Petualangan Backpacker Lombok [Part 2]

Thursday, April 27, 2006


By Sam ( 24032006.15.58)
Secarik Cerita Perjalanan Bali Lombok 12-17 April 06


Alarm Hpku mengerang tepat pukul 05.00 WITA. Aku bergegas mandi, sholat dan menyiapkan kameraku. Demikian juga dengan Mamat. Aku lebih dahulu berhamburan keluar kamar menuju Pantai yang berada tepat di depan penginapan kami. Subuh mulai merekah. Perlahan Gurat saga mulai menyemburat. Beberapa frame aku buat sebelum kehilangan moment. Aku hanya bisa bergunam kagum dengan kesemua ini. Luar biasa! Jelang matahari mulai naik kami berenam larut dalam kegembiraan untuk berfoto session. Tak tanggung-tanggung seperti saat kami tiba di Garuda Wisnu Kencana Bali tempo hari dimana serta merta kami punya ide untuk berfoto diantara karang dengan sarung-sarung yang kami bawa seadanya. Disinipun demikian, berpuluh pose terekam di kameraku. Sebagian adalah photo-photo “private collection” yang mengingatkan kami pada film baywach ala bombay. Hahhaha.

Cukup dengan pose-pose “panas”. Kami angkut semua properti kamera ke kamar dan kami ganti dengan peralatan snorkling. Hingga pukul 09.30 kami tak memperdulikan sengatan matahari untuk merasai kesegaran pantai ini lebih lama dan lama lagi. Panas matahari memberikan pantulan yang tak terkatakan disetiap kilau air dan jernihnya permukaan bawah laut. Sepertinya kami enggan untuk beranjak. Tapi apa mau dikata akhirnya aku menyerah karena tanganku sudah kemerahan sedemikian hebatnya. Perih dan gatal! Kami berlari ke penginapan untuk bilas. Kupastikan bahwa kulitku akan menghitam, gosong dan perlu berbulan untuk kembali. Aku tak peduli. Sembari menunggu sarapan yang telah kesiangan aku kembali berjalan ke dermaga untuk membuat photo, sementara rekan lain sibuk bersepeda dan Mamat membeli tiket boat untuk pulang.

Pukul 11.00 WITA panggilan kepada kami untuk segera naik boat berulang kali diteriakkan. Bergegas kami naik boat tanpa sempat sarapan yang telah disediakan. Rasanya tak cukup kunjungan kali ini. Tapi apa mau dikata Jemputan mobil charteran kami telah menuju Bangsal. Dalam gelombang sedang dan waktu menyeberang 20 menitan kami telah meninggalkan Gili Trawangan dengan bertangkup kerinduan untuk kembali nantinya.


Photobucket - Video and Image Hosting


Agak lama kami menunggu mobil charteran kami yang tak datang. Terlihat bangsal sedemikian panas dan teriknya. Kesibukan beberapa orang yang akan menuju gili Trawangan dengan Boat sangat padat. Anak-anak pantai yang kusam berlalu lalang dengan tangan di ulurkan untuk minta sedekah. Tak kepalang mereka akan mengumpat bila tak diberi uang. Sungguh menyesakkan. Beruntung mobil kami segera datang dan kami berencana menuju Senggigi dengan melalui jalan yang berbeda dari jalan yang kami lalui kemarin. Kami menyusur tepi pantai barat dengan medan berkelok dan menanjak yang tak kalah serunya. Setiap tikungan membawa kami kembali pada pemandangan teluk dan semenjung yang berpadukan gradasi biru laut yang membuat kami tak terkatup. Fantastik!

Kami tak singgah di Senggigi karena langit mulai gelap dan hujan mulai datang. Kami menuju Kampung Sade- Rambitan dimana kami bisa melihat adat dan budaya suku Sasak yang masih bertahan dengan segala keunikannya. Sayang sekali hujan belum berhenti hingga beberapa jepretan sulit untuk aku ambil. Kamipun akhirnya berlalu ke Tanjung An untuk melihat matahari terbenam. Tanjung ini ada di sebelah selatan Lombok. Berdekatan dengan Novotel Lombok. Perjalanan ke sana cukup berkelok dan sulit. Beruntung Sopir charteran kami cukup pengalaman dan tahu jalan. Menyusur hujan dan jalan liat akhirnya kami sampai di tanjung An tanpa mendapat sunset karena gerimis masih berlanjut. Sekali lagi Tanjung ini memberi warna menakjubkan. Selain hamparan karang-karangnya. Tanjung ini memiliki beberapa jenis pasir yang berbeda di setiap teluknya.

