Hujanku Dulu Tidak Pergi

Wednesday, December 06, 2006

By Sam (06122006.15.11)
Renunganku


Kecilku senang memandang langit Desember. Mengharap titik-titik air turun, membasah dan menebar wangi bau tanah yang diperawani. Mengharap air turun lebih deras untuk mengisi talang-talang, menyatu lalu membentuk pancuran hingga ku bisa mandi di bawahnya bersama teman-teman kecilku. Dalam keasyikanku petir tidak akan menghentikanku tapi pelototan Ibu akan segera mengakhiri kekerasan hatiku. Kehujanan adalah kata yang tepat untuk menggantikan kata bermain hujan bila ingin selamat dari cambukan rotan. Sekerasnya Ibuku pastilah ada air panas dan selimut hangat untuk mengakhiri kegembiraanku dibawah hujan meski dengan omelan yang panjang dan berkelanjutan.

Hujan jadi teman kecilku. Rekan yang mengasyikkan dan selalu diharap kehadirannya. Tapi tidak demikian dengan Ibu. Hujan adalah musuhnya. Keluh Ibu akan segera terdengar begitu mendung memayung. Mulai dari jemuran yang tidak akan kering, bocornya atap rumah hingga repotnya berbelanja ke pasar. Meski begitu kami sama-sama sepakat hujan membawa berkat bagi petak-petak sawah kami yang tiap hari dipupuk dengan keringat Ayah. Setidaknya hujan membawa pengharapan bagi kami yang hidup dari gantungan alam.

Hujanku kini tetaplah air yang membasah, yang sama-sama menebar wangi tanah saat pertama turun. Tapi hujanku kini bukanlah hujan yang dulu aku kenal dan jadikan sahabat. Hujanku kini lebih sering menebar rasa ngeri dan tiada terkendali. Banjir disana sini dan penyakit tiada henti. Seperti Ibuku akupun sepaham untuk menjadikannya sebagai musuh, dan sama sama sepaham bahwa hujan kini tidaklah banyak membawa berkah apalagi satu pengharapan.

Kemarin hujan singgah dan bau khasnya segera kukenali. Aku ingin segera menghujatnya juga memaki sejadi-jadi. Menyalahkan atas kesengsaraan ini. Aku terantuk untuk membuka mulut saat kukenali dia hujanku dulu, sahabat yang selalu kutunggu. Tepatkah aku menyalahkannya karena pada akhirnya kusadari perubahan ini bukan karena hujanku dulu telah pergi tapi karena diriku ini yang telah lupa untuk menyambut serta memperlakukan hujan dan alam, layaknya ... sahabat sendiri.

Labels:

posted by kinanthi sophia ambalika @ 12/06/2006 04:15:00 PM -

9 Comments:

Blogger Apey said...

Hiks...disini masih pelit hujannya Sam. Tapi dilema juga sih..ngarep hujan tp kalo liat tanggulnya lumpur lapindo??!? ihhh..ngeri.. :(

11:05 PM  
Blogger mamat ! said...

saya selalu menyukai hujan, karena selalu muncul harapan bahwa tetesan airnya akan menghilangkan segala kotor dan debu.

nice post buddy !!

11:42 AM  
Blogger yaya said...

Hujan memang gak pergi mas, biarpun people come and go...

1:50 PM  
Blogger Dino said...

Saya sepaham dengan mamat. Saya juga suka ujan. Andaikan hujan bikin banjir dll, itu hanya memperlihatkan keburukan tingkah laku manusia ketika tidak ada hujan.

4:38 PM  
Blogger Unknown said...

Tidak ada kata terlambat untuk senantiasa memperlakukan hujan layaknya teman sendiri?

hmm... bagaimana dengan tanggung jawab terhadap anak cucu kita nanti? Cukuplah kita untuk tidak membuat hujan menjadi asing bagi mereka

3:15 AM  
Blogger Icha said...

wuih.. hujan seh.. romantis deh.... kayak ada tirai gitu meski emang repot.... tapi... i like it. heheheh....

palagi kalo ditemani ma teh manis anget n sup jagung... yummy banget deh.. hehehhehe

9:52 PM  
Blogger unai said...

Hujan itu indah...

9:31 AM  
Blogger ime' said...

hujan tidak pernah bersalah...

bukankah justru hasrat manusia yang dahsyat yang menggunduli hutan yang mengakibatkan banjir?

hujan tetap berkat, yang seringkali menjadi kambing hitam karena manusia tidak ingin disalahkan...

8:53 AM  
Anonymous apotekherbals.com said...

Terimakasih atas perhatiannya, semoga bermanfaat

12:14 PM  

Post a Comment

<< Home