Minal Aidzin Wal Fa Idzin ...

Friday, October 28, 2005



By San (28102005.10.29)
Secarik Ucap



Image hosted by Photobucket.com


posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/28/2005 10:27:00 AM - 7 comments

Mr. Copy: Tujuh Tahun Dalam Kebersamaan

Tuesday, October 25, 2005



By Sam (23102005.13.38)
Secarik Perjalanan


Agak bergegas aku pulang dari mengajar di Al Azhar jum’at ini. Waktu mengobrol atau diskusi kecil dengan mahasiswa sengaja aku lewatkan. Kebetulan sekali hampir separuh kelas meninggalkan jam kuliahku untuk acara pelantikan pengurus BEM. Jadi waktuku lebih leluasa untuk segera berlalu. Sendatan hanya datang dari 1-2 orang yang menginformasikan perubahan judul project kelayakan bisnis yang jadi mata kuliahku. Tak masalah! Setelah menjemput seorang karyawanku dan mampir di beberapa rumah makan, kami masuk tol kembali kerumah. Yah ... seperti menjadi tradisi selama 7 tahun ini, Ramadhan kali inipun semua manajemen dan karyawan kantorku akan mengadakan buka puasa bersama di rumahku!

Tujuh tahun sepertinya baru kemarin. Tahun-tahun dimana My bro, aku dan partner mulai membuka usaha photo copy. Usaha yang mulai dirintis dari nol dengan mengambil tempat di WTC metropolitan sudirman dan mengambil pangsa pasar para tenant gedung. Dengan mengusung nama MR. COPY, satu usaha ini mau tak mau harus diperjuangkan mengingat bisnis ini untuk mengantisipasi kondisi adanya krisis moneter di pertengahan 1998. Satu syukur usaha ini mampu bertahan selama itu. Bukan itu saja diapun menunjukkan perkembangan yang bisa dikatakan sehat. Setidaknya itu ditunjukkan dengan penambahan 2 outlet lagi dan diversifikasi layanan hingga printing, stationery & communication shop. Disamping itupun klien kami beragam dan dari beberapa perusahaan di bilangan Sudirman dan sekitarnya.

Serasa ingin tersenyum bila ingat hal manis yang terjadi selama perjalanan Mr. Copy. Seperti kami tak pernah menyangka bila 2 karyawan pertama kami ternyata mempunyai tanggal, hari dan tahun kelahiran yang sama! Bukan itu saja ternyata selama perjalanan selama 7 tahun ini semua karyawan kami mempunyai turn over Zero! Artinya tak satupun yang keluar begitu mereka masuk kerja untuk pertama kali. Bersepuluh kini mereka menggerakkan roda Mr. Copy. Dan seluruhnya telah punya tabungan untuk masa pensiunnya! Itu melegakan!.

Bagi aku dan my bro, karyawan adalah mitra bisnis. Pada mereka kami tanamkan pemahaman akan satu bisnis yang sehat sekaligus pandangan bahwa usaha ini adalah usaha mereka juga sehingga benak mereka tahu bahwa Mr. Copy ada di tangan mereka perjalanannya. Selain itupun hak dan kewajibanpun tegas di sampaikan sehingga mereka cukup mengerti bahwa tenaga dan hasil karya mereka sangat di hargai. Pada akhirnya kami semua sadar betul bahwa kami adalah satu keluarga besar yang bersama mendulang rizki dan harus selalu memperbaiki kinerja diri untuk satu hal yang lebih baik dan lebih meningkat lagi kedepannya.

Pukul 17.30 satu persatu mereka datang dan saat buka hampir 20 orang menyesaki rumah mungil kami. Beruntung aku mengatur acara ini di depan rumah sehingga kami cukup leluasa untuk bergerak dan bersantap. Memang dulunya acara seperti ini selalu diadakan di rumah makan atau retoran tertentu. Namun dengan pertimbangan keleluasaan, keakraban dan waktu maka akhirnya diadakan di rumah kami. Seperti malam ini kami bisa akrab dan bergembira dalam kebersamaan. Dan akhirnya sebelum jam sholat tarawih acara ini usai dan ditutup dengan pembagian THR, parcel dan sarung. Sejauh ini akupun cukup lega karena disaat-saat sulit seperti sekarang kami masih diberi kucuran rizki yang cukup hingga mereka masih punya harapan dan senyum untuk bisa menikmati lebaran bersama kelurganya di rumah dan di kampung. Aku tahu ini sangat berarti bagi mereka.

…………

Usai acara saat seorang sahabat menelepon dia mempertanyakan motivasi aku hingga bersikukuh untuk usaha sendiri juga perlunya mengadakan hal-hal seperti ini. Dengan tertawa ku menjawab tidak tahu. Yang pasti aku merasa kan satu tanggung jawab yang besar terhadap mereka-mereka yang bekerja padaku. Mereka yang menyandarkan hidup dan keluarganya pada satu usaha yang aku gulirkan dengan telapak tanganku. Satu tanggung jawab untuk selalu memegang amanah dan keikhlasan untuk memperjuangkan hal terbaik bagi mereka juga bagi usaha ini. Pendek kata, aku menyadari mereka telah menjadi bagian dari … hidupku! Ini satu keadaan yang patut aku syukuri ….

