Dia Yang Setiap Sore Bersamaku

Wednesday, November 30, 2005


By Sam (30112005.04.18)
Secarik Cerita


“Tahun baru tinggal sebulan lagi ya,” Tulis Dia sore itu melalui Yahoo Messenger.
“Yup …,” Jawabku singkat karena terkonsentrasi dengan desain yang belum usai.
“Akan mudik lagi?”

Aku meng-klik icon save pada program publisherku beberapa saat sebelum membalas PM –nya.
“Yah pastilah, seperti tahun-tahun sebelumnya.”
“Menyenangkan ya bila punya keluarga berbeda-beda keyakinan, banyak kesempatan libur dan berkumpulnya,” Komentarnya sembari mengeluarkan beberapa smiley dalam baris kalimatnya, ”Kapan balik Jakarta?”
“Abis tahun baru nanti sepertinya.”
“Lama sekali? Oh ya, seingatku ibumu ulang tahun tanggal 2 nanti.”
“Ya, aku ingin disana sampai hari itu.”


Sejenak kami tanpa kata tertulis. Entah apa yang dia kerjakan. Sementara aku sibuk mencetak desain yang aku buat lewat printer laser colorku. Seperti sore-sore yang lalu beberapa tahun ini aku tak merasa sendiri di ruangku. Ada Dia … meski keberadaannya jauh di ujung sana. Sejak bertemu di jaringan maya tiga tahun lalu, dia seakan jadi teman berbincang. Tentang apapun. Bahkan tak kusangkali alur hidupku ada pada dia. Entah kenapa begitu ringannya aku bertutur akan hidupku pada Dia, bercanda bahkan membebankan keluh kesahku. Seakan aku tahu pasti. Setiap sore Dia akan menemaniku.

Namun satu hal yang menggelitikku aku belum pernah menemuinya. Hanya photonya di sudut YM yang memberikan gambaran padaku bagaimana Dia. Photo manis yang seringkali Dia ganti sembari memerinci kejadian yang Dia alami. Dan selama perjalanan kami ajaibnya seakan ada kelambu tipis diantara kami untuk tidak saling menyentuh atau berusaha untuk mengubah apa yang selama ini kami miliki. Meski kecocokan ada diantara kami, meski kami tahu bahwa kami sama-sama masih … sendiri!

“Buzz …”
“Yup …”
“Bagaimana targetmu?”
“Target?”
“Target untuk memperoleh jodoh, kau tahu tahun ini akan usai satu bulan lagi.”
“Ha..ha..ha…”
“Masih seperti tahun lalu.”
“Yup..”
“Meleset lagi?”
“Tepat !”

“Kamu terlalu idealis mungkin?”
“Apa seumuran aku ini masih pantas untuk memegang idealisme?”
“Lalu apa masalahnya.”
“Persepsi.”
“Maksudnya?”
“Aku tak ingin terjebak dalam kesalahan pemahaman akan perkawinan dan relationship. Banyak orang berpersepsi bahwa tujuan akhir dari relationship adalah perkawinan.”
“Bukankah kita mencoba menjalin suatu relationship untuk tujuan menikah?”
“Menikah adalah soal ikatan, soal pengakuan. Dia bukan akhir dari relationship itu sendiri.”

“….. ic.”

“Malah justru dengan adanya pernikahan relationship harus lebih di eratkan, di tumbuh kembangkan. Kebanyakan dari kita lebih banyak berkutat dengan masalah bagaimana ber-relationship. Lupa akan tujuan dari relationship itu sendiri.”
“Aku kurang jelas.”
“Menikah bukan perkara kita mencintai seseorang dan memutuskan untuk hidup bersama semata, lebih dari itu menikah harus punya TUJUAN.”
“Tujuan ….”
“Ya, selama dua pihak punya tujuan yang sama akan pernikahan, aku rasa itu satu basic relationship yang kuat. Cinta tak akan kering karena ada sesuatu yang akan bersama untuk capai dan penuhi. Saat cinta mulai pudar kita diingatkan untuk kembali menyakini tujuan perkawinan yang sudah ditautkan.”

Sejenak aku mengambil nafas.

“Selama ini aku hanya menggenggam realita daripada berfikir idealis. Aku hanya berusaha mengukur progress di setiap relationshipku. Bila kurasa relationshipku dengan seseorang progresnya meningkat … dia mungkin yang tepat untukku.”
“Sesederhana itu……..”
“Ya …”
“Sudah adakah orang yang mempunyai konsep dan tujuan pernikahan yang sama denganmu?”
“Bagaimana dengan kamu sendiri, apakah sekonsep dan setujuan denganku?”
“Kalaupun iya rasanya itu tidak mungkin.”