Berlanjut kami mengunjungi Desa Suka Sara tempat kerajinan tenun tangan. Sayang sekali hobyku untuk mengoleksi kain mesti tertunda karena mahalnya harga tenun tangan disini. Kamipun beralih ke Desa Karbella tempat pengrajin mutiara berkumpul. Beberapa toko telah tutup membuat kami tak banyak pilihan. Aku telah lelah dengan perjalanan panjang hari ini. Sempat aku pilihkan sebentuk cincin mutiara yang di ikat perak untuk dia yang menungguku, yang kurindui selama perjalanan. Dengan berbagai pertimbangan skenario untuk menginap di Senggigi kami batalkan. Meski harus merelakan tak bisa melihat sekawanan lumba-lumba bermain seperti perjalanan siang kemarin. Segera malam ini kami akan kembali ke Bali dengan ferry tengah malam. Bisa jadi kami tak mandi. Tapi kami berupaya untuk bisa menghemat waktu perjalanan. Beruntung sekali saat makan malam di Resto Ayam Taliwang 3eM terdapat fasilitas mandi dan sholat yang cukup bersih. Kami berkesempatan untuk mandi dan sholat berjamaah. Kesempatan ini terasa luar biasa mengingat selama 5 hari kebersamaan kami belum pernah sekalipun kami sholat berenam.

Planningku, kami kembali ke Denpasar dengan naik bus di Lembar. Hal ini akan menghindarkan kami untuk bertemu calo dan preman pelabuhan di Padang Bay nantinya. Tapi rupanya tak ada bus untuk perjalanan malam. Kamipun memutuskan untuk memikirkannya setiba di Padang Bay nanti. Kami cukup lelah. Mestinya kami beruntung karena ferry yang kami tumpangi untuk keberangkatan pukul 24.00 malam ini adalah ferry yang kemarin kami naiki. Hanya rupannya permainan calo demikian menggila sehingga upaya kami untuk mendapatkan kamar ABK nyaris tak bisa. Beruntung saat perjalanan kami kemarin kami mengenal para ABk dengan baik. Mereka akhirnya menyerahkan kunci kamar dengan pesan untuk menggunakannya setelah kapal berjalan. Duh!

Photobucket - Video and Image Hosting

Aku menghela nafas mengingat perjalanan ini terutama selama backpacker di Lombok. Moga kejutan-kejutan tak terduga itu tak terulang lagi. Cukup sudah. Tak sangka begitu banyak calo dan preman yang menyulitkan anak negri sendiri untuk menikmati alamnya. Perjalanan ini melelahkan sekaligus menakjubkan. Tak ada yang kami sesali kecuali syukur kami bisa belajar banyak dari setiap langkah perjalanan kami. Waktu yang tersisa 1 hari ini sebelum kepulangan kami ke jakarta ingin aku habiskan untuk santai di Pantai Kuta. Paten tak bisa diganggu gugat! Aku jadi tersenyum karena sejauh ini telah ada 1077 Photo di kameraku dan 150-an lagi di Kamera rekanku. Aku jadi terpikir untuk menghitung budget bila semua dicetak. Uwahhh!

# # # #

“Minggir-minggir!”
“Brenti! Hayo minggir,”

Suara teriakan dan ancaman keras itu berasal dari 2 mobil colt dan 3 sepeda motor yang memepet dan mengejar angkot yang kami tumpangi selepas kami keluar dari pelabuhan Padang Bay. Tak disangkal di tengah pagi buta, di tengah tebing dan jurang sepi begini, kami berenam bersama sopit angkot dan 2 penumpang lain diburu sekelompok calo dan preman dengan ganasnya. Kami sama-sama kehilangan nyali.

Ya Allah, rupanya kejutan itu belum putus hingga detik ini. Terlihat para calo dan preman pelabuhan yang menghentikan kami sangat marah karena kami tak mencharter mobil mereka. Jelas kami akan memilih Bus yang lebih murah daripada mencharter mobil mereka dengan harga mencekik. Tapi disaat seperti ini kami tak ada pilihan lain kecuali minta di jemput oleh sopir kantor cabang Retnani yang ada di Denpasar. Tak kepalang tanggung mereka yang bertampang sedemikian kasar dan tak bersahabat mengintrogasi kami hingga detail. Menanyakan mobil, sopir dan segala hal mengenai penjemputan kami. Mereka tak percaya. Tak sampai disitu di tengah ketakutan dan jauhnya kami dari pemukiman mereka tetap mengancam kami untuk membayar meskipun kami dijemput! Kami bagaikan disandera karena tak biarkan bisa kemana-mana tanpa pengawasan mereka. Ditengah kondisi yang terjepit kami memutar otak dan akhirnya berhasil berunding untuk menunggu mobil jemputan kami di tempat yang strategis dan terlihat banyak orang.