Image hosted by Photobucket.com

posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/25/2005 02:41:00 AM - 11 comments

Jazz Huruf “J” Tanpa Titik

Saturday, October 22, 2005



By Sam (21102005.22.17)
Secarik Langkah

“Gak ada jalan lain ya Bud?” Pada Budi Sopirku aku bertanya.
“Mau lewat mana lagi mas?" Jawabnya pelan, “Gak ada pilihan lagi, kalau dari Mangga Dua emang kita harus keluar tol dulu, baru masuk tol kebon jeruk”
Aku terdiam mendengar jawabnya.

Ah mestinya aku tak perlu tanyakan itu lagi pada Budi, bukan sekali aku lewat jalan ini bila dari Mangga Dua menuju Kembangan. Resah ... itu yang selalu muncul saat harus melewati jalan ini. Bukan saja karena jalan ini sempit dan berada tepat di bawah hunjaman berpuluh tiang inner ring road tapi juga suasananya yang selalu membuatku tak nyaman. Setidaknya pemandangan masyarakat kelas kolong jembatan jelas tergambar di pelupuk, terasa sesak bila dipikirkan belum lagi suasananya yang macet dan semrawut amat rentan adanya kejahatan. Bukan sekali dua kali koran memuat kejahatan sekitar daerah ini. Mulai dari penodongan, pengerusakan mobil bahkan adanya kapak merah!

Hatiku hanya bisa berharap bisa segera melalui jalan ini secepatnya, meski harus menerima kenyataan bahwa itu tak mungkn. Kemacetan yang sedemikian parah membuatku sangsi bisa cepat berlalu. Dengan pasrah kunikmati keadaan ini dengan memejamkan mata sejenak. Musik kucoba hidupkan, dari chanel stasiun radio di bilangan Thamrin. Aku tak beberapa konsen, beberapa lagu hanya sekedar lewat telinga. Mobilku pun tak jauh beranjak ... membosankan.

Tiba-tiba.

“Tek... tek... “ Suara ringan terdengar tak pasti.
“Suara apaan Bud?" Tanyaku curiga.
Budi yang aku tanyapun tak kalah bingung. Melongok kesana kemari mencari sumber bunyi.
“Tek … tek …” Kembali bunyi itu terdengar.
Seketika sekelebat seorang anak berlari di belakang mobil.
“Kenapa anak itu ya Mas?” Budi bereaksi sambil menunjuk dari arah spion.
“Keserempet mobil kita kale,”
“Mobil ini khan diam sejak tadi” Tangan Budi segera memegang handle mobil untuk membuka, “Aku check ya?”
“Jangan … tak usah! Nanti saja” aku mencegahnya. Kupikir di dalam mobil bagaimanapun akan lebih aman daripada ada diantara kami yang keluar. Bisa jadi ini satu jebakan atau hal lain. Aku tak peduli dengan keadaan mobil, kekawatiranku justru pada keselamatan kami. Takutnya ada hal hal tak terduga dan justru berakibat fatal.

Satu jam akhirnya kami keluar dari kemacetan dan berjalan mulus ke Kembangan. Lega! Sesampainya Budi memeriksa. Dan didapatinya satu titik di huruf “J” pada logo Jazz di belakang body di congkel anak tadi kemungkinannya. Sempat aku bertanya-tanya untuk apa dia congkel satu titik kecil seperti itu. Isengkah atau memang itu satu komditi yang berharga. Aku juga mempertanyakan kenapa logo ini tak dibuat oleh produsen honda dengan menyatukannya dengan kata “jazz” sehingga sulit di congkel, atau setidaknya tak perlu diberi titik seperti layaknya logo “Kijang”, “City” ataupun “Inova” yang meniadakan titik di huruf “J” ataupun “I”.

..............

Setidaknya kejadian hari itu aku syukuri karena tak ada celaka yang menimpa kami. Dan kemarin setelah Tarawih di Masjid Al Fallah Benhil aku menemukan jawab atas hilangnya titik itu. Kebetulan saat makan di Mutia sebelah mobilku sama persis dengan punyaku.

“Mas, ternyata titik jazz yang ilang itu diperjual belikan loh” Budi memberi formasi.
“Masa?”
“Tuh mobil sebelah yang bilang, dia ilang juga dan ditawari anak-anak. Mereka minta seratus ribu rupiah sebiji!”
“Wah...............”

Aku hanya bisa menggelengkan kepala menjalani lelucon yang sama sekali tidak lucu ini.

Image hosted by Photobucket.com

posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/22/2005 04:38:00 PM - 10 comments

Sekeping Receh Untuk Rumah Dia

Thursday, October 20, 2005



By Sam (19102005.16.21)
Secarik Perenungan


Meski puasa, namun itu tak menyurutkan nyaliku untuk pergi tennis sore ini. Sepagi tadi sudah aku sms Woro untuk meminta tumpangan. Seperti biasa Woropun menjawab singkat memintaku menunggu di tempat bisa di jam yang biasa pula. Tak seperti minggu-minggu sebelumnya bawaanku lumayan penuh kali ini. Meski raket kuputuskan untuk membawa satu tapi tambahan pakaian ganti dan toiletries cukup menyita ruang dan beban. Tepatnya … setelah buka nanti aku dan beberapa rekan berencana untuk TarLing. Beruntung di lapangan ada kamar ganti dan showernya sekaligus. Berdoa saja moga airnya tak mati!

