The Break Up

Monday, August 28, 2006

Si Mars Dan Venus Yang Kehilangan Pemahaman
By Sam (28082006-09.09)
Ceritaku


Tepatnya tidak ada rencana untuk menonton film ini. Ketidak tahuan akan resensi film drama komedi yang di besut oleh sutradara Peyton Reed dan di release oleh Univeral Pictures ini menggiring benak saya untuk menyamakannya serupa dengan film-film bertema sejenis. Sebuah Chic Movie dengan segala kelucuan dan konflik yang mudah terselesaikan di ending layaknya tipikal tontonan ringan Hollywood. Ringan dan mudah dilupa. Namun nyatanya saya terpasung 105 menit tanpa terasa sembari menikmati gelak tawa dan empati yang mendalam dari masing-masing karakter. Film ini ringan tapi dalam dan sama sekali tidak mudah dilupa!.

Dibuka dengan adegan pertemuan Brooke - marketing benda seni (Jenifer Aniston) dan Gary –Pemilik & Pemandu wisata (Vince Voughn) di pertandingan base ball yang menggiring mereka pada moment-moment lanjutan hubungan mereka yang terekam lewat deretan photo-photo hingga keputusan mereka untuk tinggal satu atap di sebuah apartment. Selebihnya kita seakan merasakan tiap adegan ibarat membaca buku psikologi populer “Men Are From Mars Women Are From Venus – John Grey” (MMWV) yang menjadi book seller tahun 1992-an. Masalah kecil saat Gary membelikan 3 buah lemon dari 12 buah lemon yang di pesan Brooke saat persiapan dinner keluarga memicu pertengkaran lanjutan yang lebih rumit dan tak jelas lagi akar masalahnya hingga mereka memutuskan untuk “Break Up”.


Photobucket - Video and Image Hosting

Tergambar sekali bagaimana karakter Brooke sangat mewakili tipikal sifat dasar wanita. Satu karakter yang lebih suka bertutur panjang lebar tak berfokus, suka mengatur pasangannya, lebih dominan perasaannya bahkan disaat konflik Brookepun lebih suka membicarakan masalahnya dengan teman-temannya. Satu karakter yang kontradiktif dengan Gary yang tergambar utuh mewakili tipikal pria yang mengedepankan rasio dan berbicara dengan bahasa lugas bukan isyarat, semaunya dan akan segera menarik diri dan menyendiri bila konflik menderanya. Tipikal karakter pria-wanita yang persis dan tuntas gamblang terurai di buku MMWV.

Konflik internal Brooke-Gary makin melebar dan makin tidak sehat hingga melibatkan keluarga serta teman-temen mereka karena dipicu oleh ketidak jelasan Brooke untuk selalu menguji sikap Garry serta tindakan Garry yang mencoba balas dendam setiap ujian yang diberikan Brooke. Konflik yang makin rumit dah jauh untuk bisa diurai. Hingga “Break Up” saja tidak cukup. Mereka harus menjual apartemen mereka dan hidup terpisah. Saat mereka sadar bahwa inti masalah mereka adalah bagaimana Brooke yang ingin dimengerti dan Garry yang butuh dihargai sepertinya telah terlambat. Karena masing-masing merasa telah berada dibatas toleransi yang telah diberikan selama ini dan apartemenpun telah terjual. Kembali konflik yang membawa kesadaran akan sifat dasar kebutuhan pria wanita yang jelas berbeda dan harus saling dipahami sebagai inti dari buku MMWV jelas terurai di film ini. Dan semakin menggiring benak seakan MMWV dan Break Up adalah satu paket yang layak baca dan layak tonton.

Film ini makin menarik karena masing-masing tokoh utama bisa menghidupkan karakter dan membawa penonton untuk berpihak, tak luput peran pembantupun memberikan kontribusi yang besar karena kekayaan karakter yang diangkat. Mulai dari karakter keluarga Brooke, Gari hingga teman-teman serta Marilyn Dean bos Brooke yang eksentrik. Demikian pula dengan ending cerita yang sangat mengalir dan tidak dipaksakan membuat film ini jauh dari steriotip ending Hollywood yang biasanya berakhir dengan perayaan pelukan cium karena masalah telah usai. Dengan menyandang rating Dewasa film ini sebenarnya bisa menjadi konsumsi semua kalangan karena bobot ceritanya namun karena beberapa adegan telanjang Brooke dan beberapa model yang terambil dan tak bisa dilepas dari cerita, wajar bila ratingnya pun tetap menjadi 21 tahun keatas. Namun entah kenapa di website tertulis PG-13 tahun.