Sedikit lega karena begitu hari menjelang pagi di tempat kami menunggu tersebut ada polisi yang berpatroli. Mereka tiba2 menghilang entah kemana. Tapi kami sama sekali tak mendapatkan bantuan yang memuaskan dari para polisi di sana. Akhirnya kami putuskan untuk menunggu jemputan di pos polisi terdekat dengan naik kendaraan umum karena kamipun kawatir dengan keselamatan diri kalau kami tetap disana. Kami aman di pos polisi ini meski hati kecilku sama sekali tak puas. Polisi di sini sepertinya tahu dengan segala macam praktek di pelabuhan tersebut namun mereka tak bisa berbuat banyak dan cenderung berkompromi dengan konsidi ini. Ah! Setali tiga uang. Aku sendiri dalam keputus asaan.

Begitu mobil yang menjemput kami datang kelegaan benar-benar kami rasakan. Penyanderaan tadi menjadi cerita seru. Tak disangka kami akan mengalami puncak perjalanan ini dengan kejadian yang menakutkan dan hampir membuat kami kehilangan harapan. Tak usainya kami bersyukur. Sama tak usainya dengan keheranan dengan kondisi negara ini yang penuh calo. Semua hal yang demikian mudah di buat sulit hanya karena premanisme. Aku jadi ingat sebuah iklan rokok di TV “Kalau bisa mudah, Kenapa harus dibikin sulit?” entahlah. Itulah ajaibnya negri ini.

Photobucket - Video and Image Hosting

Tips Backpacker ke Lombok:

1. Rencanakan perjalanan anda dengan matang. Data-data lapangan dari sesama rekan backpacker yang pernah berkunjung ke lokasi tersebut sebaiknya dipertimbangkan. Berhubung banyak sekali hal yang tidak sama antara praktek di lapangan dengan buku-buku wisata yang menjadi acuan kita.

2. Hindari praktek-praktek percaloan dan premanisme yang biasanya terjadi di pelabuhan. Sedapat mungkin naik bus dari Ubung Bali dan turun Mataram Lombok atau sebaliknya untuk meminimalkan mencari angkutan di setiap pelabuhan.

3. Pastikan jadwal-jadwal perjalanan kapal/ferry sehingga kita bisa memprediksi waktu dan menghemat biaya karena bisa memakai tarif resmi.

4. Bila waktu anda mepet menyeberanglah saat tengah malam ini akan menghemat (5 jam) waktu anda sehingga siangnya bisa digunakan secara penuh untuk melakukan kunjungan wisata yang lain.

5. Usahakan untuk menjalin relationship yang bagus dengan penduduk atau pihak-pihak yang berkepentingan. Catat nomor- nomor kontak mereka. Seringkali dari merekalah kita akan banyak mendapat pertolongan tak terduga.

6. Untuk rombongan ada baiknya anda mencharter mobil. Selain lebih irit dan tidak banyak membuang waktu banyak lokasi di lombok yang sulit terjangkau angkutan umum.

7. Setiap kejadian adalah bunga perjalanan nikmati dan syukuri. Jangan sampai mengganggu tujuan anda untuk bergembira selama berwisata.

Salam Ransel Di Pundak!


posted by kinanthi sophia ambalika @ 4/27/2006 07:29:00 AM - 5 comments

Petualangan Backpacker Lombok [Part 1]

Tuesday, April 25, 2006


By Sam ( 24032006.14.03)
Secarik Cerita Perjalanan Bali Lombok 12-17 April 06


Bulan merah tidak lagi utuh, namun masih menyisakan terang bertemankan kilau bintang. Sejam lagi ferry Pelangi Nusantara yang menyeberangkan kami dari Lembar – Lombok akan tiba di Padang Bay – Bali. Arlogiku belum genap menunjukkan pukul 4.05 WITA terlihat ke lima rekan perjalananku yang sebagian besar teman tenis masih lelap tertidur di ruang ABK yang kami sewa selama perjalanan malam ini. Ferry meluncur pelan, gelombang besarpun telah ditinggalkan. Kupandangi buritan dari anjungan, pulau Lombok tak tampak. Bisa jadi mataku tak bisa memandangnya lagi tapi tidak demikian dengan ingatanku. Setiap jengkal setiap riak emosional yang kami alami dua hari ini, masih sedemikian mengendap. Tak mungkin terlupa! Tak aku sangka perjalanan lanjutan ke Lombok dari Bali secara “Backpacker” kali ini memberi begitu banyak kejutan tak terduga.