Sudah jadi kebiasaanku untuk berangkat lebih awal dari waktu yang woro janjikan. Kupilih tempat di tempat teduh dan terlihat di pinggir jalan sehingga memudahkan Woro untuk menjemput. Pemandangan lalu lalang kendaraan mulai muncul menghidupkan jalan penghubung kampung melayu dengan Pondok Kopi ini. Aktifitas rutin seperti biasa tergelar. Lima menit kemudian berselang terdengar lantang suara ayat-ayat suci yang dikumandangkan dari sebuah mobil Suzuki Carry dengan Loud Speaker di atasnya. Sesekali diseling dengan ucapan singkat untuk meminta kesadaran warga kanan kiri jalan untuk sedikit rela untuk menumbang bagi pembangunan suatu masjid. Guna memudahkan penyumbang di kanan kiri jalan telah berjajar 2-3 orang mengikuti mobil lengkap dengan kotak yang dibawa dan siap di isi. Mobil itu semakin mendekat sembari sesekali berhenti di tempat ramai.

Masih jelas dalam benakku hal-hal seperti ini marak sekali di beberapa daerah. Saat kepergian ke Jogja atau Bali dengan mobil tak jarang dijumpai beberapa jalan di persempit, orang-orang berjajar dengan jaring kain kasa di kanan kiri jalan meminta sumbangan. Tak lupa suara lantunan ayat suci diperdegarkan dengan lantangnya. Bukan itu saja. Di beberapa mall, rumah, mushola bahkan kendaraan umum beberapa orang membawa stoffmap dan amplop berkeliling mencari sumbangan. Dengan dalih untuk pembangunan masjid, mereka tak lelah mengetuk belas kasih orang-orang. Tak peduli siapapun.

Sejenak aku memandangnya dengan satu ratap!

Baginikah wajah agamaku. Islamku? Demi satu tempat ibadah … demi rumah Dia. Banyak kemuliaan yang ada dalam ajarannya terlupakan. Tak sadarkan arti tangan diatas lebih baik dari yang dibawah? Tak terkacakah bahwa kita akhirnya akan terlabeli sebagai umat yang malas yang hanya bisa mengharap sedekah … bahkan untuk sekedar membangun rumah Nya? Sangat memprihatinkan sekaligus menyedihkan!

Bila kita mau sedikit surut memikirkan kebelakang. Apalah guna Masjid secara fisik megah sementara didalamnya tak ada kegiatan yang bisa memberdayakan penghuninya. Apalah arti kemewahan sebuah masjid bila umat disekitarnya berkubang dalam kemiskinan dan penderitaan. Percuma juga bila secara fisik suatu bangunan masjid indah namun bila tak ada daya untuk bisa merawatnya. Dia hanya jadi kemilau sesaat. Itukah yang ingin dicapai? Tak pernah terpikirkah untuk membangun rumahnya dari daya yang kita punyai, dari usaha secara mandiri. Menggulirkan perekonomian kita sendiri dengan cara-cara yang lebih terhormat dan bermartabat?

Islam telah menggariskan untuk mensucikan harta kita 2,5%. Kita hitung bila disana ada 100 penduduk berpenghasilan minimal 1 juta/bulan. Bila kita taat setidaknya ada 2,5 juta bisa dikumpulkan 1 bulan, 30 jt setahun! Luar biasa. Dana yang cukup untuk secara bertahap membangun rumahNya dari keringat yang kita punya. Tak perlu ada tengadah tangan untuk dilakukan, tak perlu menanti keping receh di pinggir jalan! Bahkan bila bisa lebih kreatif majelis masjid bisa memberdayakan jamaahnya untuk melakukan usaha bersama menggulirkan ekonomi. Bisa banyak hal bisa dilakukan. Bukan saja membuka usaha padat karya namun juga bisa mengembangkan potensi masjid seperti menyelenggarakan pendidikan keagamaan misalnya. Menjadikan masjid sebagai satu pusat kajian. Sedikitnya banyak hal yang ternyata bisa kita lakukan bila kita mau sedikit berusaha dan berfikir.

Masjid adalah tempat beribadah … satu bangunan rumah milik Nya. Seharusnya dia ada dalam keselarasan ketaatan dan ketaqwaan umatnya. Sungguh satu logika yang dibalik bila kita percaya bahwa Allah akan rela rumah-Nya dibangun diatas puing sedekah dan keprihatinan umatnya, dihias dengan tengadah dan pinta jamaahnya. Tak terpikirkah kita untuk lebih terfokus guna membangun RumahNya yang megah di hati kita dalam segala kemuliaanya. Dan mulai menjauhkan pikiran untuk memewahkan fisik rumahNya sementara hati dan jiwa kita dibiar dalam kemiskinan dan kekosongan.

…….

Aku, woro dan mobilnya telah melaju menuju lapangan tenis. Sejauh lajunya pikiranku masih tertinggal memikirkan. Memikirkan untuk mensegerakan membangun rumah Nya di hati ku. Karena Dia sesungguhnya sangat dekat.