Terhenyak aku mendengarnya,
“Mengapa?”
“Tak ada lagi yang akan menemanimu setiap sore nantinya.”
“Aku tak perlu lagi ditemani setiap sore, karena kau telah menemaniku hingga akhir waktuku!”

……………………………….


posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/30/2005 06:13:00 PM - 9 comments

Lidahku Masih Kelu

Monday, November 28, 2005


By Sam (26112005.21.37)
Secarik Cerita


"Kau suka padanya"
"Teramat suka ... Utara ," Rona wajah Punai memerah di selang ucap lirihnya, berpaling dia membuang muka menyembunyikan malunya. sembari memainkan ujung helai rambutnya "Kurasakan baranya membakar hasrat batinku setiap ku didekatnya. Mematungku pada diam dan membisukanku dari kata. Dia membuatku tak berpijak"
"Apakah selama ini Bayu pernah mengatakan hasratnya padamu?"

Menit berlalu tersiakan tanpa aku dengar jawaban Punai. Hanya desah nafas beratnya terdengar bermain diantara dua mata indahnya yang bertatap kosong. Sama kosongnya dengan apa yang aku rasa saat ini. Sejak kecil orang-orang kampungku mengenal Punai adalah bayang Utara, bayang diriku. Meski dilahirkan dalam keluarga yang berbeda. Kami tumbuh dari makanan yang tersantap dalam piring yang sama dan dalam gelas yang terminum bersama. Juga di buai dalam ayunan yang tak berbeda. Tak ada pengakuan lain yang layak selain mengamini bahwa Punai adalah saudara sejiwa Utara.

Hingga bertahun lalu mulai aku sadari arti lebih dari saudara sejiwa. Kesadaran bahwa Punai telah mengambil jiwaku. Jiwa yang merasakan kekosongan semata tanpa senyum dan hadirnya dia. Tapi terlambat ... keluku saat didekatnya menciptakan bumerang bagi diriku. Tiada kata pinangku menerbangkan hati Punai pada seorang Bayu. Sahabat yang selama beberapa bulan belakangan ini memberi ceria pada perkawanan kami.

Getir kudengar jawab Punai. Hilang sudah angan untuk menyelipkan cincin perak dijari manis di bawah nyiur tempat kami dulu selalu bermain. Pudar sudah harap untuk bisa bersama memeluk pinggangnya, menuntunnya menari di pematang hingga senja menjelang. Sia penantianku hanya karena lidahku yang kelu.

.........

"Apakah kamu tak ingin jujur mendahului mengatakan hasratmu?" Tanyaku memecahkan hening.
"Aku seorang wanita ... Utara!"
"Tak bolehkah?"
"Dan aku adalah orang timur!
"lantas....?"
"Itu tabu ........."
"Benarkah?"
"Aku tak ingin berdebat Utara, tapi aku lebih baik menunggu ucap Bayu daripada aku yang mengatakan."
"Punai, tidakkan kau bersembunyi pada kata tabu yang kau ucap?"
"Maksudmu?"
"Jujur saja sebenernya kamu takut ........ patah hati!"
Sekejap Punai terperanjat mendengar pernyataanku. Tanpa memberikan anggukan atau gelengan matanya terpejam mencerna kebenaran yang kuucap.

"Andai aku bisa memilih aku akan rela untuk merasai hati yang patah daripada membiru hatiku karena tak pernah bisa mengatakan apa yang aku rasa. Cinta membawa konsekwensi, darimana kita tahu dia ada untuk kita kalau kita tak pernah mengatakannya. Sungguh sesak cinta kita terbang hanya karena kita kehilangan nyali untuk mengatakannya."


Sejenak Punai memandangku dengan sungguh. Digapainya tanganku di genggamnya. ”Apakah aku harus mengatakannya .... pada Bayu?"
"Hati dan rasamu berhak memilih Punai. Biarkan dia menyuarakan kehendaknya. Hasrat dan cintanya ...... jangan ciptakan sesal yang tak terbayarkan!"

Berdesir hatiku saat Punai menangkupkan tanganku di wajahnya, membasuhnya dengan air matanya. "Utara .... terima kasih kau memberiku kekuatan bagi hatiku untuk bisa memilih. Katakan apakah kau pernah berada dalam galau sepertiku,"

Sebait senyum berat ku biaskan untuk punai. "Ya Punai ... saat itu pernah ada. saat dimana ingin kukata bahwa aku mencintaimu!"