# # # # #

Setelah jadwal 3 hari kami usai berkeliling Bali, di hari ke 4 tepatnya tanggal 15 April 06 pukul 05.30 kami berenam (Sam, Retnani, Woro, Vera, Oce dan Mamat) meninggalkan Hotel di kawasan Legian menuju Padang Bay pukul 05.30 WITA. Kami tiba di pelabuhan 1,5 jam kemudian tepat saat ferry keberangkatan pukul 06.00 baru saja menarik sauh. Kami kecewa karena hanya mendapat tiket seharga Rp 20.500,-/ orang untuk pukul 09.00. Sementara itu setelah lama menunggu karena adanya gelombang besar hingga pukul 10.00 ferry untuk keberangkatan pukul 07.30 belum juga berangkat. Kejengkelan kami bertambah karena beberapa calo angkutan darat maupun laut sudah mulai berkeliaran mengganggu kenyamanan kami dengan penawarannya yang mencekik. Dan kami makin kawatir karena tujuan akhir kami di Gili Trawangan semakin tertunda dan tertunda. Hujan yang turun dan lintas semrawut arus penumpang dan kendaraan berat yang masuk ferry menambah muramnya perjalanan ini. Kami tak bisa berbuat banyak. Begitu susahnya hidup di Negri ini.

Beruntung pukul 11.00 fery Pelangi Nusantara yang kami tumpangi mulai bergerak. Kami makin lega karena cuaca mulai cerah dan kamipun mendapat kamar ABK di anjungan yang bisa di sewa Rp 50.000,- untuk istirahat. Semangat kami mulai naik dan pulih. Kegembiraan menyelimut sepanjang perjalanan yang memakan waktu hingga 5 jam. Seakan tak dapat disembunyikan ketakjuban kami saat ferry mulai meninggalkan Padang Bay dan merapat di Pelabuhan Lembar yang di himpun oleh indahnya biru laut dan lekuk teluk-teluk yang menawan. Sekawanan lumba-lumba terlihat beberapa kali muncul, bermain dan mengikuti ferry. Sungguh menggemaskan. Terlebih semua rekanku belum pernah jalan dengan ferry ke Lombok kecuali aku. Tak terhitung berapa jepretan berkilat dari kameraku. Puas!


Image hosting by Photobucket


Kegembiraan kami tak berlangsung lama saat kami turun dari ferry. Mobil charteran yang kami tawar untuk membawa kami ke pelabuhan Bangsal untuk menyeberangkan kami ke Gili Trawangan memberikan harga yang tidak masuk akal [Rp 350.00 - Rp 300.000]. Paksaan dan tawar-menawar dengan para calo dan preman yang tak adil membuat posisi kami kembali lemah. Tak ada pilihan lain kecuali menelphon temen mencari bantuan untuk memperoleh penawaran harga yang wajar. Dengan sedikit trik kami pura2 keluar pelabuhan. Beruntung kami mendapatkan mobil lain dengan penawaran yang lebih masuk akal. Rp. 130.000,- !. Tak berfikir panjang berenam kami bergegas naik. Mobil kami minta melaju cepat, kami hanya punya waktu 1,5 jam untuk mencapai bangsal sebelum jam 5. Kami kawatir boat yang membawa kami kesana tak lagi ada. Mobil Hi-Jet ini demikian tak nyaman untuk disebut angkutan. Larinya tak kencang, tempat duduknyapun tak nyaman. Belum lagi bunyinya sungguh memekak dan beberapa kali klakson panjang dibunyikan. Tak banyak yang bisa berdisiplin mengemudi di Pulau ini.