Image hosted by Photobucket.com


posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/20/2005 08:07:00 AM - 10 comments

Ribet Bundet Dengan Teknologi


By Sam (18102005.21.50)
Secarik Perenungan

Tak ada yang menyangkal keberadaan teknologi amat lekat dalam kehidupan kita. Kepraktisan, kecepatan, kemudahan adalah hasil lain dari keberadaannya. Makin haripun teknologi bukan lagi identik dengan sesuatu yang besar namun sebaliknya kecil, kompak dan paduan macam fitur. Komputer dengan layar tabung telah tergantikan dengan layar plasma, handphone tak lagi hanya untuk komunikasi semata, kini dengan handphone memotret, mendengarkan radio bahkan mengetahui siklus bulananpun bukan hal yang jamak lagi. Bahkan sekarang kegunaan laptop sudah banyak tergantikan oleh PDA, Walkmanpun telah jauh tertinggal oleh I-Pod dan Kamera bernegatifpun telah ditinggalkan secara perlahan.

Tak ada pilihan, sedikit banyak akupun ikut tergiur dengan maraknya teknologi praktis yang diluncurkan beberapa tahun belakangan ini. Untuk usaha percetakanku misalnya mulai dari computer, printer deskjet, printer laser hingga copy color berjajar menyesuaikan keinginan konsumen. Sementara untuk mainan menjejal di tas ranselku seperti laptop, PDA, kamera digital, handy cam, handphone dan juga MP3 palyer. Semua aktif aku gunakan dan sekali lagi tak dapat kupungkiri aku tergantung padanya.

Belakangan aku sadari bahwa kepraktisan dan kemudahan dengan adanya alat-alat high tech ini ternyata harus dibayar hal lain yang justru tak memberikan kenyamanan atau bisa dibilang justru memberatkan. Taruh kata bila aku pulang ke jogja setiap bulannya. Selain peralatan pribadi dan bawaan wajib lainnya kini tak hanya mainan teknologiku yang harus aku bawa tapi juga peralatan penunjang lainnya macam charger! Bila aku sertakan PDA, kamera digital, handycam, dan handphone paling tidak aku sudah harus membawa empat macam charger. Belum lagi bila aku ingin bekerja maksimal, keybord PDA, cradel, USB FlashDisk, dan beberapa kabel lainnya harus menyesaki travel backku. Duh! Bisa dibayangkan beratnya.

Itu baru untuk mainanku, belum bila memikirkan kantorku. Dengan adanya 2 komputer, 3 printer yang beda tipe dan kegunaannya plus peralatan tambahan seperti Bluetooth, web camera, card rider, jaringan internet dan scanner juga flashdisk cukup membuat aku pusing. Setidaknya dipusingkan dengan banyaknya kabel yang malang melintang menghubungkan alat satu dengan lainnya. Dan harus ditambah lagi dengan berbelas driver disk yang harus aku install dan simpan untuk memastikan semua peralatan tambahan itu bisa bekerja dengan proposional. Al hasil pernah seharian aku tak bisa bekerja karena diribetkan oleh tetek bengek urusan perkabelan dan sambung-menyambung yang tak ada ujungnya.

Konyolnya lagi karena aku bekerja di beberapa peralatan yang berbeda maka seringkali aku harus menyamakan data dibeberapa alat tersebut agar selalu up to date. Syncronisasi adalah jalan yang harus dilakukan dan ini cukup ribet karena salah-salah data yang harusnya di update malah terhapus! Plus bila ingin semuanya tersave rapi aku harus punya back up setiap jangka waktu tertentu. Belum lagi aku harus mempunyai box khusus untuk menyimpan semua macam cradel, kabel hingga berpuluh disk driver, bila aku tak ingin peralatan ini tercecer dan lupa taruh. Lucunya lagi seakan waktuku banyak untuk melakukan tugas rutin yang hampir sama setiap harinya.... apalagi kalau bukan men-charge alat-alat ini. Duh-duh duh!

Ternyata seperti juga pisau bermata dua. Teknologi bisa identik dengan kemudahan namun disisi lain kitapun harus cukup maklum dengan keribetan yang menyertainya. Masih untunglah kita cuman ribet. Coba bila tak ada teknologi mungkin pula kita tak hanya ribet semata tapi juga bundet dan mumet .... !!!

Image hosted by Photobucket.com

posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/20/2005 08:02:00 AM - 4 comments

TarLing Nyok … Nyok … !!!

Tuesday, October 11, 2005


By Sam (11102005.09.33)
Secarik Langkah


Kontras dengan Ramadhan tahun-tahun lalu saat aku masih ada di Otista. Kini keberadaanku di Malaka cukup membuat jarak antara kantor dan rumah makin jauh. Normalnya akan dicapai dalam 20 menit tapi saat ketidak normalan satu jam bisa jadi baru sampai rumah. Berkaca pada pengalaman hari pertama puasa lalu aku lebih memilih berbuka dan tarawih di sekitar kantor daripada jamuran terjebak diantara kemacetan. Nasib baik beberapa temen tenis melontarkan ide TarLing (Tarawih Keliling). Maunya dengan BukLing (buka Keliling) tapi ide yang belakangan ini tak begitu banyak respon. Selain keterbatasan waktu juga beberapa teman punya kebiasaan buka hanya dengan makan kecil selebihnya akan diteruskan setelah tarawih seperti aku.

