilang ... eh gak dibalikin lagi. Gak ada terima kasihnya!’
Kulihat Iwan sibuk membantu nyari di sela-sela orang-orang yang beranjak pulang meninggalkan aula. Aku sendiri makin dongkol dengan gerutu berkepanjangan. Tak kebayang jika harus kembali bertelanjang kaki.
“Nih kali Mas...!” Tangan Iwan melambaikan sebuah sandal.
“Yang kiri?”
“Tuh kali ...” Tunjukknya.
Benar sebelah sandalku terlempar 5 meter dari bagian kanannya. Dan kerdua-duanya begitu jauh terpisah dari tempatnya semula.
“Bisa-bisanya sampai disini!” Aku masih tak bisa menenangkan kejengkelanku. Kamipun surut pergi turun ke lantai 15 untuk membajak lift.

Konyol ... kenapa aku begitu terbakar hanya karena perkara sandal bututku. Ini wujud rasa kepemilikanku hingga takut kehilangan atau murni cercaan bertubi terhadap kebodohan orang yang memakai sandalku tanpa ijin dan tanpa dikembalikan. Entah. Yang pasti akhirnya aku terbahak sendiri karena ketulianku ini. Tuli untuk bisa mencerna ceramah yang baru saja aku dengarkan. Belum ada setengah jam lalu aku mendengar bahwa untuk menjadi bahagia kita dianjurkan untuk mengingat dua hal: MELUPAKAN kebaikan-kebaikan yang kita perbuat dan MELUPAKAN kesalahan-kesalahan orang lain terhadap kita. Sederhana sekali. Namun nyatanya detik ini juga aku telah memilih untuk MENGINGAT kebaikanku dengan meminjamkan sandal butut itu, aku memilih MENGINGAT kesalahan orang yang meminjam sandalku, dan ternyata aku memilih untuk TIDAK BAHAGIA! Akh……. Cukup bodoh aku melihat diriku mengambil pilihan yang tidak tepat. Aku tersadar.

“Kenapa mas jalannya begitu?” Tanya Iwan curiga saat kami keluar dari lift.
“Sandalku!”
“Kenapa lagi?”
“Penitinya lepas.”
“Butut gitu masih dipelihara sih!”
Aku hanya mengulum senyum.

posted by kinanthi sophia ambalika @ 3/28/2006 02:08:00 PM -

7 Comments:

Blogger mamat ! said...

sendal dan relationship ? menarik juga untuk diperbandingkan.

keduanya memiliki posisi yang sama, dibutuhkan oleh kita. Sendal menjadi alas untuk berjalan, dan relationship menjadi pelengkap dalam kehidupan.

Kalau bisa, jangan sampai keduanya dihilangkan, walaupun sudah rusak. iya kan ?

*another inspiring written*

2:30 PM  
Blogger yaya said...

Jd senyum2 sendiri nich baca tentang sendal. Jd inget pas umroh dulu, abangku nyimpen sendalnya terpisah (yang kiri dan kanan diletakkan terpisah), tp tetep aja ilang.

Pernah juga abis sholat di mesjid nabawi kl gak salah, sendal abangku ilang, eeeh pas jalan balik ke hotel papasan sama orang yang ngambil sendal abangku. Yg ngambil cuek aja gitu jalan, hihihihiih..

Sandal dan relationship? hmmm..

btw, itu mbak yg di header facenya bisa mirip gitu yaa? jodoh kali yeee..heheheheh

3:04 PM  
Blogger nl said...

yang butut ternyata tetap bisa memberi arti ya !?

7:33 AM  
Blogger unai said...

Gak kebayang..kamu pake sandal jepi yang ada penitinya mas..kekke...Hmmm kepemilikikan yang ruarrr biasa...emang yang butut itu nyaman kok mas :)

12:11 PM  
Blogger isna_nk said...

enakan pakai "theklek" mas ;) aseli jarang hilang, malah sering balik lagi :p

10:44 AM  
Blogger -ndutyke said...

Kenapa ya, meninggalkan barang di mesjid aja kok ya suka diambil?? jadi serba salah kan kita jdinya. Pake barang bagus ntr bawaannya parno dan suuzhon. Pake yang jelek, koq yo sawangane ke mesjid malah pake sing elek2..
nah piye kiy ;)

10:32 AM  
Blogger Linda said...

ngomongin soal sendal jadi inget waktu lagi wisata rohani ke daarut tauhid bandung, waktu lagi acara silaturahmi sama Aa Gym & Teh Ninih otomatis semua yg ikut acara itu tumpah ruah di tempat yg disediain. pas acara selesai orang² mulai berhamburan dan sibuk mencari sendal/sepatu yg dilepas karna acaranya duduk lesehan di tiker. dan juga pada sibuk cari rombongannya utk foto bareng Aa Gym & Teh Ninih. Ternyata sendal saya hilang dan saya dg ikhlas berjalan menuju tempat foto tanpa alas kaki. waktu foto bareng Aa & istri juga bertelanjang kaki. sempet kesel juga sih waktu tau sendalnya ilang, tp kekesalannya gak berlarut karna berpikiran mungkin yg make gak tau kalo itu bukan sendalnya dan mungkin juga dia lebih perlu.

maap mas kalo komennya kepanjangan ;)

3:26 PM  

Post a Comment

<< Home