Mendung makin hitam hujanpun mulai deras turun. Ahh! Kami benar-benar kembali kecewa. Untuk kesekian kalinya kami berada dalam titik terendah kejengkelan. Untungnya mobil ini cukup tangguh mesti bocor di sana-sini. Banjir dilalui bahkan turunan dan tanjakan di hutan monyet yang luar biasa kelokannya dilalui dengan mudah mesti jantung kami ikut berdetak tak menentu. Saat keluar dari hutan monyet hujan reda sedikit demi sedikit, beberapa monyet keluar. Tebing dan jurang yang terpahat indah di sela pohon-pohon tua membuat kami takjub dan tak henti-henti terpekik menyebut nama-Nya. Terlebih saat laut dan Gili Trawangan terlihat dari kejauhan. Luar biasa.

Image hosting by Photobucket


Kami harus menambah Rp 20.000,- ribu lagi untk tips dan ongkos masuk ilegal ke pelabuhan Bangsal. Dibangsal rupanya ujian kami belum putus. Kembali di pelabuhan ini kami harus beradu urat syaraf karena para calo dan preman boat menawarkan harga Rp 35.000,- per orang untuk meyeberang dari tarif resmi Rp 8.500,- per orang! Alasan mereka sudah terlalu sore tidak ada boat umum lagi jadi kami harus mencharter. Dan kembali kami kalah posisi mengingat hari telah malam dan kami tak bisa kemana-mana lagi kecuali menyeberang. Setujulah kami dengan harga Rp 20.000,-per orang dengan ketidak relaan. Barang-barang dan persediaaan makanan yang kami borong dari bangsal kami naikkan boat. Perlahan boat melaju di tengah rintik hujan yang belum berhenti. Belum sampai di tengah tujuan kapal beberapa kali terguncang hebat dan deru mesin boat seakan terdengar terputus karena ombak sore demikian besar. Kami berteriak beberapa kali sembari berhamburan mencari tempat yang tak basah. Dibelakang kemudi anak-anak perahu hanya tersenyum geli melihat tingkah dan ketakutan kami. Ampun! Aku tak berani keluarkan kamera SLRku meski pemandangan senja demikian menakjubkan. Aku tak mau beresiko dengan gelombang sebesar ini tapi saat memandang kebelakang pelangi kembar melengkung memayungi Bangsal. Indah dan luar biasa. Tak pikir panjang lagi kamera aku arahkan ke sana dengan beberapa jepretan cepat, secepat ketakutanku yang belum surut.

Lima puluh meter mendekati Gili Trawangan yang berjajar dengan Gili meno dan Gili Air ketakjuban kami akan keindahan sunset, pasir putih dan beningnya air laut hingga dasar laut terlihat seakan tak terkatakan. Seakan terbayar sudah kelelahan kami seharian ini yang penuh dengan ujian gelombang emosional. Kami berteriak kegirangan tak sabar untuk segera menjejak pasir dan merasakan keindahan pantai. Begitu boat merapat bergegas barang-barang kami tumpuk di bawah perdu laut. Retnani dan Mamat dapat tugas mencari penginapan sementara Oce dan Woro telah lebih dahulu berjalan mengelilingi pulau melihat situasi. Mestinya aku dan Vera yang mendapat tugas jaga barang dan ransel-ransel. Vera tergoda untuk mengumpulkan kerang sementara aku sudah tak tahan untuk berenang. Tanpa pikir panjang akupun telah basah dan berlarian diantara pasir dan air pantai. Matahari tak lagi terlihat namun pantai ini masih terang. Woro dan Oce yang akhirnya kembali tak berapa lama telah ikutan basah tergoda untuk menikmati pantai ini. Kapan lagi!

Image hosting by Photobucket


Gili Trawangan adalah gugusan pulau kecil di lepas barat daya pulau lombok dengan keliling 45 menit dengan sepeda santai. Vegetasi berupa kepala banyak terhampar memenuhi pulau. Pasir putih, jernih air dan keindahan sunrise menjadikan tempat terpencil ini bagai surga. Penginapan bertebaran di sisi pulau sebelah timur dengan harga terjangkau. Penduduk yang mayoritas moslem cukup bisa mengerti dengan polah turis-turis yang berpakaian minim menikmati pantai dengan snorkling, diving atau naik banana boat transparan sehingga mudah melihat dasar laut. Jangan harap banyak tempat yang bisa menyediakan makanan enak di sini. Namun cukup banyak toko kelontong yang menjual obat nyamuk dan toiletris mendadak bila dibutuhkan.