Mata punai tajam menatap menanti jawabku. Kuyakin dia tak mendengar jawabku bahkan mungkin tak akan pernah mendengar karena yang menjawab adalah hatiku ... bukan mulutku. Karena seperti tahun lalu lidahkupun masih kelu!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/28/2005 09:53:00 AM - 10 comments

Sepenggal Jawab Lelaki

Tuesday, November 22, 2005



By Sam (22112005.0920)
Secarik Cerita


“Kamu mencintaiku?” Tatap Gadis pada Lelaki kekasihnya.
“Ya” Dengan pelan Lelaki menjawab sembari merapatkan tangkupan tangan Gadis di genggamnya.

Lelaki tahu bukan hanya Gadis, diapun merasakan beratnya memberi jarak pada hubungan mereka. Masalah klise bila pria berkempatan membentangkan sayap sementara wanita harus rela terpasung menunggu di ujung dapur. Lelaki tak ingin kehilangan saat dimana dia bisa merasakan dekap dan aroma tubuh gadis. Aroma yang akan menjadi rindunya di seberang nantinya.

“Kenapa kau mencintaiku, Lelaki?” Gadis kembali mengulang tatapnya.
“ ..........”

Logika lelaki dipermainkan dengan pertanyaan-pertanyaan gadis yang sangat berjiwa kini. Sungguh … mulutnya tercekat untuk bisa menjawab secara tepat. Bahasa hidupnya sedemikian beda dengan yang Gadis punya. Mestinya Gadis tak perlu menanyakan kenyataan yang telah ada di pelupuk matanya, akh … namun mungkin bukan esensi itu yang ingin dia dapatkan. Kepastian akan pengakuan … mungkin itu yang sebenarnya ingin dia dengar! Lelaki surut untuk tidak mendebatkan pertanyaan Gadis.

“Karena 3 hal aku mencintaimu” Jawab Lelaki akhirnya.
Mata gadis berbinar, senyumpun tersungging manis menanti Lelaki kembali membuka mulut.
“Pertama … karena aku mencintaimu!”
“Kedua …. Karena aku mencintaimu!”
“Terakhir?” Gadis mengernyit.
“Karena tak lain, aku mencintaimu!”

Bahasa tubuh Gadis melambai menebarkan bahagia. Tiupan angin di dermaga sore ini menyerbakkan wanginya. Lelaki tak peduli berapa pasang mata melihat mereka. Pelabuhan seakan sepi hanya menjadi milik mereka. Meski ada beratus diantara mereka yang akan bersamanya bertolak dari pelabuhan Makasar ini ke Surabaya. Kembali lelaki tak peduli. Dia hanya ingin mengenang ini saat dirantaunya nanti.

“Lelaki….” Ucap lirih Gadir di sandar bahu Lelaki.
“ya… Gadis!”
“Bertahun nanti kau akan kembali, dan pastikah kau akan menjadikanku rusukmu?”
“Tentu dan kuingin saat itu kau ada untuk menungguku”
“Lalu … apa yang kau bawa untuk meminangku?”
“Kuakan kembali dengan kemakmuran, melepaskanmu dari kesusahan,”
“Kasihku kemakmuran hanyalah hiasan ragaku, tak adakah sesuatu yang lain yang membuatku lebih pantas dilihat?”
“Kalau begitu akan kubawakan cintaku utuh untukmu,”
“Mmm …. hiasan cinta memang lebih dari cukup untuk aku terima tapi adakah sesuatu yang bisa membuatku lebih pantas untuk dilihat?”

“………………………..…..” Lelaki tak bisa menjawab. Dia hanya mampu untuk melambaikan tangan saat dirinya naik tangga menuju kapal. Ditengah galaunya dia hanya sempat mendengar bisik Gadis sebelum dia berlalu “Kirimkan aku jawab sebelum saat meminangku tiba, lelaki!”

……………..

Tak hanya Lelaki, Gadispun jelas mengingat pinta dan harapnya 4 tahun lalu. Di sini di pelabuhan Makasar!. Gadis erat menggenggam surat yang sedari pagi diterimanya. Berdiri dia tepat di tempat saat mereka berpisah, tepat ditempat dia pintakan jawab kekasihnya. Disini dia ingin mendengar jawab Lelaki. Ditempat dimana diapun masih mengingat aroma dan desah nafas terakhirnya.



Gadisku, ….
Purnama nanti aku akan menjemputmu ... meminangmu.
Bagimu kubawakan diriku sebagai IMAM-mu,
Semoga ini pantas kau kenakan sehingga kau layak dilihat oleh kerabatmu.
Juga oleh Dia, Tuhanmu!