Saya belum bangkit dari tempat duduk saat Garry mengedipkan mata penuh makna ke arah Brooke yang mencuri pandang padanya sembari berjalan menjauh di adegan penutup. Terpikirkan bahwa hanya Cinta saja tidaklah cukup. Meraih cinta itu sulit tapi mempertahankannya sangat jauh lebih sulit. Mengerti dan menghargai bisa jadi kunci tapi untuk bisa selalu ingat agar bisa memahami pasangan kita sepertinya kita membutuhkan pengingat. Film ini salah satunya.


“When you remember that
men are from Mars and women are from Venus,
everything can be explained”

posted by kinanthi sophia ambalika @ 8/28/2006 11:31:00 AM - 6 comments

Agustusan Agus

Wednesday, August 16, 2006

By Sam (15082006-16.46)
Ceritaku


Kaki kecil itu baru berumur 7 tahun, kurus, kotor dan tidak berbalut alas. Kaki itu gontai menyangga tubuh yang kering berhias rambut kusut kemerahan tak terurus. Kaki itu milik Agus … bocah pinggir kali yang menjadikan perempatan sebagai tempatnya mengais rejeki. Berbeda dengan hari kemarin atau sebelumnya, hari ini kaki Agus telah berlari kian kemari, menyusup dan melompat-lompat. Membawa dirinya berbaur dengan teman-teman jalanannya dilapangan.

“Bu … Bu sini!” Teriaknya nyaring bersemangat, tangannya melambai memanggil “Agus ikut lomba itu ya”

Dari jauh wanita yang telah layu dari umurnya mengangguk dengan senyum kawatir. Bakul dagangannya disangga dengan payah mengikuti si kecil semata wayangnya. Telah 3 lomba Agustusan telah Agus ikuti sejak pukul 2 siang tadi. Juara ke dua lomba memindahkan kelereng dengan sendok pun telah di menangkannya. Tapi hatinya tampak belum puas. Wanita itu mengerti hadiah bukan segalanya, bukan tujuan anaknya juga teman-teman sebayanya hingga bersikukuh untuk mengikuti setiap lomba. Tawa dan kegembiraan inilah angan mereka. Tidak setiap hari mereka bisa bermain dan memenuhi kebutuhan mereka sebagai anak secara layak karena kehidupan jalanan telah merampasnya. Kemiskinan telah menjadikan tepukan tangan mereka terjual demi receh rupiah demikian juga dengan suara dan raut muka mereka.

Satu berkah setahun sekali bila kampung ini tahun-tahun belakangan selalu mengadakan perayaan Agustusan dengan melibatkan anak-anak pinggiran yang tinggal dilapak-lapak pinggir kali. Setidaknya ada harapan bagi orang-orang seperti Ibu Agus untuk melariskan dagangan sebelum usai perayaan, ada kesembatan untuk mendapatkan jatah konsumsi beberapa kotak jajan dan yang tak bisa ditukar adalah senyum riang anaknya yang menikmati Agustusan, yang lepas sejenak dari terik dan asap perempatan.

“Bu ... Bu ... Agus menang lagi” Teriak Agus kembali nyaring menembus telinganya, wanita itu tersenyum bangga membalas kabar dari mulut mungil anaknya. Dari kejauhan terlihat Agus cepat menghilang dibalik kerumunan, menembus sorai dan tawa orang-orang yang tumpah. Bendera plastik merah putih yang kemarin ditemukannya di emperan took melambai tak lepas dari genggamnya.

# # # # #

“Bu ...”
“Apa ... ?” Sahut wanita itu pelan, tangannya menyusur kaki anaknya yang terbaring di ranjang beralas tikar dan kardus, memijatnya.“Capek ya?”
“Mmm ... tapi Agus senang kok Bu” Ujarnya. Tangan kecilnya tak lepas memainkan bendera plastiknya yang mulai lusuh.
“Karena menang 2 lomba khan ... anak ibu memang hebat. Beruntung ya hadiahnya alat tulis. Nanti Agus bisa memakainya di sekolah”
“Ya sudah gitu dapat banyak makanan lagi dan Agus tak perlu ngamen hari ini” Kata Agus polos meluncur.

Wanita itu terdiam mencoba membiasakan sesak ketidak dayaan yang hinggap.


“Kenapa ini semua hanya ada di Agustusan ya bu, apa sekalian merayakan ulang tahun Agus?”
“Khan Agus tahu kalau di bulan Agustus bulan dimana kita merdeka,” Terangnya sembari beringsut merebahkan badan disamping anaknya.
“…………………….”
“Kenapa melamun begitu?”
“Enggak … Agus hanya membayangkan kalau kita merdeka di bulan Januari, Februari, Maret dan semua bulan lainnya. Pokoknya merdeka tiap bulannya deh. Mungkin kita tak akan susah begini ya Bu. Agus pun tetap bisa bermain dan meninggalkan perempatan tiap bulannya tanpa harus menunggu Agustusan tiba.”