Penginapan Beach Wind seharga Rp 140.000 untuk 2 kamar cukup bersih untuk kami tinggali. Malam ini kami makan di restoran borobudur di atas bale-bale. Restoran ini paling enak di pulau ini tapi tetap saja lidahku tak bisa menikmatinya karena rasanya tak cocok di lidahku. Beruntung aku cukup lapar sehingga dengan cepat beberapa makanan yang kami pesan tandas seketika. Kami sepakat untuk tidur cepat agar bisa melihat sunrise esok hari. Ada sesal kenapa kami tak lebih panjang tinggal disini. Kami tak menyangka begitu mempesonanya tempat ini.

Gemerincing cidomo kendaraan tradisonal semacam dokar mengiring kami kembali ke penginapan. Terakhir kalinya aku lihat bulan yang tak lagi bundar dalam bayang awan di sela pepohonan di tepi pantai. Kaki telanjangku menapak bulir pasir yang menyejukkan. Terima kasih Tuhan kau ciptakan setitik surga di tanah gersang ini untuk sedikit kami nikmati. Untuk sepenuhnya kami syukuri.

[bersambung … ] .... Tunggu cerita penyanderaan kami :)


posted by kinanthi sophia ambalika @ 4/25/2006 10:10:00 AM - 9 comments

Wanita-wanita Pulau Dewata

Friday, April 21, 2006


By: Sam (21042006.00.00)
Lomba Photo Hari Kartini


Tak ubahnya para wanita di tanah air, wanita Balipun mempunyai peran yang cukup besar bukan hanya bagi keluarga namun juga lingkungan sosialnya. Seperti tampak pada potret sisi keseharian mereka berikut:

“WORKING MOM”
Canon EOS Kiss Digital N
Shutter Speed : 1/125
F Stop : f/10
Iso : 400

 Pemenang I Lomba Foto  Pemenang Favorit Lomba Foto

Image hosting by Photobucket


Matahari belumlah tinggi. Tampak dua wanita sibuk memoles tiang bangunan sebuah hotel di kawasan Legian-Bali. Tak tanggung-tanggung, mereka bekerja di lantai dua dengan tak sedikitpun menampakkan ketakutan. Tangannya gemulai menari diantara adonan semen dan sekop kecil untuk mendapatkan polesan yang halus dan rata. Satu hal yang biasa di Bali bila perempuan mengerjakan pekerjaan ini. Ketelitian dan ketekunan mereka rupanya lebih memberikan sentuhan keindahan pada bangunan daripada dikerjakan oleh kaum lelaki.

“WAITING”
Canon EOS Kiss Digital N
Shutter Speed : 1/200
F Stop : f/6.3
Iso : 400

Image hosting by Photobucket


Pura Beratan Bedugul Bali masihlah sepi. Meski akan diadakan upacara adat namun beberapa persiapan belumlah selesai, para pelancongpun belum seramai yang diharap. Beberapa wanita tampak berkelompok di bale-bale menanti pelaksanaan upacara dengan sabar. Terlihat sekali peran wanita untuk menyiapkan sesaji sangatlah dominan di adat ini. Sesaji dan beberapa perlengkapan upacara yang telah di siapkan para wanita akan di sembahyangi dan dibawa ke pura yang letaknya di tepi danau dengan menggunakan perahu. Tak ada pinta lain kecuali sekelumit keselamatan dan kesejahteraan.


SELAMAT HARI KARTINI!


posted by kinanthi sophia ambalika @ 4/21/2006 07:57:00 AM - 9 comments

Malaikat Bersayap Sebelah

Tuesday, April 11, 2006


By: Sam (07032006.12.10)
Secarik Cerita



Angin dingin masih erat membungkus tulangku namun kokok ayam telah membukakan mataku. Menggeliatkan aku untuk menyambut pagi yang masih muram. Subuh … selalu indah. Mataku dilukis dengan gurat saga matahari yang mulai lena, nafaskupun diraba dengan segar embun dan kabut yang menari-nari di pucuk-pucuk padi.

“Akar!”
“Ya … Mak.”

Salam singkat kami tiap awal hari terdengar nyaring di hening pagi. Panggilan dari emak untuk menyakinkan bahwa aku telah terjaga. Dan sahutan dariku untuk meyakinkan emakku bahwa aku telah siapkan diriku untuk dia.

“Cepatlah sholat!”
“Ya … Mak!”