Tak banyak dari kami yang aktif Tarling karena beberapa alasan namun ini sama sekali tak menyurutkan jadwal bagi beberapa gelintir diantara kami yang sudah berniat untuk Tarling. Aku sendiri melihat Tarling sebagai satu bentuk wisata yang menarik. Selain wisata religius tentunya, tarling juga membawa ke wisata kuliner. Ah! Tak jauh dari makanan rupanya. Setidaknya setelah tarawih dan lapar memanggil tak ada pilihan lain kecuali meng-explore makanan unik di beberapa tempat sekitar masjid yang kami singgahi.

Satu pengalaman menarik selalu aku temui mengingat tidak banyak masjid di Jakarta ini yang telah aku sujudi. Tak jarang pengalaman menarik sekitar arsitektur, interior dan tata cara beribadah mencuat meninggalkan satu cacatan kecil. Berikut diantaranya:



Image hosted by Photobucket.com




Masjid AL- MUHAJIRIN (Taman Malaka Utara)

Berada 100 meter-an dari tempat tinggalku masjid Muhajirin murni di bangun dengan swadaya masyarakat. Mengedepankan fungsionalitas membuat masjid ini jauh dari kata indah apalagi artistic. Namun meski lantai dua belum selesai di bangun suasana di dalamnya sungguh bersih dan nyaman. Tak lain ini karena peran bukaan jendela yang full mengitari masjid memberikan sirkulasi sempurna bagi aliran udara. Ibadah dijalankan dengan 8 raka’at tarawih, 3 kali witir serta ceramah di mulanya. Tata cara ibadahpun diatur sedemikian rupa hingga cukup tertib. Masjid ini banyak di kunjungi oleh warga Tamara (Taman Malaka Utara) wajar bila akhirnya begitu banyak hal protokuler yang terjadi. Sangat di sayangkan secara akustik masjid ini kurang bagus. Terlebih bila saat adzan, tak banyak dari kami yang bisa mendengar dengan jelas saat dirumah. Meski sedemikian dekat.

Tak ada wisata kuliner di sini karena dekat rumah mau-tak mau santap malam diadakan di rumah. Beruntung Bro-ku yang berkeyakinan lain cukup piawai membuat kolak dan beberapa lauk penutup hingga hari pertama puasa hari ini cukup banyak aku syukuri.

Masjid AL HIDAYATULLAH (Belakang Anggana Danamon Karet)

Mulanya sempat terjadi pertentangan saat pembangunan Wisma Anggana Danamon akan menggusur masjid yang masuk cagar budaya ini. Tapi akhirnya keberadaannya dipertahankan dan berdiri dengan unik dalam satu blok gedung perkantoran denga ciri betawinya yang khas. Masjid ini terdiri dari beberapa massa bangunan yang menempel pada bangunan asli. Sebagai pusat kajian agama beberapa fungsi massa tidak saja di fungsikan sebagai tempat ibadah namun juga ruang pertemuan, perpustakaan dan beberapa fungsi lain. Bahkan kita masih bisa menjumpai beberapa makan yang terawat dengan indahnya. Interior ruang utama penuh dengan ukiran kayu bertuliskan huruf kaligrafi dan lampu-lampu klasik menggantung beberapa buah. Cukup memberikan sentuhan khas dan eksotik yang natural. Mengusung total raka’at tarawih dan witir hingga 23, tak jarang setiap rakaatnya menjadi terburu-buru. Belum lagi masa bangunan yang terpisah membuat beberapa jamaah terpisah padahal kesemuanya tidak dalam keadaan penuh. Sebenernya sholat di beranda dengan pemandangan makam dan beberapa pohon kelapa memberi kenyamanan selain teduh dan semilir suasananyapun terasa beda, hanya saja karena letaknya tepat di depan jalan raya tak jarang klakson dan deru mobil cukup mengganggu kekusyukan. Hal unik lainnya infaq tidak dipungut melalui kotak berjalan, melainkan beberapa orang berkeliling denganmembawa kantong hijau mengitari jema’ah.

Ayam Gantari, Bakmi Garing atau ayam Tohjoyo adalah beberapa pilihan wisata kuliner yang bisa dicicipi sehabis tarawin. Tak jauh cukup menyeberang ke arah Casabanca. Bila ingin lebih otentik ada soto Eling-eling Banyumasan kesukaanku, soto bangkong, soto konro ataupun soto gebrak dan sederet rumah makan padang bila kita mau sedikit berjalan lebih jauh hingga ujung jalan casabanca yang berbatasan dengan Tebet.

Masjid AL HIKMAH(Belakang Jakarta Theater Thamrin)

Aku lupa namanya, mungkin masjid Al Hikmah namanya. yang pasti saat itu rekan mengajak meeting di Starbuck hingga buka. Al hasil perutku tak tahan mencerna kopi hingga begitu tersiksanya sepanjang malam. Supaya waktu terkejar aku putuskan Tarawih di masjid tersebut. Masjid ini cukup tua dengan renovasi pada bangunan utamanya yang tidak begitu menyatu dengan bangunan existingnya. Letaknya yang di kitari area perbelanjaan dan perkantoran memberikan imbas suara blower pembangkit AC yang cukup gemuruh di dalam masjid. Renovasi masjid telah usai dan meninggalkan sentuhan minimalis dengan permainan ubin terakota yang ditempel di sekujur depan mimbar. Gradasi warnanya menunjukkan kesejukan dan kesimpelan yang utuh tanpa basa basi. Sesimple dan sehening tatacara ibadah yang ada di dalamnya. Bahkan untuk ceramahnya sekalipun. Aku hanya mengambil separoh raka’at dari total 23 yang ada. Selebihnya aku meski bergulat dengan kafein yang terlanjur aku minum saat buka tadi.