Lelaki



Gadis tertunduk, matanya berkaca menyimpan bulir mutiara …

posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/22/2005 10:54:00 AM - 12 comments

Sebait Surat Untuk Kodrat

Monday, November 21, 2005



By Sam (20112005.10.49)
Secarik Cerita



Bubulan, 4 Maret 2005

Kodrat … warsa ke tujuh hampir menjemputku. Selama itu aku putuskan untuk tak berkabar padamu. Berhenti tuk menyapamu lewat toreh ucap penaku yang selalu kuselipkan di gawang jendelamu setiap minggu. Kata-katamu membuat hatiku terantuk dan menyurutkan pandangku bahwa selalu ada selaksa pengertian telingamu setiap kuceritakan keluh dan resahku.

Ingatkah kau kodrat, kita sejiwa. Ku dilahirkan selang tak berapa lama kau ada. Sejak itu bapa dan bunda menalikan nasib kita dengan erat lewat ikat perjodohan. Satu ikatan suci yang tak bisa kita ingkari karena ditalikan dengan janji. Dan sejak itu mau tak mau kusadari, adamu untuk melengkapkanku. Tak satupun yang berupaya menjamahku karena mereka tahu hidupku kan mengabdi padamu. Juga tak ada yang merebutku karena mereka tahu hatiku terpasung sebagai rusukmu.

Masa lalu kita tak pernah kulupa. Selalu ada bias pelangi kau torehkan dipagiku. Warna padunya memacu hasratku merengkuh hari hingga usai merebah kembali ke peraduan. Kodrat ... disetiap hela nafasku kurasai kesempurnaan akan kebahagiaan sejati yang tak orang lain miliki. Namun ... sungguh kusesali itu taklah abadi. Perlahan tapi pasti waktu mulai memudari kebahagiaan hakiki yang aku miliki. Semakin ku berusaha mengapai kembali, memakin terseok dan tertatih tangan ini dalam kapai-kapai.

Kodrat ..., kukutuki nasibku yang tak lagi sama denganmu. Kukutuki derita yang lebih banyak memberiku sapa. Dan kumaki setiap kata sabar yang kau selimutkan untuk mendinginkan panasnya hatiku. Kudalam kapar ... Kutukku tak menjadi tuah makikupun tak juga jadi berkah. Malah … nasib menuntunku makin dekat pada titik terendah hidupku. Titik dimana segala resah dan serapah menjejal di dada dan mulutku. Titik dimana keputus asaan menjerat leher memutuskan nafas utuhku untuk kembali merasai secuil bahagia sekalipun.

Kodrat hampir tujuh warsa lalu kau tak lagi menempelkan telunjukmu di mulutku sambil kau gelengkan kepalamu saat ada keluh ku ucapkan. Kaupun tak lagi tuntun langkahku dan angkat ragaku saat jatuh kudapati. Kodrat lidahku kelu saat kau hanya berkata.

“Naila, berhentilah berkeluh! Bahagia tak kemana, dia ada di hatimu!”
“Maksudmu”
“Syukuri setiap hela nafasmu!”
“Kodrat ....!”

Dalam pitam kulari dari pelukmu. Takkah kau tahu aku dalam lunta menggapai semua mimpiku tentang bahagia. Aku dalam tatih mengais setiap jumput sisa kesenangan bagai dirimu yang sedikit demi sedikit telah dicabik dari genggam eratku. Saat seperti ini aku hanya mengharap ulurmu tuk menyuap, tuk membagi kebahagiaan berlimpah yang kau miliki. Bukan mencambukku untuk menyadari bahwa aku kurang tahu diri untuk berterima kasih! Kodrat kutinggalkan dirimu yang tak lagi memberi bahumu untuk sandarku.

…….

Kodrat kembali pucuk suratku dalam genggammu hari ini. Kau akan temui aku lebih jauh lagi di pinggir hutan diantara pokok-pokok jati di tepi desa Bubulan. Mengajarkan sedikit yang aku punya bagi anak-anak desa yang setiap pagi memanggilku dengan sebutan ibu guru!. Kodrat kini aku mengajar. Aku bisa mengajar karena aku telah diajarkan. Diajarkan dengan pengalaman hidup yang selama ini aku buta untuk melihatnya dengan hati. Benar katamu. Bahagia taklah ada dimana, dia ada dihatiku. Tak perlu dicari karena dia hanya perlu untuk disadari. Salah bila kukata aku bukanlah orang yang bahagia. Karena bahagia itu adalah pilihan, karena orang yang paling bahagia bukanlah mereka yang selalu mendapatkan hal-hal yang terbaik dalam hidupnya ... melainkan mereka yang bisa menjadikan semua hal, menjadi hal terbaik dalam hidupnya.

Kodrat andai waktu itu aku bisa menyadari semua ini, tak perlu kulari dari pelukmu. Andai kutahu kata syukur adalah gerbang bahagiaku kutakperlu sembunyi selama ini. Ah ...!

Kodrat masih adakah tempat untukku … masih terikatkan takdirmu bersamaku?