Bergegas kutata dipanku seadanya. Kuambil sarung dan kuturuni rumah panggung kami untuk menuju teritisan di depan rumah. Aku ambil air wudhu. Membasahkan dinginnya air pancuran ini ke bagian-bagian tubuhku untuk satu kesucian. Untuk menaikkan doaku.

“Permisi Kang!”
“Oh.. Bunga, silahkan,”

Bunga melewatiku dengan wanginya parasnya. Melenggang diantara rekah senyumnya.

“Ke Pasar?”
“Ya Kang … mari!”

Tiap subuh Bunga menitipkan sapa dan senyumnya untukku. Menggoda hariku dan menari-narikan harapanku. Dan tiap pagi pula Bunga hanya menitipkan sapa dan senyumnya, yang akan di ambilnya begitu dia kembali. Bukan memberikannya utuh untukku. Mungkin Bunga tidak pernah bisa meyakinkan dirinya bahwa aku akan cukup kuat untuk menyangga kelopaknya ataupun menaburkan sarinya. Karena aku hanyalah akar. Kasta terendah yang hanya berteman dengan lumpur dan tanah basah. Teman Bunga adalah Kumbang yang selalu aku cemburui. Kumbang yang bisa membawa mimpi mimpi bunga terbang sejauh angin kembara membawanya.

Lima tahun aku dalam angan dan memimpikan Bunga. Menjadi sesuatu yang diinginkan Bunga. Meski kutahu Bunga tak pernah bisa memberi hati tapi aku cukup berbangga diri untuk menjadi bagian terkecil dari setiap kemauan Bunga. Menjadikan aku dalam pengejaran yang tak usai dan tak berujung. Lena dalam kebodohan yang menjadi hari-hariku mesti aku tahu aku hanya bisa mendapatkan cinta Bunga dalam semu.

Entah mengapa aku terlupa bahwa cinta bukanlah hanya sekedar kata memberi atau menerima. Tapi memberi DAN menerima sebagai esensinya. Selalu memberi tanpa menerima akan membuat kita dalam gersang dan selalu menerima tanpa mau memberi akan membuat kita hilang pijakan. Namun memberi dan menerima akan membuat kita dalam tumbuh dan penghormatan … dalam kerelaan.

Kita manusia adalah MALAIKAT BERSAYAP SEBELAH yang hanya bisa terbang bila mampu bersinergi dengan pasangannya yang hanya bersayap sebelah. Sayap kita sendiri taklah kuat memikul beban bila tanpa dibantu untuk saling meringankan. Dan sayap kitapun akan tanpa guna bila kita hanya menunggu uluran untuk diangkat terbang.

Bunga segera kulupakan. Dia bukanlah malaikat dengan sayap sebelah yang diciptakan untukku. Malaikat bersayap sebelah yang bisa saling meringankanku menggapai rembulan. Yang saling membahu kala angin datang.

“Akar!”
“Ya … Mak!” Aku tersadar dalam lamunku, “Mau sholat Subuh dulu, Mak!”

Di tepi mataku Bunga telah jauh ditelan kenyataan. Sapa dan senyumnya selalu dititipkan, akan aku simpan meski tak hendak ingin ku genggam. Kubergegas masuk bilikku menyiapkan sajadah panjangku. Aku akan kembali naikkan doaku bagi-Nya.

Doa untuk menggenapkan sayapku.
Doa untuk bisa mengajak terbang emakku.

posted by kinanthi sophia ambalika @ 4/11/2006 05:00:00 PM - 8 comments

Kuntum Ketenangan

Wednesday, April 05, 2006


By: Sam (05032006.12.10)
Secarik Cerita



“Lempar pak …. Lempar!”

Aku lemparkan koin terakhir di tanganku. Keping logam itu melayang sejenak sebelum meluncur ke laut dangkal. Berebut bocah-bocah pantai bertelanjang dada itu mengapai receh yang mulai tenggelam di dasar laut. Seketika seorang anak telah muncul di permukaan dengan keping logam tadi. Tergigit di mulutnya. Tangannya kembali melambai menunjukkan kemenangan. Serentak yang lain mulai berteriak lagi.

“Lempar terus pak… lempar!”

Kulihat beberapa penumpang melakukan hal serupa seperti aku. Yang lainnya hanya sekedar melihat dengan kesenangan. Menikmatinya. Tak lama terdengar gaung sirine kapal berbunyi memekak, perlahan ferry yang kami tumpangi mulai beringsut menjauh dari dermaga, meninggalkan anak-anak pantai berambut kusam dengan keahlian mereka menyelam. Kupandangi sebaris pulau di ujung sana, hanya perlu waktu satu jam lagi kami akan mencapainya. Tiba di Ketapang!.