Apapun pilihan makanan semua ada disini. karena masjid ini tak jauh di sabang dan pusat keramaian lainnya seperti sarinah dengan sederetan restonya atau Jakarta theater dengan beragam resto waralabanya. Tinggal pilih. Mau rasa tradisional atau internasional. Kalau aku hanya menghindari dua hal, kopi dan pizza … cukuplah!

Masjid AL FALLAH (Benhil)

Sebagai pusat kajian agama di sekitar Bendungan Hilir masjid Al Fallah cukup megah berciri khas sebagai bangunan 2 lantai dan dominasi kubah berdiameter hingga 10 meter, bangunan ini mencolok dan mudah dikenali. Ibadah di pusatkan di lantai 2 dan dari sini kita bisa melihat bagian dalam kubah yang di penuhi dengan hiasan grafis dan kaligrafi dominasi warna hijau yang indah. Tepat di tengahnya terdapat lampu gantung berbentuk rangkaian bunga yang begitu semarak. Tata cara ibadah cukup teratur, total raka’at yang hanya 11 berjalan cukup panjang karena tiap raka’atnya dilagukan dan dipilihkan ayat yang panjang. Saat ceramahpun penceramah menukar tempat hampir di tengah ruang agar lebih komunikatif. Selain kotak infaq yang diputarkan ada pula beberapa amplop yang di edarkan dalam tenong bambu oleh pengurut masjid untuk menjaring sedekah dari jamaah. Sangat disayangkan keberadaan kubah di masjid ini tidak ditunjang dengan struktur bangunan yang tinggi dan bukaan yang lebar sehingga kubah memperangkap sirkulasi udara. Akibatnya belasan kipas angin yang disebar di sekitar langit-langit tak cukup memberikan kesejukan. Sajadah panjang yang berupa karpet tak terlekat dilantai hingga terkesan berserak dan menyandung saat jalan bila tak waspada. Catatan lain masjid ini kurang begitu bersih utamanya areal depan masjid terlihat beberapa sampah, kering dan berdebu.

Banyak santapan bila ingin berwisata kuliner di Benhil. Mulai dari rumah makan padang sederhana yang mula berdiri hingga pusat-pusat keramaian kecil yang mengelompok dan menyajikan ragam makanan. Bagi aku tak banyak pilihan karena aku hanya cocok dengan rumah makan sederhana di jalan raya benhil dengan ayam pop-nya atau soto sulung di dalam pasar benhil. Namun belakangan ada Rumah Makan Aceh dengan suguhan mie aceh dan ayam tsunaminya yang membuat aku tak bisa beranjak.

Masjid AL HAKIM (Menteng)

Tua, eksotik dan hi tech. Mungkin kata-kata itu yang tepat untuk menggambarkan masjid tua yang berada di deretan ruko di menteng ini. Seperti juga layaknya sebuah ruko masjid ini tak mempunyai bukaan jendela hingga mautak mau AC lah yang dipakai untuk penghawaan. Sesaat masuk masjid terasa aroma bunga menyeruak, wangi yang berasal dari rangkaian sedap malam di depan mimbar lantai dua dan taburan melati dan pandan di sekeliling ruang masjid. Imam berada di lantai 2, supaya jemaah lantai satu bisa mengikuti gerakan imam di lantai dua ditaruhlah 2 buat televisi plasma 42 inch, fujitsu! Dan seperangkat handycam serta pengatur sound! Tak tanggung-tanggung speaker yang digunakan adalah BMB! Yang lebih menarik lagi untuk menutup ducting AC central di hiaslah langit-langit dengan berlembar kain kuning membentuk kerucut. Secara keseluruhan tampilan masjid ini sangat sederhana bahkan ornamennya kebanyakan dari sterofoam yang di cat dan dibentuk secara grafis. Namun sentuhan berupa peralatan yang hi tech serta Kaligrafi dengan ukuran superbesar yang elegan membuat tampilannya berbeda. Terlebih lagi dengan tatacara ibadah yang demikian teratur, rapi dan terstruktur. Penceramahpun terkesan akrab dan mutu bahasannya lumayan menyentuh memberikan point tersendiri bila sholat disini. Meski ceramah di adakan di akhir 11 rakaat namun segelintir orang yang beranjak dari ruang.

Tak lupa bila kita keluar masjid. Segala ragam aroma makanan telah menyeruak memenuhi udara memanggil perut-perut lapar untuk di isi. Apapun ada! Malam itu aku menyantap sate padang yang lumayan enak bersama segelas jus jambu biji plus tambahan tahu gejrot dan beberapa gerilya di makanan teman seperti bubur ayam, sate ayam, sate kambing dan nasi garing kambing. Mmmmm sepertinya tak perlu sahur buat nanti malam ….