Aku yang telah kembali,

Naila

posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/21/2005 01:01:00 AM - 9 comments

Pengkhotbah Turunlah dari Mimbarmu

Wednesday, November 16, 2005


By Sam (116112005.11.51)
Secarik Cerita



Kuingin tak punya telinga setiap hari Jum’at, paling tidak aku ingin tuli saat sholat bersama tengah hari di masjid dekat pasar itu digelar. Kotbah yang bergaung nyaring lewat speaker itu perlahan menusuk uluku, mencabik hati dan menserakkannya hingga kutak yakin satu saat nanti akan bisa mengumpulkannya kembali untuk kuserahkan secara bersih dan utuh di hadap-Nya. Kutaktahu roda karma apa yang membawaku terlahir dalam lingkaran yang selalu berada di bawah, berkubang dengan beceknya lumpur sengsara dan hinaan. Apakah salah Ibuku yang melahirkanku dalam remang kehidupan malam dan peluk hangat lelaki yang selalu berganti. Atau salah Ayahku yang hanya punya bahasa cinta berupa belaian kasar kala mulutnya menegak minuman sehingga ibu harus berkuat hati mendamparkan diri disini. Ataukah kebodohan dan kemalasan kami sehingga kami tak bisa merangkak meninggalkan kubang ini, kubang yang orang cela dengan sebutan kemaksiatan.

Entah, jangan tanyakan itu …

Yang kutahu, diriku telah melewatkan empat belas tahun di tempat ini bersama wanita yang kusebut ibu. Menyaksikan peluh buruh gendong dan berpuluh pedagang mengais rejeki di pasar induk kota ini dengan bermacam warna hidupnya. Melihat malam mengubah tempat ini menjadi gelak tawa lelaki dan rayuan genit wanita-wanita di seling hingar musik dangdut menggoyang tubuh-tubuh yang hilang sadar. Merasakan hidupku tumbuh dan berkembang tanpa arah tujuan kecuali tujuan bahwa perutku harus terisi hari ini. Menghalalkan segala cara untuk sekedar memenuhi keinginan sederhana untuk bisa bernafas kembali esok pagi.

Salah bila dikata aku tak lelah dengan semua ini. Akupun masih mempunyai nurani … punya mimpi! Bahkan mimpiku belum usai untuk jadi bersih seperti orang –orang diluar pasar ini, seperti anak-anak lain yang bersarung dan berpeci yang tiap sore belajar mengaji. Namun kuratapi tak mudah untuk jadi putih hanya karena aku terlahirkan berwarna hitam. Tanda bayiku adalah pahatan didahi bertuliskan kata”anak sundal” yang tak bisa kucuci hingga semua teman berpeci menjauh takut ternodai dan orang tua bersarung memaki membawa-bawa dosa bapak-ibuku sembari mengucilkanku. Amat sakit menjadi orang yang berbeda terlebih untuk dibeda-bedakan. Dan itu tidak aku saja yang rasa. Berbelas teman dalam kubangku merasakannya… menerima vonis yang begitu dini.

Jum’at ini aku masih menginginkan diriku tuli karena aku akan lebih banyak berteriak. Berteriak di depan rumah Nya pada mereka-mereka yang berkotbah menyerukan kebenaran. Berteriak lebih lantang untuk meminta mereka turun … turun dari mimbar dan kenyaringan suara mereka yang hanya bisa melihat dunia sebatas dua warna, hitam dan putih. Kan kuajak dan kugandeng mereka turun mimbar untuk melihat diluar masjid … dikubangku. Dimana warna abu abu telah menjadi hidupnya hati kami. Ku ingin tunjukkan bahwa sebenarnya aku dan teman-temanku juga mereka yang disebut sundal tidak perlu telinga untuk mendengar semua kotbah dan hujatan mereka. Karena sebenarnya kami masih punya hati nurani untuk menimbang dan mengerti.

Karena yang kami butuhkan sebenarnya adalah tangan-tangan mereka untuk merengkuh dan memeluk kami dengan kasih dan menuntun kami pada jalan seharusnya kami lalui. Dan yang kami butuhkan adalah keikhlasan memandang diri kami sebagai kaum sesaudara yang rindu juga disebut saudara seiman. Berdayakan kami agar perut kami selalu bisa terisi hingga telinga kami bisa kembali terbuka dan lebih mudah untuk mencerna bahasa religi yang diberi. Tak ada guna kau jejal telingan kami dengan ancaman-ancaman berbuih hila hati kami tak pernah tenang makanan apa yang bisa hinggap di mulut kami esok hari. Jangan jadikan kami orang-orang yang bangga sebagai penerima zakat ataupun sedekah karena kami lebih punya harga diri bila kail lah yang tersodori.