Tak ada yang tak nampak indah di mataku selama keberaadaan ku di Bali lima hari ini. Pasir Jimbaran, tebing Ulu Watu juga senyum Kuntum yang selalu terkulum. Tak ada yang membuatku terisak selama lima hari ini. Keramahan budaya dewata, celoteh canda teman-teman seperjalananku dan juga tawa Kuntum yang selalu meringankan bebanku.

“Masih ada satu nih”
Secepatnya kuambil sekeping uang logam dari uluran tangan Kuntum.
“Cepat lempar…”
Seketika aku lempar koin itu sekuat mungkin melewati buritan. Pletak …! Koin tak mencapai laut. Nyaring suara koin itu justru mengenai lambung belakang kapal dan menggelinding masuk laut tanpa tenaga. Kami terbahak dengan kekonyolan ini. Tubuh ramping kuntum melenggang karena tawanya. Rambutnya berayun dalam sapa angin dan kilau matahari sore di geladak ini.

“Terima kasih!” Tatapku dalam saat kusadarai betapa berartinya dia.
“Untuk?”
“Kehadiranmu!”
Sebaris senyum Kuntum terkulum dalam rona.

………….

Kuntum mengembang saat jiwaku dalam gamang. Gamang dalam segala gelisah dan tanya. Akan makna jodoh, akan makna pernikahan juga akan makna cinta yang jauh dari jangkauku. Teramat lelah aku menjalani pikuknya sosialisasi mencari calon istri yang tak pernah ada ujung henti. Yang semuanya karam hanya dengan satu kata: tak cocok!. Apakah aku yang sulit? Demikian akhirnya aku simpulkan karena pencaharian ini tak pernah berjalan menuju titik temu. Hingga begitu susah untuk bisa mendapatkan seseorang yang bisa memenuhi keinginan sederhanaku. Keinginan untuk menjalani hidup dengan TENANG.

Kuntum merekah dengan mengisi jiwaku yang hilang sebelah. Menenangkankan gundahku dan meringankan langkahku. Aku larut dalam senyumnya dan melebur dalam tawanya yang menyamankan. Aku merasakan ada tulus dan keiklasan dia selimutkan dibahuku. Tertuntun aku untuk menjadi diriku sendiri dalam hari-hariku. Bukan menjadi orang lain atau seseorang yang dia inginkan.

………….

“Apakah kita akan bisa selalu tertawa seperti ini?” Tanyaku dalam desah.
“Apakah kita selalu bisa dalam ketenangan ini?” Tanyanya menimpali.
“Ya ... itu pertanyaan yang berulang aku tanyakan.”
“Karena kamu takut?”
“Ya takut, takut semua ini akan berubah. Takut semua tak seperti yang kita rencana dan rasakan kini.” Jawabku jujur, “Tak bisa kubayangkan bila saat nanti kita kehilangan tawa dan ketenangan ini. Kebersamaan kita hanya membawa kita dalam gersang”

Kami terdiam. Kusandarkan bahu Kuntum di pelukku. Senja mulai menggurat, burung-burung lautpun mulai riuh kembali pulang. Laut tak memberi jawaban.

“Apakah kau tahu pasti kapal ini akan menepi dengan selamat?” Tanya Kuntum pelan sambil memandangku.
Aku menggeleng tak pasti.
“Aku juga, kita juga. Tak pernah tahu apakah perjalanan kapal ini atau cinta kita akan berlabuh dengan selamat. Tapi kita punya nahkoda di doa-doa kita, kita punya sekoci di tiap niat baik kita dan kita punya keyakinan disetiap layar yang kita bentang. Semua itu bila Kuasa menghendaki, kita tak hanya bisa berlayar kearah manapun kita kehendaki tapi bisa memandu yang lain untuk melewati terjal karang hingga tak akan tenggelam,”

Kelopak kuntum kembali meniupkan sari ketenangan dihatiku. Dalam desir kulihat keyakinan di wajah Kuntum. Indah tersapa buai angin selat yang tak henti memainkan gerai rambutnya. Erat kupeluk dia. Erat sekali.
“Terima kasih!” Bisikku dalam.


posted by kinanthi sophia ambalika @ 4/05/2006 04:17:00 PM - 9 comments