Seperti juga berwisata, Ramadhan kali ini moga terjalani dengan ikhlas dan syukur…. dengan kesungguhan dan kesadaran untuk selalu menjadi lebih baik dan lebih baik ….


posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/11/2005 02:28:00 PM - 5 comments

Satu Kilo Menuju Rumah-Nya

Thursday, October 06, 2005

By Sam (06102005.13.47)
Secarik Perenungan


Ramadhan masih di ujung pintu, untuk tarawih pertama aku putuskan mencari masjid terdekat dengan kantor. Pikirku lebih baik menghindari untuk tidak pulang awal. Takutnya malah terjebak macet hingga semuanya menjadi lewat begitu sampai rumah. Masjid Hidayatullah di belakang Perkantoran Anggana Danamon jadi pilihanku. Selain terjangkau jaraknya, masjid tua ini terlihat cukup unik dan belum sekalipun aku mensujudkan diriku disana.

Tepat pukul 18.27 aku meninggalkan kantorku di BRI 2 Centerpark, memilih berjalan menjangkau masjid yang tak kurang hanya satu kilo jauhnya. Biasanya aku lebih memilih dengan bus way bila menjangkau daerah sudirman atau Thanrin. Tapi sepertinya jarak masjid ini terlalu dekat untuk sebuah busway. Akan lebih capek menjangkau haltenya daripada masjidnya. Dan mau tak mau jalan kaki jadi pilihan terakhir. Dan sebelum pergi aku kuras isi ranselku yang biasanya dipenuhi barang-barang elektronik semacam PDA, Handphone, kamera juga kabel- charger hingga MP3 player hingga tinggal dompet dan sajadah saja. Sebenernya aku cukup geli, kenapa aku sephobia ini jalan kaki di wilayah Jakarta. Tapi siapa yang mau mengambil resiko! Satu bentuk kebebasan yang sebenernya telah terampas …

Waktu sepuluh menit untuk satu kilo perjalanan mestinya nyaman untuk aku jalani, tapi nyatanya tidak malam ini. Keluar komplek kantor telah terbentur dengan peraturan baru gedung mengenai arus keluar masuk komplek. Bukan hanya aku, beberapa pengunjung dan penghuni gedung harus memutar dan melalui pemeriksaan. Tak hayal, ini semua imbas dari bom Bali 2. Bisa jadi ini langkah pencegahan tapi … benar ini sama sekali tidak mengenakkan, terkesan mengada-ada dan amat sangat tidak efektif. Terpaksa aku ikuti meski untuk kedua kalinya aku memaklumi dalam hati. Siapa yang mau mengambil resiko!

Keluar gerbang sentra BRI telah disambut dengan berpuluh pengojek yang kacau tak teratur. Sesekali mereka melintas melawan arah dan berebut memburu bis yang merapat perlahan. Sambutan lain datang dari pedagang kaki lima yang menggelar majalah, makanan, minuman, hingga kacamata, jam tangan dan jepit rambut! Bahkan beberapa kaset dan CD bajakan berbaur diantara tinta suntikan serta stocking juga celana bekas! Komplit! Mereka menyebar mulai diatas jembatan penyeberangan, menempel di halte, menggelar di kolong jembatan hingga mengusung gerobak memenuhi trotoar. Hiruk pikuk menyesak bersama puluhan penanti kendaraan umum yang selalu penuh dan berdesakan di tengah kemacetan dengan sebaran asap hitamnya. Tak jarang para pengemis dan gelandangan menyeruak diantara kuli-kuli galian yang merebahkan badan dipojok-pojok taman tak terurus sambil tengadahkan tangan.

Dadaku makin sesak melihat carut marutnya tata kota. Tatanan yang telah kehilangan tidak saja jadi diri bangsa tapi juga rasa kemanusiaanya. Tatanan yang tidak diperuntukkan bagi kemudahan dan kenyamanan kita penghuninya melainkan tempelan-tempelan proyek ini dan itu dimana kita harus menyesuaikan dengan sarana tak memadai yang dipaksakan. Semakin aku coba cerna keadaan sekitar terasa makin tersendat nafasku!

Duh gusti …. !

Sesaat aku tak ingat bahwa aku berada di satu negri yang konon kata orang adalah zamrud katulistiwa, yang bermandikan kolam susu dan terbuai dalam limpahan kekayaan alam dan madu. Negri yang dijuluk gemah ripah loh jinawi dan paling tidak satu negri yang telah mengenyam kemerdekaannya! Kurang apa lagi!

Ternyata …!

Kemakmuran yang ada hanyalah sejumput waktu menunggu bus yang selalu penuh di trotoar berlubang dengan asap pekat yang terhirup. Kenyamanan kita hanyalah sekedar membeli barang kelontongan pinggir jalan sambil menyantap roti asongan … tidak bisakah kita merasakan hal yang lebih dari itu. Menjalani hari-hari dengan lebih bermutu. Dimanusiakan dan dimakmurkan hidup kita oleh yang punya dan yang mengatur negri ini, secara lebih bermatabat lagi.

……………

Ketika aku sampai di rumah-Nya. Sebakul kekesalan ingin kuadukan. Kutumpahkan dalam tanda tanya yang ingin segera kudapat jawabnya. Namun …. Kuingat Ramadhan masih di ujung pintu. Ku pilih untuk membawa kesalku dalam doa. Meminta agar mereka-mereka yang memimping negri ini dikembalikan ….. Nuraninya! Diingatkan agar mereka tidak menjadi golongan pemimpin yang mendzolimi rakyatnya ….


Marhaban yaa Ramadhan.