Pengkotbah …. aku menunggumu untuk menatap kami. Bentuklah kembali kami dengan tindak nyatamu bukan hanya dengan kata-kata masyurmu. Pimpin kami dengan ilmu dan cermin tingkah lakumu. Sesungguhnya kamu yang dimuliakan dan bergelar penyembuh. Tempatmu bukanlah bersama mereka yang bersih dan sehat semata namun seharusnya ada ditengah kami …. yang kotor dan yang SAKIT!!!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/16/2005 02:38:00 PM - 11 comments

Menemui Keluarga “Maya” di P4G 05

Tuesday, November 15, 2005


By Sam (15112005.08.17)
Secarik Langkah

Image hosted by Photobucket.com


Beberapa pekan lalu sebuah SMS masuk ke mobile-ku, undangan panjang cara Halal Bihalal blogfam (PotLuck 4 GoodLuck) tertulis lengkap disana. Tak bisa disangkal sms ini dari seorang kawan blogger. Bukan sekali dua kawan yang aku juluki miss kopdar ini melayangkan undangan serupa, entah berapa hitungan pastinya namun belum pernah satupun aku bisa hadir. Konyolnya Pertemuan kami justru ada saat menghadiri B’day sekaligus soft launching seorang kawan millis tenis!. Pikirku berputar membayangkan alasan apa yang harus aku buat kalau ternyata aku berhalangan lagi untuk datang. Bisa jadi kali ini undangan ini bukanlah lagi sekedar permintaan untuk datang tapi sudah berujung pada ancaman mungkin ha .. ha.. ha.. Selang berapa pekan kemudian undangan serupa dikirimkan Lui. Aku pikir mau tak mau aku harus sisihkan waktu untuk datang. Terbersit ragu juga karena cuma yaya dan lui yang aku kenal belum lagi jarak ke Ciputat cukuplah mengernyitkan dahi. Namun apalah arti jarak bila di banding dengan kesempatan bertemu keluarga “maya” menjadi “nyata” terlebih promosi makanan yang terhidang cukup menantang di blog tuan rumah! Hanya berbekal 3 kotak ice cream walls dan mengajak Mamato untuk ikut serta untuk datang aku berharap potluck ini bener-bener menjadi “goodluck!”

Image hosted by Photobucket.com

Image hosted by Photobucket.com

Image hosted by Photobucket.com


Dan nyatanya memang bener-benar goodluck, setidaknya banyak gambar yang terambil dari kameraku dari pose-pose can did! Seperti pose-pose diatas. Belum lagi yang ku ambil dari kamera pinjaman Lui yang lebih prof. Juga ditambah dengan mengenal pribadi-pribadi yang selama ini hanya terbaca dari tulisannya semata. Benar-benar luar biasa bertemu dengan Ari, Aji, Mas Tom, Widya, Nana dan lainnya terlebih Atta yang seenergik itu!. Kembali terima kasih buat Mbak De buat kerelaan rumah barunya di acak-acak demikian hebat, Lui untuk photo2 journey –nya, Atta buat menghidangkan sepiring bakso malangnya, juga rekan lain yang tak kalah serunya. Meski sedemikian jauh dan singkatnya waktu namun nyatanya Potluck kali ini memberi catatan tersendiri. Setidaknya bagiku … yang selama ini jauh dari keluarga “mayaku!”.

posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/15/2005 09:03:00 AM - 12 comments

Pulang

Wednesday, November 09, 2005


By Sam (09112005.19.35)
Secarik Cerita

Mungkin dengan harapan aku dapatkan kemuliaan di kemudian hari, Ibu menamaiku ... Muliawan. Mungkinpula hanya harapan yang bisa Ibu berikan mengingat begitu papa dan kekurangannya kami semenjak Bapak pergi. Entahlah ... tiada jawab diberi. Kutak pernah tanyakan apapun mengenai hal ini. Telah berlaksa beban di pundak Ibu. Ku tak bisa yakinkannya untuk sedikit berbagi denganku. Bantuku hanyalah dengan menawarkan secuil pengertian dengan menelan semua kenyataan tanpa ada tanya … tanpa ada suara. Supaya Ibu tak menoleh kebelakang dan melinangkan bening air matanya, setidaknya supaya Ibu tegar menatap kedepan, selalu berbesar hati dengan harapnya.

.............