Wanita itu menghela nafas panjang mendengarkan angan anaknya yang polos. Air matanya tak terasa berkaca. Rasa bersalah dan tak berdaya memeluknya dengan erat.

“Bu apa kita tidak bisa merdeka tiap bulannya?” Tanya spontan Agus. Ditatapnya mata ibunya, “Bisa tidak Bu?”

Kembali wanita itu tak bisa menjawab air matanya mengalir perlahan.

“Ibu jangan menangis … maafkan Agus yang banyak meminta” Dipeluknya badan wanita itu dengan tangannya yang mungil. Pelan dibisikkannya, “Doakan selalu Agus ya bu … biar kelak Agus bisa membawa kemerdekaan tidak hanya tiap bulan tapi tiap hari. Untuk Ibu,”

Bisik itu begitu pelan … pelan sekali terdengar ditelinganya. Sepelan keraguan dan ketidak pastian hidup yang mulai wanita itu rasakan menggantung dan datang.

Karena esok Agustusan telah usai.
Karena esok tak ada lagi kemerdekaan.

posted by kinanthi sophia ambalika @ 8/16/2006 08:33:00 AM - 7 comments

Berbagi Kekesalan Hati

Monday, August 07, 2006

By Sam (07082006-10.33)
Perenunganku

Clik-Clik …
Hp Lelaki berbunyi ditengah kesibukannnya, sebuah pesan singkat terbuka dengan maksud yang singkat pula, “ BT nih, bantu gw dong!” Lelaki terdiam sejenak. Menekan tombol off dan melemparkan Hp itu ke laci. Ditutupnya!

# # # # #

Kling! …
Sebuah private message muncul di PC. Tiba-tiba. Lelaki membaca sekilas pesan “Mau curhat nih, gak sibuk khan,” Lelaki tak membalas. “Buzz !” ketidak sabaran di seberang dikirimkan. Lelaki mendiamkan, mengganti statusnya dengan invisible.

# # # # #

Tout-Tout …
Melodi private terdengar nyaring di Hp lelaki. “Kita ketemu di resto biasa ya, hari ini menyebalkan sekali,” Lelaki mengernyitkan dahinya, membalasnya “Aku lembur malam ini”. Tuuuut tuuuuutttt ............... Telpon diputus.

Lelaki menghela nafas. Menghirup bakal sumpah serapah dan kutukan sebagai sahabat yang tidak berhati, tidak peka ... tak bisa mendengarkan duka. Sudah biasa Lelaki menjadi tumpahan segala keluh kesah Dia. Cerita duka dan selalu cerita duka yang bisa jadi jauh dari urusan dan sangkut pautnya selalu di suarakan Dia ditelinganya. Dan kali ini tidak seperti biasa Lelaki menutup hati dan telinganya. Tidak biasa Lelaki terdiam dalam kelelahan.

Selama ini Lelaki telah terlanjur dianggap oleh Dia sebgai telaga yang memiliki keluasan dan kedalaman untuk menelan apa saja. Tanpa tertumpah tanpa tergejolak. Dan nyatanya Dia lebih suka melemparkan kekusutan hati ke dalamnya daripada rona gembira. Dia lupa bila tepian dan kedalaman telaga juga ada batasnya. Ada saatnya harus ditaburkan dan dibagi cerita suka agar warna kelabu berangsur kembali jernih, tidak sebaliknya menghitam dan berlumpur.

Lelaki tak bisa memahami kenapa Dia tidak datang untuk sebuah solusi daripada berbagi kekesalan hati. Arti persahabatan dipertanyakan. Apakah layak selalu membagi sahabat “duka” padahal banyak “suka” yang bisa diberi. Padahal bukanlah lebih berharga membagi setetes gembira daripada sebongkah nestapa.

Tout .. Tout ...Tout...
“Halo ..” Suara Dia di ujung sana “Gak jadi lembur ya?”
“Gak”
“Jadi dong ke resto, Udah gak tahan nih buat curhat,”
“Kita ketemu di cafe jalan Kemang itu yuk”
“Loh bukannya disana berisik dan gak bisa buat ngobrol karena selalu ada live music?“
“Memang, tapi telingaku butuh relaksasi malam ini!”
“.............................................................”

“Tuuuuttttt tutttttttttttt ................................

posted by kinanthi sophia ambalika @ 8/07/2006 03:39:00 PM - 13 comments