Gusti …………………………………………….
Satukan nurani kami yang terserak!

posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/06/2005 03:25:00 PM - 8 comments

Tengadah di Tengah Makam

Monday, October 03, 2005

By Sam (01102005.06.30)
Secarik Perenungan


"Nyuwun Pak, kulo dereng"
"Bu, kulo bu sekedik mawon!"
"Engkang mriki, dereng lo bu ... lare alite."
"Nyuwun to Pak, kulo wau engkang nyapu mriko"
"Paringke kulo mawon, mangke kulo bagine Bu!"

Suara belasan peminta-minta kian riuh mengerumuni peziarah yang baru usai menabur bunga di komplek pemakaman Bonoloyo sore ini. Pintanya makin menjadi dengan berbagai rengekan dan alasan hingga usaha untuk terus membuntuti sampai gerbang keluar makam. Bagai lebah mereka mendengung tak kenal lelah hanya demi keping-keping receh uang sedekah tak seberapa. Tak hanya ibu-ibu yang menggendong anak bayinya di selendang kumal, anak-anak ingusanpun dengan fasih mengiba dalam tengadah tangan dan muka memelas menunjukkan kemiskinan mereka.

Dalam kerumunan ini aku lebih memilih menghindar. Selalu ....... ! Tidak saja dengan alasan tak tega melihat wajah-wajah derita yang sengaja mereka tunjukkan, namun juga tak suka dengan adegan uluran tangan yang tak mendidik ini. Tapi mau dikata apa. Seperti ritual, semua ini telah tajam mengakar menjadi kebiasaan tak terpatahkan. Di setiap makam besar di Jawa kerumunan lebah ini selalu ada. Menggantung di sisi makam, membagi wilayahnya dan mendengung setiap harinya. Melupakan rasa malu dan meninggalkan harga diri. Tak ingat lagi dengan etos kerja keras dan kebaikan meletakkan tangan di atas daripada menengadahkannya. Memprihatinkan ....... ! Hal ini bukanlah tanpa pilihan, tapi mereka telah memilih kehidupan seperti ini. Mengatas namakan tradisi, memupuk kemalasan dan memanaskan periuk dengan tengadah dan kepuraan.

Di bulan-bulan tertentu dengungan mereka menghasilkan banyak madu. Seperti halnya mendekati bulan puasa atau hari raya. Orang jawa mengenalnya dengan sebutan nyadran. Tradisi mengenang leluhur dengan tabur bunga dan tak jarang membagikan sedikit rejeki bagi mereka yang kurang. Satu kesempatan yang akhirnya dimanfaatkan sebagian orang secara salah. Tak ubahnya seperti mereka-mereka yang ada di perempatan atau pusat keramaian. Mereka melenakan diri dalam kemudahan dan kemalasan hingga merasa apa yang mereka dapat sudahlah tercukupkan. Tanpa keinginan usaha yang lain.

Masih jelas diingatku beberapa waktu lalu aku menerima brosur kampanye dari satu LSM yang menggeluti pengentasan kemiskinan di Jakarta. Satu kampanye untuk tidak memberikan keping uang pada mereka yang meminta di perempatan dan pusat keramaian. Cukup logis kenapa kampanye ini gencar di suarakan. Dari fakta sulit sekali bagi LSM ataupun lembaga terkait menarik mereka yang peminta dari jalan untuk lebih diarahkan pada usaha real yang positif. Satu sebabnya karena mereka cukup terlena dengan tiap keping sedekah yang dengan mudah mereka dapat daripada usaha untuk bekerja dan mengangkat harga diri mereka.

Nyatanya tanpa sengaja sedekah kecil kita membelenggu mereka dalam kemalasan dan ketergantungan. Sedekah yang ternyata menyeret kita dalam lingkar masalah sosial yang tak terputus dan terselesaikan. Saatnya ada tega dalam diri kita untuk keluar dari lingkar itu, berhenti untuk tidak memberi secara langsung. Lebih bijak lagi dalam memberi. Bagaimanapun memberi kail akan lebih menumbuhkan daripada sekedar ikan. Untuk ini tak perlu diperdebatkan karena kita telah dengar dengan nyata dengung mereka di sekitar kita.

Sangat disayangkan belakangan pemerintah sepertinya benar-benar tak bijak memberikan dana konpensasi BBM secara langsung pada rakyat. Setali tiga uang dengan mendidik rakyat menengadah tangan menggantungkan harapan tanpa berbuat dan menyuburkan kemalasan. Tak adakah cara bijak agar kita bisa lebih bisa mandiri dan berfikir kreatif menghadapi setiap kesulitan hidup yang tiap hari tak usai muncul ke permukaan. Tak bisakan pemerintah mengeluarkan kebijakan arif secara jangka panjang hingga rakyatnya sedikit punya harga diri dan martabat yang bisa dibanggakan.

.......


Bergegas aku menuju mobil dan saat kubuka handle pintu. Seorang anak telah berada di belakangku. Kumal dan bertatap nanar.
"Pak ... nyuwun, pak!"
"Buat makan pak!"
Aku dalam cekat. Idealis dan nuraniku tak hanya di dipertentangkan namun juga dibenturkan!


Image hosted by Photobucket.com



posted by kinanthi sophia ambalika @ 10/03/2005 05:27:00 PM - 6 comments