“Pir ... kiri, kiri!” Lantang ibu tua yang duduk disampingku berteriak nyaring.
Tak hanya sopir angkutan desa yang kami tumpangi saja yang menghentikan mobil kijang bututnya. Namun juga lamunanku terhenti karenanya. Tersadar aku masih berada diparuh jalan ke Karang Pandan, dusun kecil di kaki pegunungan Kendeng tempat hampir separuh hiduplah telah aku lewati. Sekilas dari balik jendela kulihat jalan penghubung ini masihlah sama dengan jalan yang 12 tahun lalu aku tinggalkan. Pinus masih mengapitnya dan hamparan bebatuan masih melapisi permukaannnya. Kutak berani membayangkan apakah orang-orang disana akan juga sama seperti mereka yang aku kenal dulu.

Pastinya kepergianku dulu meninggalkan Karang Pandan bukanlah tanpa satu alasan. Kepapaan kami, kepergian Bapak dan kejandaan yang disandang ibuku ternyata diterjemahkan sebagai satu noktah kotor yang hanya menjadi debu bagi mata penduduk lain. Beda yang kami punya bukanlah keindahan melainkan senilai dengan cemooh dan hinaan. Sejak mula kakiku sudah hendak berlari karena telingaku terlalu tipis untuk mendengarkan hingarnya kata menyayat. Namun Ibu merantai kakiku. Selalu dibisikkan kata. “Kenapa kau lari, mungkin badanmu bisa pergi tapi hatimu ada disini!”

Kesempatanku pergi tiba bersama dengan terpilihnya aku untuk melanjutkan sekolah dengan dana bea siswa di ibukota propinsi. Usaha keras yang bukan saja lahir dari tekatku tapi juga dendamku. Malam itu aku mengemasi beberapa lembar baju, dan dalam temaram sorot bilik kudatangi pangkuan Ibu.

“Ibu aku bisa pergi sekarang”
Ibu tersenyum kecil. Memahami pencapaianku.
“Bahkan mungkin juga berlari, ... ibu kenapa kau tidak ikut denganku”
Ibu hanya menggeleng kecil.
“Karna menunggu Bapak kembali?”
Kembali ibu hanya tersenyum “Tidak anakku”
“Lalu ...?”
“Ibu telah merantai kakimu dan menaruh hatimu disini. Ibu sendiri yang akan menjaganya”
“Tapi ...”
“Pergilah anakku, dan ingatlah untuk kembali!”

Pengembaraanku hanya membawaku untuk kembali menengok ibu setahun hanya dalam hitungan sebelah jari tangan. Terlebih begitu Ibu berpulang. Aku merasakan ikatan yang ibu talikan menjadi semakin lengang. Kepulanganku tak lebih dari sekali dalam setahun untuk mengunjungi pusara Ibu. Selebihnya aku kembali berlari dengan hati yang luka, dengan sayatan dendam yang makin mendalam. Perihnya ingatan akan masa kecilku membutakan keinginanku untuk berhenti berlari dan pulang.

Dua belas tahun berlalu dengan pedihnya kata Karang Pandang bila disebutkan. Tersiakan kehidupan yang lebih baik aku dapatkan karena ingatan akan hal lalu tak bisa terhapuskan. Mau tak mau Karangpandang selalu mengusikku. Benar ternyata ikatan yang longgar hanyalah dugaanku semata. Nyatanya meski badanku bisa berlari tapi hatiku masih tertinggal. Aku putuskan untuk pulang!

..........

Tahun ini untuk pertama kalinya aku pulang saat lebaran. Menegok hatiku yang telah Ibu taruh dan jaga. Dan baru kali ini aku mengerti kenapa Ibu bersikukuh merantai kakiku dan mengikat hatiku disini. Bukan agar satu saat aku bisa kembali untuk menunjukkan kemuliaanku atas apa yang kini aku raih dan punya.

Tapi ...

Untuk memberikan kemuliaan melalui sebait maaf yang kupunya! Memaafkan masa laluku untuk memuliakan langkah-langkahku ....

Image hosted by Photobucket.com

posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/09/2005 10:11:00 PM - 10 comments

Sesaat Di Penghujung Lebaran

Tuesday, November 08, 2005


By Sam (09112005.23.44)
Secarik Langkah



Tak banyak yang bisa di kerjakan saat libur hari raya di jogja nanti, pikirku. Diluar ritual rutin untuk halal bihalal, ziarah dan mengunjungi sanak saudara tak ada hal menarik lagi yang bisa aku lakukan. Teman lama entah hilang kemana, untuk ke mall atau internet café sepertinya aku sangsikan ada yang buka di hari seperti ini. Satu-satunya cara mengeliat dari kebosanan, jauh hari sebelumnya aku merencanakan untuk bawa laptop itung-itung bisa untuk browsing di rumah. Ide yang luar biasa meski terkesan konyol. Betapa tidak, sementara orang lain mempersiapkan baju dan makanan aku justru menyiapkan mainan!

Agak mengejutkan ada antusisme dari Unai untuk menggelar silaturahmi di Jogja. Tak tanggung-tanggung dia akan menghubungi Ken, Isna juga Gita. Wah siapa takut! Setidaknya ini bisa membuatku melupakan tentang browsing barang sejenak. Walhasil tanggal 4 November 2005 kemarin aku bertemu dengan Unai dan hubby-nya. Niatnya sih di Pizza Hut, mengingat lidah jawaku tak terbiasa dengan pizza dan pasta tempat beralih ke KFC. Sayang sekali rekan yang lain keburu mudik. Pertemuan yang kurang dari satu jam ini benar-benar membuatku bersalah. Setidaknya akulah yang molor dari waktu yang disepakati karena harus mengantar ibu ziarah sementara sholat jum’at keburu datang. Hingga begitu aku kembali dari Madiun kembali aku hubungi Unai untuk kembali meng-arrange silaturahmi lagi dengan yang lainnya.

“Ok, nanti kita cari makan sekalian yang dekat abis itu ke Taman sari buat photo-photo” Jawab Unai lewat SMS, wah … photo-photo! Boleh juga. Rupanya Unai sudah tak sabar di photo.

Senin 7 November 2005, Sebelum jam 11 siang kau telah berangkat ke Kantor Unai di Muhamadiyah Ahmad Dahlan. Dan disana hanya ada Unai dan Isna. Selebihnya kembali absent! Sambil menanti matahari tidak lagi terik kami makan gudeg di Wijilan. Tak ketinggalan rujak buah jadi santapan ringan. Sambil ngobrol kesana kemari Kamera Digital Olympus Unai berulang kali terjepretkan. Jujur aku yang jadi salah tingkah. Se-narcistnya aku paling grogi bila di potret tanpa pose! Duh Unai teganya! Tak sampai sepuluh menit setelah makan kami sampai di Taman sari. Tak lupa di perjalanan meng-SMS pak Wisa minta kerelaan karena mantannya bersama kami untuk jadi model siang ini.

Image hosted by Photobucket.com

Taman sari masihlah eksotik meski nilai histories penampakannya terasa pudar oleh renovasi yang menghilangkan aura kelampauannya. Mulai dari pintu gerbang hingga kolam permandian tak terhitung berapa sesi pemotretan terselesaikan. Tanpa konsep tanpa alur. Yang penting bertebal muka berpose ditengah pengunjung lain. Tanpa malu apalagi ragu. Aku sempat heran Isna yang malu-malu ternyata teguh kukuh berlapis baja mau diarahkan untuk berpose, kekikukannya hilang dan tanpa pikir panjang melempar tasnya bila siap dipotret … bahkan bila dihitung photonya yang terbanyak! Unai tak mau kalah gak peduli ada atau tidak ada kamera. Ibu muda ini selalu berpose. Tak hanya tas, payungpun jadi obyek penderita posenya. Berulangkali komentarnya meluncur mengarahkan moment-moment bagus untuk di potret. Sementara aku. Entah nyaman saja untuk menjepret apalagi di jepret. Lupa untuk bersikap jaim. Hasilnya kami tergeleng-geleng melihat tingkah polah kami sendiri.

Begitu usai dari taman sari kami beralih ke Kraton Mataram Kuno yang tempatnya berada di ketinggian dengan segala keruntuhannya. Tak cukup di lantai dasar. Isana dan Unaipun mengajak naik ke bagian atap. Duh … !!! malu mengakui kalau phobia ketinggian terpaksa aku merangkak hingga sampai atas. Telapak kakiku bagai di gelitik sejadi-jadinya. Terakhir kami menuju sumur gumuling, satu sumur yang berada di tengah masjid bawah tanah yang berbentuk bulat. Disanapun ada terowongan yang konon menembus pantai selatan. Masjid itu telah tak berkubah bahkan sumur nyapu telah di tutup demi keselamatan. Disinipun berulang kamera kami terjepretkan tak henti. Menjelang pukul empat kami menyudahi photo session kali ini. Tujuan kami terakhir adalah ke fuji film untuk mentransfer data dari kameraku dan Unai. Beruntung laptop masih ada di mobilku hingga kami bertiga bisa memiliki file photo yang sama secara utuh tanpa buang waktu. Bila dihitung hamper 150 jepretan tersimpan di disk kami.

Sesaat di penghujung lebaran ini bagai satu hal yang tak terduga. Semua tak terencana mengalir begitu saja. Kembali terbukti bahwa kekuatan tulisan tidak saja berakhir pada satu ujung pena namun juga satu kekerabatan yang erat dan keindahan yang dinamakan …. Persahabatan!

Image hosted by Photobucket.com

posted by kinanthi sophia ambalika @ 11/08/2005 04:11:00 PM - 3 comments